tirto.id - Para suster di Vatikan mengeluh karena diupah rendah atau bahkan tidak digaji. Kendati telah mengucapkan kaul kemiskinan, kerja-kerja suster Vatikan kenyataannya tak ringan. Dengan jadwal serabutan, mereka mengurus rumah tangga gereja. Sebagian menyiapkan mulai dari mempersiapkan kebutuhan pengurus gereja laki-laki, dari sarapan hingga makan malam dan baru boleh tidur setelahnya. Sebagian lagi sibuk di dapur gereja atau mengajar.
Marie-Lucile Kubacki melaporkan keluhan para suster tersebut dalam artikel bertajuk "The (Almost) Free Work of Sisters" yang diterbitkan majalah Women Church World awal Maret lalu. Para suster yang ditulis Kubacki memilih untuk tidak menggunakan nama asli.
Suster Marie adalah salah satu narasumber beralias tersebut. Ia menginjakkan kaki di Roma dua puluh tahun silam dan sejak itu bekerja di Vatikan.
“Saya sering menemukan suster yang melakukan kerja-kerja domestik namun kurang kurang dihargai," aku perempuan asal Afrika ini. "Beberapa dari mereka mengabdi di kediaman uskup dan kardinal, sedangkan lainnya bekerja di dapur gereja atau melaksanakan tugas katekese." Tugas domestik lain yang wajib dirampungkan sebelum tidur adalah disebut Marie adalah membersihkan rumah, mencuci, dan menyeterika pakaian.
"Tidak seperti orang awam, suster-suster ini tidak punya jadwal kerja yang jelas dan tertib, gaji mereka pun sangat kecil dan tak pasti," ujar Marie.
Narasumber lain, Suster Paule, mengamini keterangan Suster Marie. Bagi Paule, problemnya tak berakar dari tingkat pendidikan, melainkan posisi perempuan yang dinomorduakan dalam Gereja Katolik yang menempatkan kerja-kerja suster tak sepadan kerja para pekerja gereja laki-laki.
“Saya pernah bertemu suster-suster lulusan doktoral di bidang teologi saban hari hanya ditugaskan untuk memasak dan cuci piring. Pekerjaan ini jelas tak ada hubungannya dengan sekolah mereka dan [mereka ditugaskan] tanpa penjelasan sedikit pun,” ujar Paule.
Dengan kata lain, upah adalah satu dari sederet problem struktural lainnya. Paule juga menyebut faktor spesifik penyebab rendahnya penghargaan material yang diterima para suster: ketiadaan kontrak kerja antara para suster dengan uskup dan kardinal.
Reuters membuat perbandingan menarik tentang jumlah suster pelayan dalam tiga masa kepausan. Paus Fransiskus tinggal di sebuah guest house Vatikan dan makan di ruang makan utama, dilayani oleh "staf-staf bayaran". Pendahulunya, Yohanes Paulus II (1978-2005) mempekerjakan lima suster Polandia. Ia tinggal di kompleks apartemen yang terletak di Istana Kepausan. Adapun penerus Yohannes Paulus II, Paus Benedict (2005-2013), sehari-harinya dilayani oleh delapan perempuan Memores Domini, organisasi Katolik awam.
Publikasi Vatikan
Majalah Women Church World adalahsisipan bulanan dari surat kabar Vatikan L’Osservatore Romano. Encyclopaedia Britannica menyebutkan bahwa harian yang dicetak dalam sembilan bahasa ini secara de facto mewakili Tahta Suci Vatikan.
Edisi Maret 2018 Women Church World mengetengahkan topik “Perempuan dan Kerja" dengan artikel-artikel tentang sifat keibuan, kesenjangan upah, dan kerja-kerja domestik yang tidak dibayar. Terbit sejak enam tahun silam, beberapa edisi terbaru majalah ini semakin vokal mengangkat isu kekerasan terhadap perempuan. Pada 2016, majalah ini pernah merilis edisi bertajuk "Perempuan yang Berdakwah", sebuah edisi yang disebut oleh harian Irish Independent sebagai "dukungan bagi perempuan untuk berbicara di podium kala misa.
"Sampai sekarang, tidak ada yang berani mengecam hal-hal semacam ini," ujar Lucetta Scaraffia, editor Women Church World, kepada harian Irish Independent. "Kami berusaha menyuarakan mereka yang tidak memiliki keberanian untuk buka mulut. Scaraffia adalah feminis Katolik dan pengajar di jurusan sejarah Universitas La Sapienza, Roma.
Dalam hierarki Gereja Katolik, suster memang tidak menempati posisi sentral, dan tidak termasuk dalam struktur pimpinan gereja yang terdiri dari paus, uskup, kardinal, dan seterusnya. Golongan pimpinan ini terdiri dari orang-orang yang ditahbiskan untuk menjalankan tugas-tugas gerejani, seperti merayakan sakramen, mewartakan sabda, dan lain sebagainya.
Suster Marlisa dari Kongregasi Suster Cinta Kasih Santo Borromeus yang berlokasi di Yogyakarta punya pendapat berbeda.
Ia mengatakan bahwa kerja-kerja para suster ditentukan oleh kongregasi masing-masing. "Tempat saya berkegiatan memiliki empat ranah pekerjaan, yakni kesehatan, pastoral, pendidikan, dan sosial," tuturnya ketika dihubungi Tirto. Masing-masing suster yang diutus ke bidang karya tersebut sesuai dengan minat dan bakatnya. “Ada yang bekerja di rumah sakit, rumah retreat, panti asuhan, dan paroki."
Marlisa juga menjelaskan bahwa pengelolaan upah berbeda dengan pekerja pada umumnya. “Karena suster sudah mendeklarasikan kaul ketaatan, kemurnian, dan kemiskinan, maka cara hidupnya harus mengikuti janji tersebut,” ujarnya. "Masalah keuangan diatur berdasarkan kaul kemiskinan. Artinya, para suster harus meneladani cara hidup Yesus yang miskin."
Uang yang diperoleh dari pekerjaan diserahkan kepada kongregasi. Di Kongregasi Suster Cinta Kasih Santo Borromeus, demikian Marlisa, uang yang didapat dilaporkan ke bagian keuangan komunitas.
"Kalau suster butuh uang, bisa mengajukan permohonan keuangan. Uang kongregasi selain untuk para suster juga dipakai untuk karya, misalnya panti asuhan atau asrama. Sementara besaran remunerasi yang diperoleh para suster tergantung tempat kerjanya. Gajinya seperti karyawan, tergantung institusinya," terang Marlisa.
Ketika diminta komentarnya tentang artikel di Women Church World, Suster Marlisa mengatakan bahwa kerja-kerja antara satu kongregasi dan lainnya berbeda—dan hal inilah yang membuat konteks kasus para suster yang terjadi di Vatikan perlu ditelusuri lebih jauh.
“Harus tahu mereka dari kongregasi apa, berkarya di bidang apa, dan perjanjiannya bagaimana dengan uskup atau kardinal,” katanya. Beberapa jenis karya atau pekerjaan yang memang tidak berorientasi keuntungan, lanjutnya.
Ruang-Ruang Keputusan untuk Perempuan
Selain remunerasi, isu-isu perempuan lainnya terus bergulir. Organisasi Voices of Faith misalnya, menyelenggarakan konferensi tahunan untuk menunjukkan potensi perempuan yang kurang diakui di Gereja. Dalam situsweb resminya, Voices of Faith memiliki visi "mendorong para pemimpin Vatikan agar mengakui kecakapan dan bakat perempuan untuk menjalankan kepemimpinan dalam Gereja Katolik."
Tahun ini, Voices of Faith kembali mengadakan konferensi bertajuk “Why Women Matter”. Acara yang biasanya diselenggarakan di Vatikan ini terpaksa pindah tempat. Pasalnya, seperti yang dilansir Guardian, Tahta Suci Vatikan menolak kehadiran Mary McAleese dan dua pembicara lainnya. Mary McAleese, mantan Presiden Irlandia, dikabarkan mendukung penahbisan perempuan sebagai imam. McAleese juga dikenal sebagai pembela hak-hak LGBT.
Para penyelenggara acara telah mengeluarkan pernyataan yang berani: “Kita hidup di masa penuh perubahan, tapi beberapa tempat mengabaikan kesetaraan gender secara sistematis. Salah satunya adalah Gereja Katolik."
Pada 2016 Paus Fransiskus dikabarkan berencana membentuk komisi untuk mempelajari apakah perempuan bisa menjadi diakon di Gereja Katolik Roma. "Diakon menangani banyak tugas yang sama seperti yang dilakukan para imam di paroki. Mereka diperbolehkan memberikan khotbah, melakukan pembaptisan, dan melayani pemakaman," tulis New York Times. Hari ini, hanya pria berusia 35 tahun ke atas yang boleh menjabat diakon.
Rencana pembentukan komisi tersebut disampaikan saat sesi tanya-jawab di depan 900 suster. Sebuah momentum yang krusial karena Paus Fransiskus menyatakan keinginannya untuk "menambah jumlah perempuan dalam posisi pembuatan keputusan di gereja."
Penulis: Nindias Nur Khalika
Editor: Windu Jusuf