Menuju konten utama

Nasib PRT di Era Pandemi: Tak Dilindungi BPJS, Tak Dapat Insentif

Pemerintah memberi insentif bagi pekerja bergaji di bawah Rp5 juta lewat data BPJS Ketenagakerjaan. Ini membuat PRT mungkin tak kebagian jatah.

Budiani (35 tahun), pembantu infal asal Ngawi yang mencari penghasilan tambahan lebaran lewat agen Penyalur Tenaga Kerja Bu Gito, Jakarta, Selasa (20/6). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Pemerintah berencana memberikan bantuan sosial (bansos) sebesar Rp600 ribu bagi pekerja swasta dengan upah di bawah Rp5 juta. Total anggarannya diperkirakan mencapai Rp31 triliun.

“Diidentifikasi targetnya mencapai 13 juta pekerja,” ucap Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers virtual KSSK, Rabu (5/8/2020) pekan lalu.

Sri Mulyani mengatakan bantuan ini bertujuan “membantu memulihkan daya beli masyarakat.” Diharapkan dengan konsumsi rumah tangga--sektor ekonomi tulang punggung--yang meningkat, ekonomi secara umum juga membaik.

Bantuan ini adalah bagian dari Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang penyalurannya memang tengah digenjot. Sri Mulyani mengatakan kenaikan realisasi anggaran diharapkan terus terjadi hingga Desember nanti. “Berbagai langkah dilakukan sampai Agustus 2020, PEN masih dirasa perlu ditingkatkan.”

Pemerintah juga akan menambah bansos produktif mendekati Rp30 triliun bagi 12 juta pelaku usaha mikro, penambahan beras untuk 10 juta penerima manfaat Program Keluarga Harapan (PKH) senilai Rp4,6 triliun, lalu penambahan bansos tunai Rp500 ribu per penerima kartu sembako dengan anggaran Rp5 triliun.

PRT Tak Kebagian

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan data para penerima manfaat bersumber dari BPJS Ketenagakerjaan. Kriterianya mereka bukan PNS-pekerja BUMN dan memiliki iuran di bawah Rp150 ribu per bulan.

“Kalau by name, by address, by rekening sudah ketemu, program baru dilaksanakan,” kata Airlangga dalam konferensi pers yang sama.

Di sinilah letak masalahnya: jika BPJS Ketenagakerjaan yang dijadikan patokan, maka kemungkinan sebagian besar penerima manfaat hanya pekerja formal saja, sementara pekerja informal, termasuk para pekerja rumah tangga (PRT), tak kebagian.

Situs resmi BPJS Ketenagakerjaan menyebut PRT, juga sopir pribadi, sebetulnya berhak dilindungi asuransi. Biayanya, seperti juga para pekerja formal, dibayarkan pemberi kerja, dalam hal ini majikan. Masalahnya tidak banyak yang mengikuti. Februari lalu baru 750 PRT di Jakarta yang terdaftar sebagai peserta, padahal diperkirakan jumlahnya mencapai 4.000. Itu pun 75 persen di antaranya membayar sendiri. Hanya seperempat yang dibayarkan majikan.

Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) Lita Anggraini mempertanyakan nasib PRT yang kemungkinan besar tak mendapatkan bantuan. Bagi Lita, nasib mereka bak sudah jatuh tertimpa tangga: upah di bawah UMR, tak terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan, pun ujungnya tak dapat insentif.

“Sementara mereka selama ini sebagai warga juga banyak yang tidak mendapat bantuan sosial tunai, bantuan pangan non-tunai, hingga program keluarga harapan,” kata Lita kepada wartawan Tirto, Senin (10/8/2020).

Salah satu contohnya yang dialami Ponitiara, PRT asal Purworejo, Jawa Tengah, awal Juni lalu.

Pada 2015 lalu, International Labour Organization (ILO) Jakarta menyebut jumlah PRT di Indonesia mencapai 4,2 juta orang. Kata Lita, angka tersebut mungkin telah menyentuh 5 juta orang pada tahun ini. Mereka ini tentu saja berkontribusi terhadap keberlangsungan aktivitas jutaan para pemberi kerja. “Tentu termasuk saja aktivitas publik dan perekonomian,” katanya. Para pemberi kerja, majikan, tentu sulit beraktivitas jika pekerjaan di rumah terbengkalai.

“Namun kaum PRT selalu terpinggirkan dari kebijakan dan program perlindungan sosial. Pemerintah harus memikirkan PRT,” keluh Lita.

Atas dasar itu Lita mendesak RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) yang sudah 16 tahun mangkrak di DPR RI disahkan. Dengan regulasi ini, diharapkan legalitas PRT lebih jelas.

Sebenarnya, pada 1 Juli lalu, DPR RI telah menetapkan RUU PPRT menjadi RUU usul inisiatif DPR RI. Namun, pada rapat paripurna tanggal 16 Juli lalu, RUU itu tak masuk ke dalam pembahasan karena ditolak oleh Badan Musyawarah (Bamus) DPR RI. Peraturan ini lagi-lagi ditunda dibahas.

Kendati kecewa, Lita sebenarnya tidak kaget dengan keputusan DPR tersebut. Hal tersebut menurutnya terjadi karena budaya feodal dan konflik kepentingan antara anggota DPR itu sendiri sebagai majikan dan PRT.

Ia berharap pemerintah memperhatikan aspirasi para PRT dan memikirkan ulang penerima manfaat bansos baru tersebut. “Hendaknya nasib rakyat kecil seperti PRT jangan digantung terus-menerus,” katanya menegaskan.

Baca juga artikel terkait PEKERJA RUMAH TANGGA atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino