Menuju konten utama

Nasib PKL Usai Dieksekusi Lapaknya & Respons Keraton Yogyakarta

Pedagang kaki lima di Gondomanan, Yogyakarta, diminta mengosongkan lapak usai kalah dari putusan PN Yogyakarta.

Nasib PKL Usai Dieksekusi Lapaknya & Respons Keraton Yogyakarta
Petugas dari juru sita Pengadilan Negeri Yogyakarta dibantu polisi melakukan eksekusi terhadap lapak pedagang kaki lima (PKL) di Jalan Brigjen Katamso, Gondomanan, Yogyakarta, Selasa (12/11/2019). tirto.id/Irwan A. Syambudi.

tirto.id - Pengadilan Negeri Yogyakarta mengeksekusi bangunan di lahan seluas 28 meter persegi di Jalan Brigjen Katamso, Gondomanan, Yogyakarta, yang ditempati pedagang kaki lima. Para pedagang sebelumnya digugat oleh seorang pengusaha bernama Eka Aryawan untuk mengosongkan lahan tersebut.

Lahan itu bagian dari 73 meter persegi lahan Keraton Yogyakarta, yang telah dipinjam-pakai oleh Eka dengan bukti surat kekancingan atau hak guna lahan dan bangunan.

Di atas lahan itu ada lima pedagang: Budiono, tukang kunci; Sutinah, penjual nasi rames; Agung, tukang kunci, anak Budiono; dan pasangan suami istri Sugiyadi dan Suwarni, penjual bakmi.

Pada Selasa pekan ini, 12 November, sejak pukul 09.50, juru sita PN Yogyakarta Heri Prasetya bersama puluhan polisi mendatangi tempat kelima PKL. Heri berbicara melalui pengeras suara memberitahukan perihal eksekusi; minta mereka segera mengosongkan tempat.

"Kami tim dari juru sita Pengadilan Negeri Yogyakarta mendapatkan tugas sesuai penetapan, yaitu mengosongkan objek eksekusi," kata Heri.

Setelahnya, juru sita lain bernama Heri Catur Pudiyanto membacakan dasar penetapan eksekusi. Selain atas putusan pengadilan, ada surat eksekusi pengosongan yang diajukan oleh Eka Aryawan pada Oktober 2018.

Intinya, penetapan eksekusi pengosongan lahan itu sudah sah sesuai putusan pengadilan dan dapat dibantu oleh aparat kepolisian, ujar Catur.

"Melaksanakan eksekusi pengosongan terhadap bangunan serta segala sesuatu yang tertanam di atasnya tanpa terkecuali berupa sebidang tanah pekarangan berdasarkan surat perjanjian pinjam pakai tanah milik Sri Sultan Hamengkubuwono," kata Catur.

Usai membacakan penetapan pengosongan, juru sita bersama polisi meminta para pedagang serta puluhan massa aksi yang menolak eksekusi untuk menjauhi objek lahan. Namun, massa aksi mencoba bertahan membentuk barikade.

Aksi saling dorong dan adu argumen terjadi saat polisi berupaya menghalau massa aksi menjauhi objek eksekusi.

Namun, massa aksi akhirnya tak mampu menahan juru sita dan polisi. Pedagang akhirnya mengemasi barang mereka dan lapak mereka dipalang dengan bambu lalu ditutupi seng.

Eksekusi Dinilai 'Error In Objecto'

Pendamping hukum para PKL Budi Hermawan dari Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta menilai eksekusi terhadap lapak PKL sebagai error in objecto. Sebab, kata dia, pengadilan tidak melakukan pengukuran terlebih dahulu sebelum eksekusi.

"Batas-batas tanahnya sampai mana? Ini, kan, tidak ada. Harusnya ini [eksekusi] ditunda dulu sampai [pengadilan] hadir dan menunjukkan batas-batas. Maka, kami menilai kemungkinan besar eksekusi ini error in objecto," katanya.

Ia mempertanyakan apakah lahan 28 meter persegi yang ditempati PKL itu merupakan bagian dari 73 meter persegi yang menjadi hak guna Eka. Sebab, pada 2013, PKL telah melakukan pengukuran bersama dengan Eka.

"Menyepakati mereka [PKL] menaati batas sebagaimana surat kekancingan milik Eka," katanya.

Sementara menurut kuasa hukum Eka, Oncan Poerba, batas lahan sudah jelas karena telah dinyatakan dalam putusan pengadilan.

"Batasnya itu bagian depan lurus sampai ke trotoar. Itu batasnya yang dianggap bahwa Eka punya izin terhadap itu," katanya.

"Keputusan pengadilan mengalahkan PKL. Jadi, ini sudah jelas dan tegas," ungkapnya.

Lahan seluas 73 meter persegi itu tidak dipakai oleh Eka sebagai lokasi bangunan; ia menggunakan lahan itu sebagai halaman untuk akses masuk ke rumah sekaligus toko mainan miliknya.

Nasib PKL Usai Dieksekusi

Budiono dan Sugiyadi berdiri lemas menatap lapaknya yang dieksekusi oleh petugas juru sita pengadilan. Setelah menolak proses eksekusi, bersama massa pendukung, ia akhirnya pasrah.

Barang-barang Budiono, terdiri dari gerobak peralatan tukang kunci, disingkirkan dari tempat semula di atas lahan seluas 28 meter persegi.

Namun, di lubuk hatinya, ia masih menyimpan harapan supaya dapat berjualan di tempat itu lagi. Sebab, Budiono tak tahu lagi tempat lain untuk mendirikan lapak jualannya.

"Mudah-mudahan saya masih bisa jualan di sini," ungkap Budiono.

Sugiyadi bisa berdiri lesu. Pandangannya kosong menatap tempat bekas dia biasa jualan bakmi setiap sore hingga malam.

Sugiyadi masih bingung lokasi mata pencaharian dia yang baru usai lapaknya digusur. Gerobak Bakmi memang aman karena ia menaruhnya di rumah, tapi ia tak tahu akan mendorong gerobak bakminya ke mana lagi untuk berjualan.

"Kurang tahu seperti apa. Besok saja [dipikirkan]. Belum ada pemikiran [buat berjualan di mana lagi]," katanya.

"Maunya kita masih terus berjuang, tapi ya bagaimana lagi karena dari pihak pengadilan sudah kayak gitu? Kita pasrah saja sekarang," tambahnya.

Penggusuran PKL Gondomanan

Pedagang kaki lima bersama para penolak penggusuran didorong polisi untuk menjauhi objek eksekusi lapak PKL di Jalan Brigjen Katamso, Gondomanan, Yogyakarta, Selasa (12/11/2019). tirto.id/Irwan A. Syambudi

Respons Keraton Yogyakarta

Penghageng Kawedanan Hageng Punakawan Parastra Budaya dan Penghageng Tepas Panitikismo Keraton Yogyakarta Kanjeng Gusti Pangeran (KGPH) Haryo Hadiwinoto memberikan komentar soal eksekusi tersebut. Hadiwinoto, adik Sri Sultan Hamengkubuwono X, menjadi pihak yang mengurusi tanah Keraton.

Hadiwinoto menerangkan soal posisi tanah Keraton. Trotoar dan jarak sekian meter dari jalan atau RoI (region of interest) merupakan tanah milik Keraton. Dalam fungsinya, tanah itu tidak boleh berdiri bangunan, tanpa terkecuali termasuk PKL.

Pun ketika tanah itu diberikan hak guna ke orang lain melalui surat kekancingan; tetap tidak boleh diizinkan mendirikan bangunan.

"Ketika 2011 yang bersangkutan [Eka Aryawan] mengajukan kekancingan, kami cek karena ketutupan PKL. Lalu, yang masuk rumah bagaimana [kalau ada PKL]?" katanya.

Namun, singkat kata, kekancingan tetap diberikan kepada Eka Aryawan pada tahun yang sama.

"Tetapi saya juga berpesan kepada yang punya rumah agar dirembuk bersama aparat kelurahan dan jajarannya supaya [dengan] PKL ini dirembuk bagaimana baiknya," ujar Hadiwonoto.

Setelah proses rembukan itu, kata Hadiwinoto, ada kesepakatan: tanah kekancingan tidak boleh ada bangunan karena melanggar aturan tentang RoI jalan.

"Dan memang dia [Eka] hanya memohon [kekancingan] untuk jalan masuk ke rumahnya [...] Kalau Keraton memberikan izin kepada PKL, ya salah. Ini melanggar RoI jalan," katanya.

Pada 2011 itu pun, katanya, telah disepakati agar PKL tidak lagi berjualan di sana. Dan, saat itu ada uang tali asih sebagai kompensasi kepada para PKL.

"Tali asih kompensasi telah disiapkan. [PKL tidak mau menerima], tapi kok jadi [minta] 10 kali lipat," ujarnya.

Akhirnya, persoalan itu berlarut-larut hingga 2015. Para PKL tetap berjualan sehingga Eka mengajukan gugatan ke pengadilan.

PKL digugat mengosongkan lahan dan membayar ganti rugi Rp1,12 miliar. Sebagian gugatan itu dimenangkan Eka. Putusan pengadilan meminta kelima PKL mengosongkan lahan.

Dalam putusan PN Yogyakarta Nomor 86/PDT.G/2015/PN Yk Tahun 2016, Eka Aryawan melawan lima orang PKL yang dibacakan hakim ketua Suwarno pada 11 Februari 2016, amar putusan menyatakan sebagian gugatan dikabulkan.

"Menghukum para tergugat dan atau kepada siapa saja atas izin para tergugat untuk menyerahkan dan mengosongkan tanah seluas lebih kurang 28 meter persegi," seperti dikutip dari laman resmi Mahkamah Agung.

Atas hasil putusan pada Pengadilan Negeri Yogyakarta itu, para tergugat mengajukan banding. Namun, putusan banding menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama.

Para PKL lantas mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Pada 19 Juli 2017, Hakim Ketua Mahdi Soroinda Nasution membacakan putusan. Isinya, menolak kasasi lima PKL.

Baca juga artikel terkait KASUS PENGGUSURAN atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Maya Saputri