tirto.id - Black Friday bukan hal yang asing bagi para pemburu diskon. Inilah hari ketika barang impian diburu karena diskon gila-gilaan. Namun, tak semua orang hari itu ceria menyambut diskon.
Menurut sebuah mitos, istilah Black Friday berasal dari perubahan pembukuan perusahaan dari merugi (biasanya berwarna merah) menjadi untung (berwarna hitam). Black Friday umumnya d iselenggarakan sehari setelah Thanksgiving, sebuah hari raya khas Amerika Serikat yang jatuh pada Kamis minggu keempat November. Jumatnya, sejumlah perusahaan biasanya menggelar diskon besar-besaran dan promo belanja baik secara online maupun offline.
Thanksgiving tahun ini jatuh pada 22 November dan Black Friday sehari setelahnya. Meski bermula dari AS, Black Friday telah dirayakan sejumlah negara lain seperti Kanada, Liberia, dan Jepang.
Pesatnya perkembangan bisnis teknologi membuat nilai pendapatan dari belanja online pada hari Thanksgiving dan Black Friday di AS pada 2017 meroket hingga 7,9 milliar dolar AS, catat Adobe Analytics. Seperti dilaporkan Bloomberg, angka ini naik 50 persen dibandingkan tahun 2016.
Adobe memperkirakan Thanksgiving dan Black Friday tahun ini akan menyumbangkan setidaknya hampir seperlima dari total pendapatan seluruh belanja online di AS. Sejak 2015, jumlah pembeli online sudah mengungguli jumlah pembeli di toko fisik.
Masih dari Bloomberg, dalam sepuluh tahun terakhir, Black Friday telah menjelma hari belanja terbesar di AS.
Namun, pamor Black Friday tampaknya agak terkikis selama beberapa tahun terakhir. Pada 2016, rata-rata jumlah uang yang dikeluarkan oleh pembeli online dan offline di AS ketika liburan akhir pekan turun menjadi 289,19 dolar AS dari 299,60 dolar AS di tahun 2015.
Padahal, hari belanja diskon yang digagas oleh Alibaba yakni Singles Day pada 11 November mampu menarik penjualan online hingga mencapai nilai $31 milyar.
Kontroversi Black Friday
Di tengah perayaan diskon, Black Friday menyimpan kisah-kisah tak mengenakkan, khususnya yang melibatkan karyawan retail dan perusahaan yang bergerak di bidang penjualan, misalnya pekerja gudang.
Dilansir dari Vox, salah satu perusahaan retail yang mendominasi penjualan kala Black Friday adalah Amazon. Tahun lalu, perusahaan teknologi dan retail itu menyumbang 45 persen penjualan pada hari Thanksgiving serta 60 persen penjualan pada hari Black Friday, menurut perusahaan marketing Hitwise.
Tahun ini, Amazon mengharapkan tren serupa seraya menerapkan promosi yang lebih agresif dengan menawarkan pengiriman gratis tanpa jumlah minimum pembelian barang.
Namun, di balik kesuksesan penjualan Amazon pada Thankgiving dan Black Friday, muncul testimoni buruk dari mantan karyawan terkait jam kerja. Bekerja di gudang Amazon ketika Black Friday, kata mereka, adalah hal melelahkan lagi mengerikan.
Seorang mantan manajer kawasan yang diwawancarai Vox mengaku butuh waktu beberapa minggu waktu untuk menyadari betapa beratnya pekerjaan di gudang Amazon. Salah satunya adalah karena minimnya waktu istirahat.
“Para manajer tidak mendapatkan istirahat atau makan siang. Sebagian besar dari kita tidak pernah makan. Setiap orang berdiri selama 12 jam sehari,” terangnya.
Pada hari H, kondisi kerja makin tidak masuk akal. Semua aktivitas dimulai pada pukul 07.00 dan tiap pegawai diwajibkan sudah berada di pos masing-masing. Ketika jam kerja dimulai, situasi seketika beralih kacau.
“Saya ingat ketika melihat angka orderan yang harus dikerjakan, jumlahnya naik dari 10.000 ke 300.000. Saya mulai berpikir bahwa tak satu pun dari kami yang sanggup menyelesaikannya,” terang sang mantan karyawan tersebut.
Ia mengibaratkan situasi di gudang Amazon bak bendungan yang tiba-tiba dibuka; seluruh operasi perusahaan bekerja non-stop serta dengan kapasitas penuh.
Pada mulanya para karyawan senang karena mendapat bayaran 1,5 kali dari biasanya. Namun, ketika pekan Natal berakhir, kelelahan yang luar biasa baru mereka rasakan. “Orang-orang lelah luar biasa sehingga kami kehilangan sejumlah besar karyawan,” sebut seorang karyawan anonim.
“Orang-orang perlu tahu bahwa ada harga yang harus dibayar dibalik pengiriman gratis,” tegasnya.
Masih dari Vox, Amazon membantah kesaksian tersebut. Dalam keterangan resminya mereka mengatakan: “Ini pengalaman yang sangat disayangkan. Namun, bagi banyak rekanan dan manajer di pusat-pusat pemenuhan, musim liburan adalah waktu yang menyenangkan dan menarik untuk bekerja.”
Situasi ini tidak hanya terjadi di industri hulu. Di toko-toko retail, kejadiannya hampir serupa. Business Insider melaporkan salah seorang mantan karyawan anonim dari toko elektronik Best Buy menyebut situasi toko tersebut ketika Black Friday sebagai "kegilaan".
“Ketika pintu masuk pertama kali dibuka, yang terjadi adalah kegilaan di jam-jam awal,” sebutnya. "Semuanya tampak kabur.”
Ia juga mengatakan bahwa kebahagiaan yang mereka dapatkan dari insentif Black Friday tak sebanding dengan yang mereka alami di hari tersebut.
Dari pihak konsumen sendiri, tak sedikit korban yang jatuh karena brutalnya kompetisi antar konsumen di toko-toko fisik retail. Seperti dilansir dari laman American Marketing Association (AMA), setidaknya terdapat 10 korban meninggal dunia dan 105 korban luka-luka pada hari Black Friday per Oktober 2017.
Lebih lanjut, terjadi dua kecelakaan mobil masing-masing pada tahun 2012 dan 2013. Korbannya meninggal setelah berbelanja di hari Black Friday. Dalam satu kasus kecelakaan, korban tertidur ketika menyetir.
Pada 2008, seorang karyawan yang meninggal dunia karena terinjak-injak di Walmart Long Island, AS, tepat di hari Black Friday.
Di Indonesia, minat penelusuran Black Friday di mesin pencarian Google pada 2017 meningkat 16 persen dibandingkan pada 2016. Peningkatan ini menandakan masyarakat Indonesia mulai tertarik dengan promosi-promosi pada Black Friday.
Editor: Windu Jusuf