tirto.id - Kekacauan dan kericuhan yang terjadi dalam Nike Bazaar di Grand Indonesia, Jakarta, pada Selalu lalu (22/8), sebenarnya tidak mengejutkan. Situasi kacau saat berlangsung diskon besar-besaran cukup sering terjadi, bahkan tidak hanya di Indonesia.
Kejadian serupa kerap terjadi di Amerika Serikat sehari setelah perayaan Thanksgiving. Sebagian besar gerai di negeri Paman Sam buka lebih awal, bahkan sejak dini hari. Yang menggiurkan, mereka juga menawarkan diskon besar-besaran.
Pada 2016, Wired melansirbeberapa contoh barang yang dijual dengan potongan harga besar-besaran setelah Thanksgiving. Misalnya, kamera Nikon D3400 DSLR Bundle mulanya dibanderol seribu dolar AS oleh gerai Target. Saat pesta diskon yang terkenal dengan sebutan Black Friday tersebut, kamera itu dijual seharga 500 dolar AS alias diskon 50 persen.
Muasal Istilah Black Friday
Ben Zimmer, kolumnis The Wall Street Journal, mengungkapkan orang-orang AS sering salah mengerti asal-usul istilah Black Friday. Dalam The Origins of "Black Friday", Zimmer mengungkapkan banyak orang mengira istilah "black" (dalam Bahasa Indonesia lebih tepat diartikan "suram") merujuk turunnya angka pendapatan gerai karena banyak barang yang dijual dengan harga diskon.
Padahal bukan itu yang sebenarnya. Istilah tersebut pertama kali digunakan pada 1960-an oleh polisi Philadelphia untuk menggambarkan fenomena kemacetan panjang yang terjadi di sepanjang kota. Kemacetan disebabkan sangat banyak orang yang berbondong-bondong antre di sekitar gerai.
Suramnya Black Friday tidak hanya dialami para polisi. Sudah jelas para pengunjung dan apalagi pegawai gerai merasakannya langsung.
Bagaimana
Streetwear Menjadi Barang Mewah?Saking hebohnya, setiap Black Friday, ribuan orang rela mengantre di depan gerai. Alhasil, saat pintu gerbang gerai dibuka, terjadi dorong-dorongan, saling himpit, dan akhirnya terinjak-injak. Saling sikut dan pukul tidak lagi terhindarkan. Di dalam gerai, mereka juga kerap (dan bahkan harus) berkelahi demi mendapat barang yang mereka mau.
Tidak jarang bahkan pesta diskon besar-besaran itu menimbulkan korban jiwa.
Tahun lalu, seorang wanita dijambak dan dipukuli oleh seorang pria di momen Black Friday. Seorang pria, Isidore Zarate menghampiri si pria. Ia menyuruh pria itu melepaskan tangan si wanita. Sejurus kemudian si pria melepaskan tangan si wanita, tapi malah mengambil pistol dari sakunya dan menembak. Zarate meninggal seketika.
Pada 2008, Daily News melaporkan seorang pegawai Wal-Mart meninggal diinjak kerumunan pengunjung yang menyerbu gerai Valley Stream, Long Island. Sepanjang 2008-2017 situs blackfridaydeathcount.com mencatat, total 10 orang meninggal dan 105 orang luka-luka saat berlangsung Black Friday.
Kerumunan Massa dan Potensi Kematian
“Berkali-kali, kita temukan, pola gerakan kerumanan massa adalah sumber bencana yang sebenarnya,” ujar Arianna Bottinelli, peneliti dari Nordic Institute for Theoretical Physics, dalam Disorder and Disasters in High-Density Crowds.
Bottineli mengungkapkan bahwa pergerakan kerumunan massa manusia mirip dengan biji-biji kopi yang dibungkus dalam sebuah tas. Dalam mekanisme yang dapat dimodelkan dengan sistem granular tersebut, setiap grain – manusia atau biji kopi – mengalami gaya kontak dengan tetangganya sampai menemukan ekuilibrium statis. Akibatnya, dalam kemasan padat tersebut, tercipta suatu jaringan gaya kasat mata dengan beberapa anggota mengalami gaya yang lebih tinggi dibanding yang lain.
“Hebatnya, jaringan gaya kontak ini dapat memperkuat gangguan kecil menjadi gerakan kolektif berskala besar,” ujar Bottineli.
Lalu, mungkinkah memprediksi siapa yang paling berpotensi jatuh dan mengidentifikasi titik paling berisiko tinggi dalam suatu kerumunan?
Dalam studi tentang materi granular, menurut Bottineli, grain yang ditempatkan di daerah jaringan gaya kontak rendah memiliki sedikit lebih banyak area untuk bergerak. Ketika sistem berdesak-desakan, daerah tersebut adalah tempat pergerakan paling banyak.
Dalam konteks kerumunan manusia, artinya, gangguan mendadak terhadap daerah tersebut dapat membuat seseorang terlontar di titik-titik gaya kontak rendah paling jauh. Melalui simulasi, Bottineli mengamati bahwa orang-orang yang berada di daerah tersebutlah yang paling berisiko tersandung dan kemudian diinjak-injak.
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Zen RS