tirto.id - Baru-baru ini, nama Mustafa Kemal Ataturk (1881-1938) mencuat jadi perdebatan. Semua bermula dari rencana nama jalan Mustafa Kemal Ataturk untuk salah satu ruas jalan di Jakarta. Penamaan jalan itu disebut bagian dari kerja sama antara pemerintah Indonesia dengan Turki setelah pemerintah Turki menyematkan nama Presiden Sukarno sebagai nama jalan di depan kantor KBRI di Ankara.
Rencana itu kemudian menuai penolakan dari sejumlah kalangan, di antaranya Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menilai Ataturk merupakan tokoh sekuler yang mengacak-acak ajaran Islam. Lain itu ada pula Dewan Pimpinan Wilayah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jakarta yang menyebut Mustafa Kemal sebagai diktator yang kebijakan-kebijakannya merugikan umat Islam.
“Sangat diktator. Dia juga membuat kebijakan mengubah Masjid Hagia Sofia menjadi museum, mengganti azan berbahasa Arab dengan bahasa lokal, melarang pemakaian jilbab di sekolah dan kantor-kantor pemerintahan,” ujarnya Ketua Dewan Pimpinan Wilayah PKS DKI Jakarta Khoirudin sebagimana dikutip Kompas.
Tokoh yang kemudian digelari Ataturk pada 1934 ini memang dikenal sebagai pelopor sekulerisme di dunia Islam. Dia juga terlibat dengan kelompok Turki Muda yang kemudian mengobarkan revolusi dan melikuidasi Kesultanan Turki Usmani.
“Dalam seluruh dunia Muslim, Mustafa Kemal Ataturk (1881-1938) pendiri Republik modern Turki, dipandang sebagai personifikasi kekerasan sekulerisme,” tulis Karen Armstrong dalam Fields of Blood: Mengurai Sejarah Hubungan Agama dan Kekerasan (2017, hlm. 417).
Meski begitu, menurut Armstrong, Mustafa Kemal juga punya jasa besar bagi Turki modern. Dalam Perang Dunia I, dia dan pasukannya berhasil menahan Inggris dan Perancis masuk ke Anatolia yang menjadi jantung Turki Usmani sehingga terhindar dari kemungkinan aneksasi. Dia jugalah yang berhasil membawa Turki menjadi republik dan memodernisasi negara yang sempat dijuluki the sick man of Europe itu.
Sosok Mustafa Kemal yang nasionalistis dan reformis itu kemudian juga dikagumi oleh beberapa tokoh pergerakan nasional Indonesia, di antaranya Sukarno dan Mohammad Hatta.
Mohammad Hatta menyebut nama Mustafa Kemal dalam memoarnya. Hatta, dalam Mohamamd Hatta: Indonesian Patriot (1981, hlm. 167) menyebut Mustafa Kemal adalah contoh sejarah bagi perjuangan kemerdekaan melawan kolonialisme dan imperialisme. Hatta juga menyebut Mustafa Kemal sebagai pemimpin gerakan kemerdekaan Turki yang dicap sebagai pemberontak, tapi kemudian disebut pahlawan kala perjuangnnya berhasil.
Bagi pemuda pergerakan era 1930-an macam Sukarno atau Hatta, Mustafa Kemal adalah inspirasi. Bagi Hatta, seperti dicatat Deliar Noer dalam Mohammad Hatta: Biografi Politik (1990, hlm. 46), revolusi yang terjadi di Turki—juga pergolakan kaum nasionalis India—turut pula memengaruhi gerakan di Indonesia. Dari kedua kejadian bersejarah itu, Hatta dapat inspirasi bahwa pergerakan musti bersandar pada kekuatan sendiri.
Kemenangan Mustafa Kemal Pasha di Afiun Karahisar sama saja seperti Kemenangan Jepang atas Rusia pada 1905 di Port Arthur. Kemangan Mustafa Kemal Pasha itu disebut Sukarno dalam Islam, Nasionalisme, Marxisme (2000, hlm. 63) sebagai kemenangan Asia atas Eropa atau kemenangan Timur atas Barat. Mustafa Kemal pun dianggap sejajar dengan Mahatma Gandhi dari India, Sun Yat Sen dari Tiongkok, Giuseppe Mazzini dari Italia, atau segala tokoh yang ingin memerdekakan bangsanya.
Sukarno suka sekali mengutip kalimat Mustafa Kemal Pasha, “Cinta tanah air adalah perasaan terindah yang bisa memuliakan nyawa.” Sukarno bahkan ingin Indonesia bisa seperti Turki.
Sukarno kerap diserang oleh Mohammad Natsir—yang belakangan menjadi tokoh Masyumi—karena pandangannya itu. Dulu, para nasionalis yang ingin Indonesia modern seperti Turki biasa dijulukiKemalisten. Sukarno tentu saja juga kena cap itu dan dianggap pendukung sekulerisme oleh Natsir.
Wartawan bernama Inu Perbatasari, seperti dicatat Molly Bondan dalam Spanning a Revolution (2008, hlm. 75), menyebut gerakan nasional Turki memang jadi teladan bagi gerakan nasional Indonesia. Revolusi Turki jadi inspirasi Bondan—suami Molly—untuk terus bergerak melawan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda hingga dibuang ke Digul lalu Australia.
Tokoh lain yang turut mengidolakan Mustafa Kemal adalah Ruslan Abdulgani. Dalam Indonesia Menatap Masa Depan: Kumpulan Karangan (1986, hlm. 351) menyebut, “Gambar Mustafa Kemal Ataturk ikut menghiasi dinding-dinding rumah orang pergerakan.” Generasi Ruslan banyak tahu soal Mustafa Kemal dari pendidikan politik yang kerap digelar oleh Sukarno dan Hatta.
Jenderal Abdul Haris Nasution, sebagaimana dikutip buku Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia (1981, hlm. 422), mengaku, “Pahlawan saya waktu masih kecil adalah Kemal Pasha.”
Nasution pun masuk pendidikan calon perwira KNIL sebagaimana Mustafa Kemal yang pernah berdinas di kemiliteran Turki Usmani. Ketika angin perubahan menggeliat di negerinya, Nasution juga bergerak seperti Mustafa Kemal.
Meski Mustafa Kemal tak disukai karena sekulerisme yang dia terapkan di Turki, nyatanya tak semua aktivis Islam zaman kolonial membencinya. Nasution mengakui ayahnya yang seorang pengikut Sarekat Islam adalah pengagum Mustafa Kemal. Sang ayah kerap berkisah tentang perjuangan Mustafa Kemal yang dianggapnya pahlawan.
“Ayah saya di masa mudanya pengikut Sarekat Islam, dan ia adalah pengagum perjuangan kebangkitan Islam, dan kebangkitan Turki. Sebuah gambar besar Kemal Pasha adalah satu-satunya hiasan dinding di rumah kami,” aku Jenderal Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas: Kenang Masa Muda (1989, hlm. 12).
Pengaruh Mustafa Kemal Pasha di akhir zaman kolonial Hindia Belanda bahkan sampai ke pedalaman Papua. Di pengasingan Boven Digul, seorang aktivis Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) bernama Lukman menamai anaknya Rachman Pasha Lukman. Anak Lukman yang lain diberi nama Urhen—kebalikan dari nama Nehru sang pemimpin nasionalis India.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi