tirto.id - Presiden Joko Widodo mengumumkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) untuk pertama kalinya pada Sabtu, 3 Juli 2021, setelah tingkat okupansi rumah sakit yang tinggi dan krisis kematian karena Covid-19. Pandemi sudah menelan lebih dari 60 ribu korban jiwa sejak Maret tahun lalu dan 11.550 di antaranya hanya dalam dua pekan hingga 3 Juli.
Dua pekan setelah PPKM pertama diumumkan, Sabtu 17 Juli, sekelompok seniman asal Tangerang yang tergabung dalam Halfway Street Connection atau HSC Forum membuat blockbuster–mural dalam bentuk tulisan yang besar–dengan tema kondisi Indonesia sekarang. Hal ini dilakukan setelah melihat banyak orang terdampak dari segi ekonomi, termasuk kesulitan memenuhi pangan.
Setelah berembuk, forum memutuskan menulis: “Tuhan, Aku Lapar!!” di sebuah dinding di pinggir jalan pertigaan Katomas, Tigaraksa. Dinding tersebut sudah jadi langganan HSC Forum untuk membuat berbagai grafiti. Mereka juga mengenal pemilik lahan yang tidak keberatan apabila dindingnya dijadikan “kanvas”.
Selain sering dipakai sebagai sarana berkarya, dinding yang sama sering dijadikan tempat untuk dipasangi spanduk karena posisinya yang strategis. Tidak jarang ormas, parpol, dan lembaga pemerintahan ikut memasang spanduk program dan kampanye. Tertangkap pada Google Maps pada Mei 2019 terpasang dua spanduk dan baliho iklan pondok pesantren dan pendidikan anak usia dini (PAUD). Mural di dinding yang sama bertuliskan “MERDEKA” juga dibuat oleh HSC Forum pada Oktober 2018.
Sekitar 15 anggota HSC patungan untuk membeli alat dan bahan seperti satu kaleng cat kiloan seharga Rp12 ribuan dan satu pail besar cat hitam seharga Rp150 ribuan. Biaya pembelian cat tak terlalu berat karena mereka juga memiliki uang kas. “Enggak sampai Rp250 ribu-lah, sudah termasuk camilan,” kata Ohaiyoh, perwakilan HSC Forum ketika dihubungi Tirto, Minggu 29 Agustus 2021. Dikurangi dengan uang kas, kira-kira satu orang hanya merogoh kocek Rp10 ribu.
Mereka memulai aksinya pukul 10 malam. Ketika mengerjakan mural tersebut, Ohaiyoh mengaku dia dan teman-teman HSC telah menerapkan protokol kesehatan: memakai masker dan semua dalam keadaan sehat walafiat. Mereka menyelesaikan mural pada malam itu juga dan segera pulang.
Pada 22 Juli, mereka mengunggah karyanya di Instagram melalui akun @hsc_forum. Pada tanggal yang sama kebetulan sejumlah mahasiswa di Tangerang berdemonstrasi menolak PPKM Level 4 yang dianggap menyengsarakan rakyat. Momentum yang berbarengan itu dianggap sebagai pemicu viralnya unggahan HSC Forum.
Setelah viral, malamnya Ohaiyoh dan kawan-kawan mendapat kabar bahwa mural mereka telah dihapus oleh aparat. “Jumat malam [s]udah kita hapus. Ketika tahu ada mural itu langsung dihapus,” kata Kapolsek Tigaraksa Kompol Rudi Supriadi.
Tengah malamnya, rumah beberapa anggota HSC Forum didatangi aparat dan mereka diminta datang ke Polsek Tigaraksa untuk dimintai keterangan. Sekitar 5-6 orang anggota HSC menyanggupi. Di polsek, polisi mengatakan kepada Ohaiyoh bahwa mural mereka provokatif, terutama karena ada dua tanda seru di belakangnya. Bagi Ohaiyoh dan kawan-kawannya, itu alasan yang dibuat-buat.
Mereka diminta membuat video klarifikasi--yang ternyata berisi permintaan maaf. Karena sudah lelah dan agar bisa segera pulang, HSC menyanggupi. Tapi ternyata proses itu berlarut-larut. Mereka terus-terusan diminta untuk mengulangi merekam video hingga lima kali hingga kepolisian merasa puas dengan isi videonya. Akhirnya proses yang dimulai sejak 11 malam itu baru selesai jam 3 pagi.
Polisi mengaku video tersebut hanya untuk arsip, tapi ternyata disebar melalui media-media. Salah satunya diunggah di Instagram oleh akun @infobalaraja.
Tidak selesai sampai di situ, pada 23 Juli pagi, beberapa polisi termasuk Kapolresta Tangerang Kombes Wahyu Sri Bintoro bersama dengan aparat desa mendatangi kediaman dua orang anggota HSC dan memberikan mereka bantuan sosial (bansos). Dokumentasi dilakukan, dan lagi-lagi diklaim hanya untuk arsip.
Ohaiyoh dan teman-temannya menganggap tingkah tersebut sarat pencitraan, dan oleh karenanya, dibantu oleh aktivis setempat, mereka kembali mendatangi Polresta Tangerang. Kali ini untuk bermusyawarah sekaligus mengembalikan bansos.
Seperti yang terjadi sebelumnya, “arsip” pemberian bansos tetap disebarkan ke berbagai media, salah satunya artikel dua paragraf di penabanten.com. Selain rilis dokumentasi, media-media kemudian mengangkat narasi yang menyudutkan posisi Ohaiyoh dan HSC Forum. Contohnya yang ditulis di bantenkini.com dengan judul “Ombudsman Puji Forkopimda Kabupaten Tangerang Sambangi Pembuat Mural Viral”. Mereka menarasikan pujian oleh Ombudsman dengan menganggap pemberian bansos adalah bukti negara telah hadir di tengah masyarakat yang kesulitan.
Puncaknya, pada 24 Juli, muncul berita bahwa pembuat mural yang viral kembali membuat mural dengan tulisan “Terima Kasih Tuhan Kami Kenyang”, dan “Polri TNI Warisan Ulama Indonesia”. Berdasarkan artikel yang dimuat di suarajakarta.id, keterangan foto-foto tersebut berasal dari dokumentasi Polresta Tangerang.
HSC Forum membantah. Mereka mengatakan tidak pernah membuat mural itu, pun tidak pernah mendokumentasikan apalagi mengunggahnya di media sosial. Malah, pada 23 Agustus, HSC Forum kembali membuat mural dengan nama yang sama dengan murah pertama bertuliskan “Wabah yang Sesungguhnya Adalah Kelaparan”, yang umurnya tidak sampai 10 jam karena lagi-lagi dihapus aparat.
Propaganda dan Pencitraan Polisi
Pandemi menuntut pengurangan kegiatan luar ruangan sehingga masyarakat sulit untuk menyatakan ekspresi dalam skala besar seperti demonstrasi. Semakin sempitnya ruang untuk mengekspresikan pendapat ini membuat masyarakat semakin gencar di ruang-ruang baru, misalnya ruang digital dan ruang publik lain dengan skala pelaku yang lebih kecil dan tidak membuat kerumunan seperti mural, stiker, wheatpaste, dan poster.
Demonstrasi di masa pandemi sering kali didemonisasi oleh penguasa melalui aparat dengan dalih melanggar protokol kesehatan, dan ternyata hal serupa terjadi pada mereka yang mengekspresikan pendapat lewat cara lain.
Wakil Koordinator Kontras Rivanlee Anandar, ketika dihubungi 8 September lalu, menyebutkan polisi telah gagal menafsirkan hak konstitusional warga yang dijamin oleh negara. Menurutnya hal itu terjadi salah satunya karena kentalnya budaya militeristik di institusi pemerintah. Budaya ini sudah mengakar menjadi pola yang membungkam kebebasan sipil.
Dugaan lain mengapa represi langgeng adalah ada relasi yang kuat antara aparat dengan pihak-pihak yang tersinggung. Salah satu contohnya adalah ketika seorang peternak ayam mengangkat poster bertuliskan “Pak Jokowi Bantu Peternak Beli Jagung dengan Harga Wajar” ketika Presiden berkunjung ke Blitar pada 7 September 2021. Sebelum diamankan oleh aparat, yang pertama merebut poster justru Ketua Paguyuban Becak Makam Bung Karno yang kebetulan ada di sebelahnya.
Menganggap mural “Tuhan, Aku Lapar!!” sebagai sebuah pelanggaran patut dipertanyakan. Anggapan polisi bahwa penggunaan tanda seru membuat mural ini menjadi provokatif adalah alasan yang tidak masuk akal.
Apabila memang melanggar, Rivanlee mengatakan tak perlu polisi yang bertindak. Menurutnya, ketika mereka turun, negara jadi berbicara dalam watak yang otoriter. Polisi dianggap tidak memahami asas kebutuhan (necessity) dan proporsionalitas.
Lebih parah jika itu berlanjut dengan upaya pemantauan. Dan memang pemantauan sudah terjadi di berbagai ruang, termasuk ruang digital—media sosial.
Represi yang terus dilakukan oleh aparat, baik itu terhadap aksi massa atau aksi seperti seperti yang dilakukan para seniman sekarang, ditakutkan akan memberikan dampak sistematis. Rivanlee menyebut masyarakat akan kian enggan untuk mengkritik, padahal itu unsur penting dalam negara yang menganut demokrasi.
Ketakutan Rivanlee turut didukung oleh hasil survei yang dilakukan LP3ES pada April 2021 lalu. Hasil survei mengatakan 52,1 persen responden setuju bahwa saat ini ancaman kebebasan sipil semakin meningkat sehingga masyarakat semakin ketakutan dalam berpendapat, berekspresi, dan berkumpul serta berserikat.
Tapi mungkin juga muncul fenomena sebaliknya. Seperti fenomena Efek Streisand, semakin banyak dihapus, semakin banyak muncul mural baru. Sejak mural “Tuhan, Aku Lapar!!” viral, muncul banyak bentuk mural yang diikuti dengan penghapusan dan penangkapan dan demonstrasi kecil seperti pengangkatan poster.
Aksi ini terus bermunculan secara sporadis. Salah satu yang termutakhir adalah upaya kelompok aksi Gejayan Memanggil membuat “Lomba Mural Dibungkam”. Syarat untuk memenangkannya adalah kritik itu sendiri: mural semakin cepat dihapus aparat.
Efek Streisand adalah bentuk dari eskalasi ekspresi masyarakat yang semakin besar dan negara pun kian getol membuat narasi tunggal--mana yang benar dan salah. Semuanya justru terus memicu kemunculan protes.
Editor: Rio Apinino & Windu Jusuf