Menuju konten utama

Mural Bukan Sekadar Visual

Menjelang Asian Games, Anies kembali dihujani kritik. Penyebabnya: melibatkan pasukan oranye dalam membikin mural, alih-alih para seniman. Suara pro dan kontra pun tak terhindarkan.

Mural Bukan Sekadar Visual
Sejumlah Petugas Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) mengecat trortoar bermotif Asian Games 2018 di kawasan sekitar Wisma Atlet kemayoran, Jakarta, Jumat (20/7/2018). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Persiapan Jakarta untuk memperindah tampilan kota sebagai tuan rumah Asian Games 2018 kembali jadi bahan lelucon. Setelah pemasangan waring untuk menutupi bau busuk dari Kali Sentiong ramai dibicarakan publik, kebijakan Pemprov yang kini menuai komentar pedas adalah pengerjaan mural.

Pasalnya, ketimbang menggandeng pekerja seni dan komunitas mural, Pemprov DKI justru meminta petugas Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) untuk menghias dinding-dinding yang telah disiapkan.

Beberapa foto yang beredar memperlihatkan petugas berseragam PPSU Joglo sedang menggambar bendera-bendera negara peserta Asian Games dan tulisan “Asian Games Jakarta Palembang” dengan warna kontras di beton yang memanjang.

Menanggapi hal itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, berkilah. “Seingat saya gubernur tak pernah memberikan tugas itu [menggambar mural], ya,” katanya sembari tertawa, Selasa (24/7/18). “Memang harus ada ruang untuk kreativitas. Jangan juga kaku. Beri ruang kreatif, namun tetap ada batasnya.”

Seniman mural Yudha Dwi (33) mengatakan, Pemprov DKI seharusnya menggandeng para seniman mural. Karena lewat tangan seniman, akan tercipta mural yang lebih berkualitas. Yudha tidak sedang menjelek-jelekkan karya pasukan oranye. Ia hanya mengatakan yang dihasilkan mereka “kurang kreget.”

“Saya tidak menjelek-jelekan pasukan oranye, saya juga apresiasi inisiatif mereka. Gambarnya pun cukup merepresentasikan Asian Games. Namun, tetap hasil akhir mural yang dilihat,” kata Yudha kepada Tirto, Rabu (25/7/2018).

Seniman mural lainnya, Popo, juga tak habis pikir kenapa para pasukan oranye yang ditugaskan untuk membuat mural. Sebab, meski menurutnya semua orang bisa berkarya, tapi tetap saja soal kualitas tak bisa disamakan.

“Sama seperti menyuruh muralis membersihkan jalan raya,” kata Popo kepada Tirto.

Menurut Popo, apa yang terjadi sekarang seharusnya merangsang para seniman untuk bergerak. Seorang seniman tidak semestinya berkarya ketika ada perintah atau tawaran kerja sama.

Yang Bisa Dicontoh Anies

Mural merupakan gambar di atas dinding, tembok, atau permukaan luas lainnya yang bersifat permanen. Mural menjadi tempat untuk menuangkan ekspresi dalam wujud visual untuk berbagai macam kebutuhan, mulai dari seremonial hingga protes.

Jauh sebelum Anies, kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat lintas lapisan dalam membikin mural sudah banyak bermunculan.

Di Solo pada 2017 silam, misalnya, Dinas Pariwisata mengajak komunitas mural untuk membikin program “Solo Is Solo.” Melalui program ini, para seniman menghias tembok-tembok di sepanjang koridor Gatot Subroto dengan aneka mural. Tujuannya: menciptakan ikon destinasi wisata baru serta ruang sosial yang humanis, interaktif, edukatif, dan inspiratif di Kota Solo.

“Kami mengembangkan yang awalnya sekadar konsep festival menggambar mural menjadi sebuah galeri street art di sebuah kota. Karena semangat Pemkot (Pemerintah Kota) Solo itu lebih pada pengembangan sebuah destinasi wisata. Tapi, poin kami itu bikin karya di konsep jalur kesenian,” ungkap Koordinator Program “Solo is Solo,” Irul Hidayat, kepada Kompas.com.

Sekitar 120 seniman mural dari 28 komunitas terlibat dalam pembuatan mural di koridor sepanjang 400 meter itu. Total, ada 30 karya mural yang dibuat; dari gambar Jokowi, Gesang (maestro keroncong Solo), aksi sumpah pemuda, budaya anak muda masa kini, sampai pop culture.

“Nanti akan ditambah penerangan, sehingga bisa menjadi tempat bersantai, rekreasi, dan selfie dengan latar belakang karya-karya mural. Pelaku usaha di sana juga tidak keberatan karena tidak mengganggu usaha mereka,” tambah Kepala Seksi (Kasi) Promosi Pariwisata Dinas Pariwisata Surakarta, Tri Rosnita.

Di Yogyakarta, 60 km dari Solo, beberapa spots seperti bekas gedung bioskop Pertama di Jalan Gajah Mada, pojok timur Pasar Kembang, serta jembatan layang Lempuyangan, juga digambari mural karya Jogja Mural Forum (JMF) pimpinan Samuel Indratma.

Tema yang diangkat JMF dalam mural tersebut kebanyakan cerita-cerita tradisi yang punya pesan kuat bagi kehidupan bermasyarakat. Contohnya, di tembok jembatan Lempuyangan sisi barat dan timur, ada mural bergambar Ramayana dalam lakon 'Rama Tambak'

Sementara di area lain di bawah jembatan, terdapat mural Ki dan Nyi Brayut serta legenda Jaka Tarub-Dewi Nawangwulan. Tak ketinggalan, ada juga mural tokoh Punakawan macam Petruk dan Bagong yang membawa tulisan ‘Eling lan Waspada’ (Ingat dan Waspada) serta ‘Aja Adol Negara’ (Jangan Jual Negara).

Keberadaan mural yang tersaji di dinding tembok perkotaan ini disambut hangat oleh pemerintah kota. Bahkan, dari situ pemerintah telah berinisiatif menggandeng komunitas mural untuk membikin mural di dinding kantor walikota dengan gambar suasana Yogyakarta serta Pasar Beringharjo.

“Jika di kantor kecamatan masih ada dinding yang dapat dimural, maka bisa diusulkan untuk dimural saja. Tentunya dengan gambar yang menunjukkan potensi atau kekhasan wilayah masing-masing,” tutur Walikota Yogyakarta, Haryadi Suyuti, kepada Antara.

Haryadi berharap, ke depan, terdapat banyak mural yang menggambarkan peristiwa-peristiwa penting di Yogyakarta seperti Serangan Umum 1 Maret sampai Pertempuran Kota Baru. Dengan keberadaan mural semacam itu, Haryadi yakin akan tercipta perubahan suasana di lingkungan instansi pemerintahan.

Pemandangan sama muncul juga di belahan dunia lain. Dalam rangka menyambut hajatan Olimpiade Rio 2016, Komite Olimpiade Internasional meminta seniman bernama Eduardo Kobra untuk menggambar mural di Olympic Boulevard, Rio de Janeiro, Brazil. Sebagaimana diwartakan Rio Times, butuh waktu sekitar 45 hari bagi Kobra merampungkan muralnya. Pada 30 Juli 2016, mural yang diminta Komite Olimpiade Internasional akhirnya rampung.

Selain mengangkat tema berupa kebersamaan etnis (berjudul ‘Etnias’) dengan gambar wajah dari lima suku asli dari berbagai benua (Huli, Mursi, Kayin, Supi, dan Tapajos), yang bikin mural Kobra istimewa adalah fakta bahwa Guinness World Records menetapkannya sebagai “mural cat semprot terbesar di dunia,” memecahkan rekor sebelumnya yang dipegang seniman Meksiko, Ernesto Rocha, yang membikin mural di Mazatlan.

Dalam keterangan resminya, pihak Guinness World Records menyebut bahwa mural Kobra adalah “kombinasi luar biasa dari kemampuan dan selera seni,” serta bakal terus diingat sebagai “salah satu karya ciptaannya yang paling mengesankan.”

Kobra membikin muralnya di atas dinding dengan tinggi 51 kaki dan lebar 560 kaki. Lokasi tempat Kobra menggambar mural menjadi tujuan favorit para pelancong yang mengunjungi Brazil selama perhelatan Olimpiade.

Lebih dari Sekadar Visual

Gambar mampu berbicara lebih. Itu pula yang bisa diambil dari keberadaan mural.

Tak sekadar jadi ornamen penghias, seperti yang dilakukan Anies dalam menyambut datangnya Asian Games 2018, mural juga bisa berperan sebagai medium protes, suara komunitas, serta alat pemersatu.

Dua tahun sebelum ajang Olimpiade Rio diselenggarakan, Brasil lebih dulu melaksanakan Piala Dunia. Layaknya negara tuan rumah pada umumnya, Brasil pun bersolek. Mulai dari membangun stadion baru, jaringan transportasi massal, hingga menyediakan pelbagai fasilitas kelas atas bagi para pengunjung yang bakal datang menikmati Piala Dunia.

Namun, di tengah persiapan tersebut, pemerintah justru dihujani kritik keras. Pasalnya, pemerintah Brasil dianggap tidak peka terhadap situasi dalam negeri yang sedang tak stabil; kondisi perekonomian melemah, angka pengangguran menanjak tinggi, dan tingkat kesenjangan antara si kaya dan miskin kian melebar.

Hal itu diperparah oleh korupsi besar-besaran di perusahaan minyak milik negara, Petrobas, yang menyeret pejabat, politikus, dan bahkan Presiden Brasil, Dilma Rousseff. Kerugian yang didapatkan pemerintah akibat korupsi Petrobras menyentuh angka $29 hingga $42 miliar. Rousseff sendiri akhirnya dimakzulkan senat karena dinilai tak bisa menyelesaikan permasalahan skandal korupsi plus krisis ekonomi.

Salah satu wujud kemarahan masyarakat Brasil adalah mural. The Guardian melaporkan, mural yang berhasil menyampaikan pesan kuat akan krisis sosial-ekonomi di Brasil saat itu adalah mural bikinan seniman jalanan bernama Paulo Ito.

Mural Ito sangat sederhana. Gambar anak kecil miskin yang sedang duduk di meja makan, dan di depannya tersaji piring yang berisikan bola. Pesan mural Ito jelas: Piala Dunia diselenggarakan di tengah kemiskinan.

Ketimbang berfokus pada upaya perbaikan kondisi hidup masyarakat kelas bawah, pemerintah Brasil malah terus menguras kas negara demi ajang empat tahunan bernama Piala Dunia, yang konon katanya mampu meningkatkan gengsi dan mendatangkan pundi-pundi keuntungan.

Beda Brasil, beda pula Los Angeles. Mural yang tersaji di kota ini adalah medium untuk menyatukan berbagai komunitas yang hidup di dalamnya. Seperti dituturkan Carol Cheh dalam “Freeway Flyers: The Olympic Murals,” semua bermula saat Los Angeles bersiap menyambut Olimpiade 1984. Waktu itu, pihak panitia dibingungkan dengan bagaimana caranya agar Los Angeles bisa terlihat menarik di mata negara-negara tamu.

Direktur Festival Olimpiade, Robert Fitzpatrick, memutuskan untuk membikin mural. Uniknya, mural yang hendak digambar diletakkan di deretan tembok di jalan tol dalam kota (110 Freeway) yang berlokasi di timur Los Angeles.

Robert pun segera mengurasi seniman-seniman calon penggambar mural hingga akhirnya dipilihlah sepuluh orang. Namun, ide Robert sempat ditentang para seniman. Alasannya, menggambar mural di jalan tol sama halnya dengan membiarkan karya mural mudah dirusak oleh aksi-aksi vandalisme karena minimnya pengawasan.

Kendati ditentang, Robert maju terus. Pemilihan jalan tol sebagai lokasi mural sudah dipikirkannya matang-matang. Dalam benak Robert, jalan tol Los Angeles adalah jaring penghubung antarmasyarakat. Di jalan tol, masyarakat Los Angeles—yang terdiri dari berbagai latarbelakang etnis, dari imigran, kulit hitam, dan penduduk lokal—kerap mengalami kesepian mengingat kebanyakan dari mereka berkendara seorang diri.

Kesepian itulah yang ingin dimanfaatkan Robert untuk membangkitkan kesadaran masyarakat tentang arti kebersamaan, keterbukaan, dan segala kemungkinan yang baik tatkala mereka menyaksikan deretan mural yang terpampang di tembok-tembok jalan tol.

Walhasil, proyek itu pun diwujudkan. Berdasarkan instruksi Robert, masing-masing seniman membikin mural yang punya pesan kuat mengenai tekad, mimpi, dan nilai-nilai universalitas.

Contohnya adalah karya Judith Baca bertajuk Hitting the Wall. Lewat muralnya, Baca ingin berkata bahwa setiap orang, termasuk mereka yang kerap terpinggirkan keadaan, berhak dan punya kesempatan untuk “melintasi garis akhir kompetisi.” Sementara mural Glenna Avila berjudul L.A. Freeway Kids, bertutur tentang keriaan anak-anak kecil LA yang menggantungkan harapan besarnya akan banyak hal.

Semangat komunal dan menjaga mimpi inilah yang membuat mural di jalan tol Los Angeles jadi ikonik. Banyak yang mengatakan, jika ingin melihat bagaimana Los Angeles beserta dinamika di dalamnya, lihat saja mural-mural tersebut.

“Gagasan tentang publik dan komunitas telah berubah. Lingkungan kita bukan lagi lingkungan yang terisolasi dan terpisah oleh jarak. Sebaliknya, orang-orang terhubung melalui sistem, gambar, dan informasi. The Olympic Freeway Murals adalah milik semua orang. Ekspresi mural di sana adalah milik seisi kota. Dengan [ditempatkan] di jalan tol dan sistem sirkulasi kota yang hiruk-pikuk dengan aliran darah kehidupan beserta detak jantungnya, mural menjadi bagian dari sistem itu dan menghubungkan masyarakat kita,” jelas seniman Lita Albuquerque.

Infografik Mural Untuk Anies

Guna menjaga semangat itu tetap menyala, Departemen Transportasi California (Caltrans) dan Mural Conservancy of Los Angeles mengambil langkah untuk merestorasi mural-mural di 110 Freeway.

“Mural-mural ini adalah jembatan penghubung antara seni jalanan, museum, dan galeri,” papar Direktur Eksekutif Mural Conservancy, Isabel Rojas-Williams, kepada Los Angeles Times. “Ini sejarah kami. Mereka [seniman] menceritakan kisah kami. Dan kami memutuskan harus kembali ke sana dan menghidupkan lagi kisah itu.”

Meski begitu, dari total sepuluh mural yang ada, hanya tujuh yang bisa direstorasi. Tiga di antaranya berada dalam kondisi rusak parah akibat aksi-aksi vandalisme.

Menurut Tony Matthews dan Deanna Grant-Smith dalam “How Murals Helped Turn A Declining Community Around” yang dipublikasikan The Conversation, kerjasama seniman dan komunitas—masyarakat—dalam membikin mural di Los Angeles bisa membantu mereka secara terbuka merayakan interaksi masa lalu, masa kini, dan masa depan.

Pembuatan mural, catat keduanya, adalah “cara masyarakat untuk terlibat dalam dialog sosial” serta “mengurangi perasaan terasing dari lingkungan sekitar.” Dengan mural, masyarakat mampu mengaktifkan kembali ingatan kolektif tentang daerah yang mereka tinggali.

Pendapat senada turut diungkapkan Bujangan Urban, seniman mural yang memimpin kolektif Gardu House. Menurutnya, selama berkecimpung di dunia ini selama lebih dari satu dekade, bagian yang terpenting dalam mural bukanlah hasil, melainkan proses dan bagaimana mural tersebut bisa berinteraksi dengan masyarakat di luar kancah seni mural.

“Gue bukan pendukung Anies, dan bukan juga pendukung sosok politik mana pun. Tapi, menurut gue, apa yang dilakukan Anies itu patut diapresiasi. Dia bisa melibatkan masyarakat di luar komunitas mural untuk mengenal mural, dengan cara menggambar langsung. Bagi gue, hasil jelek atau enggak itu bukan prioritas. Yang penting adalah proses dan gimana mural itu berkomunikasi dengan lingkungan sekitar. Dari sisi ini, gue rasa Anies sudah melaksanakannya,” katanya saat dihubungi Tirto.

Perkara mural ini terlanjur jadi kontroversi di masyarakat. Pelbagai pendapat satu per satu bermunculan. Ada yang menyesalkan sikap Anies yang dianggap tak serius mempersiapkan ajang berskala internasional, ada pula yang menyebut selera seninya katrok. Intinya, komentar-komentar itu menilai bahwa kebijakan meminta petugas PPSU membikin mural semakin membuktikan bahwa Anies memang penuh lelucon.

Panggung tengah digelar dan dinding-dinding kota diperindah. Namun, yang hilang dari mural Asian Games adalah konsep mendetil tentang kerjasama antara pemerintah dan masyarakat. Kolaborasi pemerintah dan masyarakat apa yang sebenarnya dibayangkan terkait persiapan Asian Games? Apakah melibatkan petugas berseragam PPSU untuk membikin mural otomatis sama dengan partisipasi warga? Warga yang mana?

Baca juga artikel terkait MURAL atau tulisan lainnya dari M Faisal

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: M Faisal
Editor: Windu Jusuf