tirto.id - Seni mural kini menjadi salah satu bentuk perlawanan populer terhadap kesewenang-wenangan serta penindasan penguasa. Mural bisa menjadi bentuk protes politik dan ekspresi pemberontakan orang-orang tertindas di berbagai belahan dunia. Pengaruh protes dalam bentuk mural juga bisa menyebar dengan cepat.
Mural wajah George Floyd, misalnya, kini seolah telah mewujud menjadi gambaran perlawanan universal terhadap rasisme dan penindasan. Kita dapat menjumpai lukisan mural wajah George Floyd menempel di tembok gedung-gedung Amerika Serikat, Kenya, hingga di wilayah reruntuhan Idlib, Suriah.
Awal perkembangan seni mural tercatat jauh hingga zaman Mesir Kuno. Mural pada masa lalu merupakan penanda peradaban dengan budaya maju pada masanya. Meskipun seni mural mulanya berfungsi memperindah bangunan, sudah ada graffiti-graffiti liar di era Romawi Kuno dan Mesir Kuno. Graffiti ini dibuat oleh orang-orang pada saat itu untuk mengabadikan ekspresi cinta, ketidakpuasan politik, hingga penanda arah menuju sebuah rumah pelesiran.
Di sejumlah tembok bangunan peninggalan Romawi Kuno, kita dapat menjumpai sebuah graffiti berlambang ikan. Gambar ikan digunakan oleh jemaat-jemaat Kristen pada masanya sebagai simbol perayaan Yesus Kristus. Simbol ini juga berguna sebagai kode atau penanda rahasia mengenai keberadaan penganut Kristen yang bersembunyi dari persekusi yang dilakukan oleh Kekaisaran Romawi Kuno.
Sedangkan popularitas mural dan graffiti sebagai produk seniman jalanan yang dikenal sekarang ini bermula dari seseorang bernama Darryl McCray yang memakai cat semprot buat menarik perhatian perempuan idamannya. Ia menyemprot dinding sebuah bangunan untuk membuat tulisan graffiti pertama dengan sebuah cap khas bertulis Cornbread.
McCray, yang lahir di Philadelphia Utara pada tahun 1953 dan dibesarkan di Brewerytown, sebuah lingkungan di Philadelphia Utara, AS, kemudian juga menggunakan graffiti untuk memprotes ketimpangan sosial di daerahnya menggunakan metode cat semprot, dengan kanvas tembok gedung hingga mobil polisi.
DW mencatat bahwa pada masa kini, seni mural ini dipopulerkan lewat produk-produk hiburan seperti film dan musik, terutama yang bernuansa hip-hop Amerika Serikat. Pada tahun 1990, ketika hip-hop menjadi musik arus utama, ia membawa seni graffiti bersamanya lewat sampul album hingga majalah.
Di antara berbagai seniman-seniman mural kontemporer, Banksy merupakan salah satu yang paling menonjol dan fenomenal, meski identitasnya tidak pernah diketahui. Jejaknya terlihat dalam berbagai mural-mural stencilnya yang tiba-tiba muncul dan memuat pesan anti-otoritarianisme hingga anti-konsumerisme.
Karya Banksy menyebar di berbagai wilayah Eropa, dan bahkan di Gaza, Palestina, yang menjadi sebuah protes terhadap negara Barat atas perang di sana. Karya-karya Banksy pun menuai pujian dari banyak kritikus seni.
Hak Cipta Seniman Jalanan
Tindakan aparat di berbagai kota menghapus sejumlah mural bermuatan kritik terhadap pemerintah membetot perhatian publik Indonesia belum lama ini. Setidaknya, sejak akhir Agustus hingga memasuki bulan September 2021, tindakan penghapusan mural "kritik" oleh aparat terjadi di sejumah kota, termasuk Jakarta dan Bandung. Salah satu yang dihapus oleh aparat adalah mural bergambar mirip Presiden Joko Widodo bertuliskan "404: Not Found."
Tanpa mengabaikan fakta bahwa penghapusan mural tersebut mengarah pada pemberangusan kritik oleh aparat negara, fenomena ini juga bisa dilihat dari sudut pandang lain, yakni hak kekayaan intelektual para seniman.
Lantas, apakah seniman jalanan bisa memiliki hak cipta? Apakah seniman jalanan dapat memiliki hak kepemilikan atas karya-karya mereka?
Di Amerika Serikat, sebagai contoh, ada sebuah peraturan federal yang melindungi karya seni, termasuk mural. Aturan ini bernama VARA atau Visual Artists Rights Act 1990. VARA merupakan aturan yang memastikan bahwa para seniman dapat mengklaim perlindungan terhadap karya seninya.
Salah satu kasus terkenal berkat VARA adalah kemenangan para seniman tembok gedung 5pointz yang menuntut sebuah pengembang perumahan mewah di pengadilan pada 2014. 5Pointz sendiri awalnya adalah sebuah gedung bertingkat yang menjadi tempat berkumpulnya para seniman jalanan di Kota New York, AS.
Bahkan, sejumlah seniman menyewa tempat itu untuk menjadi "studio" karyanya. Dengan izin sang tuan tanah, mereka menyulap sebuah gedung kosong menjadi bangunan yang temboknya penuh dengan karya grafiti. Sejak 1990 hingga 2013, tercatat 1.500 seniman street art telah membuat karya di dinding-dinding 5pointz.
Namun, pada 2013, ketika pemilik bangunan berniat merobohkan gedung itu untuk dibangun menjadi apartemen baru, ia mengecat putih semua dinding dalam semalam. Tidak lama kemudian, gedung 5Pointz dihancurkan pada 2014. Karena itulah, para seniman 5Pointz menggugat pengembang properti yang menangani proyek itu.
Cecile Flaguel, juru bicara seniman-seniman 5Pointz, kala itu mengatakan bahwa, “Ini adalah sebuah kekonyolan dan penghinaan terhadap sejarah grafiti.”
Pengadilan AS lantas memenangkan para seniman 5Pointz dan memberikan ganti rugi sekitar 6,75 juta dolar AS. Bahkan, pengadilan juga menolak banding yang diajukan oleh pihak tergugat.
Kasus 5Pointz membuka jalan bagi seniman jalanan untuk diakui kepemilikannya atas karya, meskipun eksistensi mereka ada di luar tembok galeri. Kasus tersebut juga gambaran bahwa karya-karya mural jalanan juga sesuatu yang dimiliki oleh para seniman dan mesti dihormati. Maka itu, sensor terhadap mural atau graffiti dianggap oleh para seniman sebagai hal yang salah, dan bahkan kurang ajar.
Penulis: Stanislaus Axel Paskalis
Editor: Addi M Idhom