tirto.id - Para wisatawan mancanegara (wisman) bermodal minim yang sedang atau hendak ke Bali tampaknya harus berpikir ulang. Pasalnya, pihak Kantor Imigrasi Kelas I TPI Ngurah Rai bakal memberlakukan aturan tegas dengan mengirim para turis yang dianggap bermasalah itu ke Kantor Kedutaan Besar masing-masing.
"WNA yang nggak punya duit atau pura-pura gembel, akan kami kirimkan orang itu ke kedutaannya atau minta perlindungan ke kedutaannya yang notabene harus melindungi warga negaranya yang di sini banyak," kata Kabid Intelijen dan Penindakan Keimigrasian Kantor Imigrasi Kelas I TPI Ngurah Rai Setyo Budiwardoyo seperti dilansir Detik.
Setyo berargumen, para wisman yang kehabisan uang ini seringkali bikin onar. Ini belum termasuk kasus para turis bule yang justru jadi pengemis karena kehabisan uang, atau mengais makanan di tong-tong sampah hanya agar bisa berhemat untuk bisa beli tiket pulang ke negaranya. Bahkan ada seorang turis asing asal Jerman yang sengaja datang untuk menjadi pengemis di Bali dan di kota-kota besar lainnya di Indonesia dan Asia Tenggara.
Fenomena yang makin ramai terjadi sejak satu dekade terakhir ini sering disebut sebagai begpacker. Ini merupakan modifikasi dari kata backpacker, pejalan yang melakukan perjalanan hemat. Sedangkan begpacker adalah istilah sindiran yang dicomot dari dua kata, beg (mengemis) dan packer (pejalan).
Seringkali para begpacker yang kebanyakan datang dari Amerika dan Eropa ini menjalankan aksinya menjadi "orang miskin" di negara-negara Asia. Mereka mudah ditemui di negara-negara berkembang di Asia Tenggara, seperti Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, dan tentu saja Indonesia.
Di Bangkok, Thailand, jalan Khao San menjadi surganya para begpacker yang menjadi pengemis di jalanan. Mereka membawa kertas atau karton bertuliskan "donasi" lengkap dengan wadah uang yang siap menampung recehan. Mereka meminta uang agar bisa kembali ke negaranya atau bahkan kembali berlibur ke tempat lainnya. Ada juga begpacker yang berusaha mendanai perjalanannya dengan mengamen, menggalang dana, menjual foto liburan, kartu pos, atau bahkan bermain sulap.
Pemerintah Thailand sampai memperketat izin masuk pelancong asing di mana mereka harus menunjukkan uang tunai sebesar 20.000 baht (748 dolar) kepada pejabat imigrasi setempat sebagai kepastian bahwa mereka datang tak cuma modal nekat saja.
Orang-orang Asia banyak yang sudah jengah pada para begpacker ini. Radhika Sanghani menulis judul pedas "Gap Yah' Backpackers Begging for Money Should be Ashamed of Themselves" sebagai judul tulisannya di The Telegraph.
Di bawahnya, terpampang foto sepasang begpacker yang menjual kartu pos di Thailand. Foto itu dijepret oleh, "pejalan yang lebih sadar diri, dan para warga lokal yang merasa muak." Lebih lanjut, Sanghani juga mengatakan bahwa melancong, meski di hostel termurah sekalipun, bukanlah hak yang diberi begitu saja oleh Tuhan. Melainkan kemewahan yang tak dipunyai oleh jutaan orang lain.
Perdebatan Etik Begpacker
Selama ini, ada stereotipe umum di banyak negara-negara berkembang: orang kulit putih atau bule pasti punya banyak uang. Pandangan ini sepaket dengan kecenderungan inlander yang menempatkan orang kulit putih lebih tinggi ketimbang non kulit putih. Akar cara berpikir seperti terbentuk dari proses kolonialisasi negara-negara Barat atas Asia.
Pandangan ini kemudian tentu saja runtuh ketika melihat para begpacker yang terlunta-lunta, mengemis, mengamen bahkan mengais sampah. Mungkin, di awal-awal, banyak orang akan merasa iba, juga merasa senang, bahkan bangga, karena bisa membantu para bule ini. Namun lama kelamaan, seiring makin banyaknya begpacker, muncul perasaan jengah dan kesal.
"Kami merasa sangat aneh ada orang yang meminta uang kepada orang lain untuk membantu mereka jalan-jalan," kata Maisarah Abu Samah wanita asal Singapura dilansir dari France24.
"Menjual barang di jalan atau mengemis dianggap tidak terhormat. Orang yang melakukannya sangat membutuhkan: mereka mengemis untuk membeli makanan, membayar biaya sekolah anak-anak mereka atau melunasi utang. Tetapi tidak untuk melakukan sesuatu yang dipandang sebagai kemewahan," lanjutnya lagi.
Keberadaan para begpacker yang mulai dikeluhkan sejumlah orang Asia itu malah cenderung dibela oleh Helen Coffey, redaktur laporan perjalanan media Inggris The Independent. Coffey ingin menegaskan bahwa tak semua bule itu berkantong tebal dan bernasib mujur ketika melancong ke negeri orang.
“Di London, seseorang yang mengamen tidak dipandang sebagai pengemis, tetapi seorang seniman - baik mereka yang orang rumahan atau pelancong,” tulisnya.
Pendapat Coffee yang membela para pelancong kere dan pelancong pengemis itu sayangnya berbanding terbalik dengan cara negara-negara Barat yang memperlakukan syarat ketat bagi warga Asia yang ingin melancong ke sana. Mulai dari tiket pulang pergi, bukti tempat menginap, hingga jumlah saldo minimal di rekening bank.
Terlepas dari perdebatan etik begpacker, ada hal menarik yang layak dicermati. Kegiatan melancong yang dilakukan orang-orang Barat itu dapat dikaitkan dengan fenomena gap year atau cuti jeda. Ini adalah sebuah periode kala seseorang mengambil masa rehat dari rutinitas untuk melancong, kursus, magang, menjadi sukarelawan dan belajar banyak hal lainnya di negeri nun jauh. Gap year biasanya dilakukan saat jeda antara lulus SMA ke kuliah, sesudah kuliah, atau sebelum melanjutkan menempuh pendidikan yang lebih tinggi.
Seperti dilansir dari The Telegraph, sebuah survei pernah dilakukan oleh Bunac, perusahaan konsultan karier yang bermarkas di London, Inggris. Survei itu mengungkapkan, 97 persen responden merasa bahwa program kerja, magang atau menjadi sukarelawan di luar negeri membantu mereka dalam mengembangkan karier.
“Semua lulusan sekolah dan sarjana punya ketrampilan kerja yang terbatas,” kata Milly Whitehead dari The Leap, sebuah agen perjalanan yang berbasis di Wiltshire, Inggris. “Calon pemberi kerja ingin tahu apakah yang direkrut memiliki karakter yang tepat untuk disesuaikan dengan profil pekerjaan nantinya. Memuat CV dengan pengalaman perjalanan melintasi Mongolia akan menarik perhatian,” jelasnya.
Meski begitu penting dicatat, gap year dalam hitungan bulan atau bahkan setahun bukan berarti mesti diisi dengan berpelesir. Kadang memilih kursus keterampilan tertentu juga jadi pilihan untuk mengisi masa gap year dan mengembangkan skill dan pengalaman.
Yang jelas, fenomena begpacker akan terus jadi perdebatan etik tak kunjung usai. Mungkin, ada baiknya pemerintah Indonesia juga memikirkan bahwa yang paling penting dari pariwisata bukan lagi jumlah wisatawan asing, tapi juga banyak hal lain. Misalkan total spending, yang kemudian akan melahirkan argumen: buat apa ada banyak wisatawan asing, kalau mereka tidak membelanjakan uangnya dan memberikan manfaat bagi warga lokal, tapi malah mengemis?
Berangkat dari argumen itu, kebijakan yang dijalankan di Bali itu sudah tepat sasaran dan layak didukung.
Editor: Nuran Wibisono