tirto.id - "'Gap Yah' Backpackers Begging for Money Should be Ashamed of Themselves."
Radhika Sanghani menulis kalimat pedas itu sebagai judul tulisannya di The Telegraph. Di bawahnya, terpampang foto sepasang backpacker yang menjual kartu pos di Thailand. Tulisan Sanghani merespons banyaknya cuitan #begpacker yang berseliweran di jagat Twitter. Tagar itu muncul karena perasaan resah sejumlah orang Asia Tenggara—Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam—terhadap fenomena begpacker. Sebutan itu merujuk pada, "backpacker yang mengemis di sejumlah titik negara-negara termiskin di dunia."
Baca Juga:Mengemis Demi Jalan-Jalan Gratis ala Begpacker
Sanghani juga menambahkan, banyak bermunculan foto para backpacker yang sedang mengemis, mengamen, atau menjual foto liburan mereka. Foto itu dijepret oleh, "pejalan yang lebih sadar diri, dan para warga lokal yang merasa muak."
Lebih lanjut, Sanghani juga mengatakan bahwa melancong, meski di hostel termurah sekalipun, bukanlah hak yang diberi begitu saja oleh Tuhan. Melainkan kemewahan yang tak dipunyai oleh jutaan orang lain.
Helen Coffey, redaktur laporan perjalanan media Inggris Raya The Independent, menulis dengan nada yang lebih lembut dan cenderung membela para gap yah. Istilah gap yah dibuat oleh komedian Matt Lacey untuk menggambarkan seorang kaya atau dari keluarga kelas menengah tapi bodoh. Coffey memilih tak mau menghakimi, seraya memberikan contoh tentang kisah-kisah buruk yang terjadi ketika melancong dan bisa membuat wisatawan tak punya uang.
Perdebatan soal backpacking dan begpacking yang terjadi pada awal 2017 ini kembali hangat karena kasus dua turis asal Ceko dan Slovakia yang kehabisan uang di Pekalongan. Dua wisatawan mancanegara ini kemudian mendapat beberapa kemudahan. Mulai hotel yang gratis, diberi tumpangan bus, pun diberi uang saku untuk ke Jakarta.
Seperti biasa, perdebatan paling seru terjadi di kolom komentar media online dan media sosial, walau tak ada indikasi dua turis ini mengemis. Beberapa orang bersimpati. Lainnya mendoakan supaya dua orang turis ini kelak mendapat rejeki dan bisa balik ke Indonesia. Beberapa orang membanggakan hal itu sebagai bentuk keramahan dan kebaikan orang Indonesia, serta pengamalan Pancasila. Tentu saja ada yang berkomentar pedas.
"Kalau mereka turis dari Afrika, tentu nasibnya tak akan baik seperti ini."
"Sekarang banyak sekali bule kere yang sok mau liburan tapi tak punya uang. Banyak di Bali, tampang bule tapi makan nasi bungkus dan minum air ledeng."
Komentar pedas itu ada benarnya. Namun juga menunjukkan sesuatu: salah kaprah terhadap sosok bule. Ayos Purwoaji mengatakan bahwa komentar dan debat soal wisman kehabisan uang ini merupakan bentuk umum kesalahan kita dalam memandang orang dari dunia Barat.
"Orang Indonesia masih banyak yang berpikir kalau bule itu selalu banyak uang," ujar pendiri pendiri institut perjalanan HiFat LoBrain ini.
Kasus salah kaprah seperti itu jamak terjadi di tempat wisata. Ada banyak sekali kisah tentang diskriminasi terhadap wisatawan lokal, atau bagaimana penjual jasa lebih memilih melayani wisatawan mancanegara. Padahal, wisatawan mancanegara juga banyak jenisnya. Mulai dari yang benar-benar punya uang, hingga mahasiswa berkantong tipis.
"Karena itu, ketika kita dihadapkan pada realita yang berbeda, kita kaget," tutur salah satu pendiri situs catatan perjalanan I Was Here itu.
Sedangkan Sarani Pitor Pakan menganggap fenomena begpacker itu sebagai soal etika yang dipermasalahkan oleh media-media Barat, semisal Telegraph atau Independent. Menurut mahasiswa pascasarjana di jurusan Studies Leisure, Tourism and Environment, Universitas Wageningen, Belanda ini, fenomena begpacker dan yang membiayai perjalanan dari mengamen atau berjualan foto adalah risiko dari negara yang membuka pintu terhadap pariwisata.
"Terutama sebagai destinasi murah meriah, menurut standar negara maju," ujar Pitor. "Menurutku sih ini bukan sesuatu yang perlu dianggap heboh banget. Kecuali jika mengemis untuk membiayai melancong itu sudah jadi tren umum."
Dari Pengembara hingga Backpacker
Pada mulanya, tulis Erik Cohen, adalah perbedaan mendasar antara mereka yang primitif dan yang modern. Bukan tentang siapa yang lebih beradab, dan mana yang barbar, melainkan bagaimana dua manusia berbeda zaman ini punya sudut pandang berbeda terhadap teritori.
"Manusia primitif dan tradisional hanya akan meninggalkan habitatnya ketika dipaksa oleh keadaan ekstrem. Sedangkan manusia modern lebih luwes terhadap lingkungannya, dan lebih mau untuk mengubahnya. Mereka, manusia modern itu, tertarik pada benda-benda, pemandangan, kebiasaan, dan kebudayaan yang berbeda dari miliknya, karena mereka sadar manusia memang berbeda."
Dengan kemauan dan ketertarikan itu, ada nilai-nilai baru yang kemudian tumbuh dan menjalar: apresiasi terhadap pengalaman, terhadap perasaan terasing, dan sesuatu yang baru.
Cohen lantas menuliskan makalah klasik, yang di kemudian hari menjadi pijakan mereka yang belajar tentang pariwisata dan pelancong, "Toward A Sociology of International Tourism" (1972). Saat itu bisa dibilang Cohen termasuk satu dari amat sedikit sosiolog yang mengkaji pariwisata sebagai fenomena sosial. Ia memberi contoh sedikit kajian pariwisata secara menyeluruh yang berasal dari 1960 hingga 1967, lebih dari satu dekade sebelum makalahnya terbit.
Menurut Cohen, ada empat jenis wisatawan dan perannya. Mulai dari turis massal yang terorganisir, turis massal individu, penjelajah, hingga drifter.
Dalam kamus Oxford, drifter diartikan sebagai, "seseorang yang terus berpindah dari satu tempat ke tempat lain, tanpa ada tempat tinggal dan pekerjaan tetap." Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, drifter bisa disamakan dengan pengembara: orang yang pergi ke mana-mana tanpa tujuan dan tempat tinggal tertentu.
Sedangkan dalam teori Cohen, pengembara adalah jenis turis yang menjelajah tempat yang jarang dipijak orang lain, dan menjalani cara hidup amat berbeda dari tempat asalnya. Mereka cenderung ogah disebut sebagai turis karena menganggap cara wisata mereka berbeda. Mereka juga menjalani hidup sama seperti orang-orang yang disinggahinya, baik gaya hidup, kebiasaan, juga makanannya. Seorang pengembara juga tak punya rancangan perjalanan (itinerary), ataupun jadwal.
"Para pengembara ini cenderung berdikari, dan sering mengambil pekerjaan sambilan supaya tetap bisa mengembara," tulis Cohen.
Dari hasil penelitian itu, dapat disimpulkan bahwa sejak 1970-an, pola mengembara sembari mengerjakan pekerjaan sambilan adalah hal yang umum. Para pengembara itu jauh dari rumah dan tak punya pekerjaan tetap. Maka mencari uang dengan mengerjakan pekerjaan sambilan adalah cara supaya mereka tetap bisa mengembara.
Pola perjalanan pengembara ini lahir sebagai budaya tanding terhadap pariwisata massal yang identik dengan keramaian, keteraturan, kenyamanan, dan kerap dituding punya andil terhadap rusaknya sebuah daerah atau budaya. Para pengembara ingin menempuh rute berbeda. Mereka tak mau terikat waktu, tak ingin dipenjara kuantitas tempat yang dikunjungi, dan tak mau merusak budaya lokal.
Baca Juga:Merebaknya Gerakan Anti-pariwisata
Setelah dunia pariwisata berkembang lebih pesat, dan kajian terhadapnya makin banyak, sebutan drifter itu beralih istilah. Mulai dari nomad, pejalan muda, pengelana, hitchiker, anak muda petualang dan gembel, juga pejalan irit. Sejak 1990, muncul istilah backpacker dalam buku The Backpacker Phenomenon.
Meski namanya berbeda, napasnya sama. Sejak 2000-an, bermunculan penerbangan murah. Diikuti menjamurnya hostel dan penginapan dengan harga terjangkau. Industri pariwisata semakin bergairah. Kondisi ini membuat backpacking, perjalanan dengan ransel, menjadi sebuah gaya hidup, bahkan industri tersendiri.
Bahkan karena internet dan media sosial, industri perjalanan sudah melampaui apa yang dibayangkan oleh Cohen dulu. Meski itu membawa dampak, seperti yang juga diungkapkan oleh Camille Caprioglio O'Reilly (2006): seiring populernya backpacking, "kredibilitas backpacking sebagai gerakan alternatif atau kegiatan yang tidak biasa, mulai berkurang."
Paradoks memang, drifting yang awalnya adalah budaya tanding beralih menjadi apa yang dilawannya. Tapi begitulah sebuah siklus berjalan.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani