Menuju konten utama

Mengemis Demi Jalan-jalan Gratis Ala Begpacker

Demi berlibur gratis ada beberapa turis yang rela mengemis dari masyarakat. Para turis tanpa modal ini sering mendapat julukan "begpacker".

Mengemis Demi Jalan-jalan Gratis Ala Begpacker
Ilustrasi backpacker. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Sesosok wanita berambut panjang tersenyum lebar. Hidungnya tertindik, beberapa kalung menjuntai di leher, kedua tangannya terangkat. Ia adalah Rebecca Gronski, wanita yang menyebut dirinya sebagai guru spiritual yang sedang melakukan kampanye penggalangan dana di situs donasi GoFundMe. Gambar dirinya terpampang jelas dalam laman utama situs itu.

Berbeda dengan orang kebanyakan yang meminta donasi untuk pengobatan atau keperluan lainnya. Rebecca justru berharap sumbangan sebesar $10.000 dari donatur untuk membiayai perjalanan spiritual berkeliling dunia. Apa yang dilakukan Rebecca contoh bagaimana seorang yang ingin melancong keliling dunia dengan mengharapkan bantuan orang lain.

Walaupun dalam dunia pelancong ada istilah backpacker, sebagai pelancong yang punya dana minim bahkan kalau bisa gratis. Umumnya para backpacker identik dengan tas super besar di punggungnya. Bahkan tak jarang dari mereka membawa tenda sendiri agar tak perlu mengeluarkan biaya menginap. Di sisi lain ada juga backpacker yang mengemis dari uluran tangan orang lain. Mereka yang berpergian tanpa modal inilah kemudian disebut dengan “begpacker”.

Begpacker merupakan sindiran yang dicomot dari kata beg dan packer atau istilah lain untuk seorang backpacker yang meminta-minta. Biasanya, para pelancong begpacker ini berasal dari Amerika dan Eropa, mudah ditemui di negara-negara berkembang di Asia Tenggara, seperti Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, dan Indonesia.

Jalan Khao San, Bangkok merupakan salah satu tempat yang biasa dijadikan tempat mengais iba bagi para begpacker. Mereka bukanlah para tunawisma yang harus mengemis untuk memberi makan keluarganya. Mereka sudi menghilangkan urat malu untuk berjajar di jalanan, meminta uang agar bisa kembali ke negaranya atau bahkan kembali berlibur ke tempat lainnya.

Mereka mengemis dengan meletakkan kertas atau karton bertulisan “donasi” di samping sebuah wadah uang. Ada juga begpacker yang berusaha mendanai perjalanannya dengan mengamen, menjual foto liburan, kartu pos, atau bahkan bermain sulap.

Mengapa fenomena begpacker hanya terjadi di negara-negara berkembang? Untuk pergi berlibur ke negara-negara Barat, persyaratan pengajuan visa yang cukup ketat. Pelancong diminta menunjukkan kemampuan finansial hingga lokasi tujuan yang sudah pasti seperti bukti pemesanan tempat menginap, hingga tiket pulang-pergi. Beberapa negara Barat menerapkan sertifikasi khusus bagi mereka yang ingin mengamen di jalan. Turis dengan visa kunjungan tak bisa seenaknya menggelar lapak untuk mengamen. Peraturan ini telah diterapkan di Spanyol yang menuntut para pengamen diseleksi terlebih dulu untuk mendapat izin. Di Plovdiv, Bulgaria Tengah, pengamen harus berstatus diploma pendidikan musik.

Infografik Modal ga Modal asal Jalan

Begpacker di Indonesia

Target pemerintah yang ingin mendatangkan 20 juta kunjungan turis asing pada 2019 punya konsekuensi terhadap kedatangan para begpacker. Pemerintah memberikan banyak kemudahan para turis asing untuk berlibur, salah satunya dengan penerapan bebas visa bagi banyak negara.

Menurut data Kementerian Pariwisata (Kemenpar) jumlah kunjungan wisatawan asing di 19 pintu masuk utama di Indonesia setiap tahunnya selalu meningkat. Data kunjungan mancanegara pada Februari 2017 naik sebesar 2,02 persen dibanding 2016. Sementara di 2016 angkanya naik sebesar 12,85 persen dari 2015.

Dari sekian turis asing yang masuk ke Indonesia ada sebagian kecil sebagai begpacker. Di Bali misalnya, pada akhir Januari lalu, tiga turis asal Rusia bernama Alex (33), Julia (22), dan Bufa (30) harus diamankan petugas karena kedapatan mengamen di Pasar Beringkit, Mengwi, Badung, Bali. Mereka menggunakan gitar dan ketipung sebagai modal bernyanyi.

Selain mengamen, mereka juga menghemat pengeluaran dengan mendirikan tenda di kuburan dekat pasar. Ketiganya diamankan karena paspornya merupakan paspor perjalanan, dan kegiatan mengamen sudah di luar dari izin yang diberikan. Setelah dari Bali, ketiga turis ini kemudian bertolak ke Kuala Lumpur, Malaysia.

Sacha Stevenson, YouTuber “Bule” yang sering membagikan perspektif tentang keindahan Indonesia di akunnya, mengamini ada sebagian kecil turis yang harus mencari tambahan uang untuk pulang ke negaranya karena terlalu betah di Indonesia.

“Kalau saya, datang ke sini memang dengan izin bekerja. Tapi saya juga traveler karena memang muterin Indonesia. Dan Indonesia memang great place for backpacker and traveler,” katanya kepada Tirto.

Para pelancong menurutnya, lebih suka ke Indonesia dari negara lain karena orang Indonesia pada umumnya sangat ramah sehingga mudah diajak mengobrol. Indonesia dianggap tak ketat dalam hal aturan, sehingga nyaman dijadikan tempat melancong.

Sacha memberikan contoh salah satu teman dekatnya yang pergi melancong ke beberapa negara, dan Indonesia sebagai tujuan akhir. Kawannya terpukau dengan pesona Indonesia yang lengkap, seperti hutan, pantai, gunung, perkampungan, bahkan perkotaan, hingga memperpanjang perjalanan di Indonesia.

“Ya mereka kadang jadi harus cari pekerjaan, mengajar bahasa Inggris misalnya untuk bisa lanjut. Atau malah jadi betah dan jadi tidak mau pulang juga,” katanya.

Wanita yang sudah menikah dengan pria Sunda ini menceritakan pengalamannya harus mengatur keuangan dengan baik saat keliling Indonesia. Ia pernah menyewa sebuah ruangan bekas rumah makan padang di Bukit Lawang, Sumatera Utara sebagai tempat beristirahat karena keterbatasan dana. Setiap malam, ia harus memasang papan kayu untuk menutupi ruangan tersebut agar tak terlihat dari luar.

“Untuk bisa lebih lama tinggal di sini tanpa kehabisan uang, kita pilih kualitas kaki lima yang murah,” kata Sacha.

Fenomena begpacker atau backpacker memunculkan pertanyaan, apakah meminta-minta dari orang lain demi sebuah kesenangan berkeliling dunia justru bagian dari kepuasan?

Baca juga artikel terkait TURIS atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Suhendra