Menuju konten utama
Pilkada Serentak 2024

Muncul Ide Kotak Kosong di Seluruh Daerah, Parpol Harus Berbenah

Memilih kotak kosong bukan bentuk deparpolisasi atau makar terhadap institusi partai politik.

Muncul Ide Kotak Kosong di Seluruh Daerah, Parpol Harus Berbenah
Warga memasukkan surat suara ke kotak saat pelaksanaan pemungutan suara ulang (PSU) di TPS 03 Desa Tugu, Kecamatan Lelea, Indramayu, Jawa Barat, Rabu (21/2/2024). ANTARA FOTO/Dedhez Anggara/nym.

tirto.id - Undang-Undang Pilkada kembali digugat di Mahkamah Konstitusi (MK) agar mengakomodir gagasan menghadirkan pilihan kotak kosong di seluruh daerah. Gugatan ini dilayangkan tiga orang warga dengan nomor perkara 120/PUU/PAN.MK/AP3/09/2024 pada pekan lalu.

Ide disediakannya pilihan kotak kosong di seluruh daerah dalam pilkada adalah bentuk kekecewaan terhadap parpol yang mengabaikan aspirasi rakyat.

Muhammad Raziv Barokah, salah satu penggugat, menyatakan mereka meminta MK agar bisa mengakomodir suara kosong (blank vote) pada pilkada yang diikuti oleh dua atau lebih pasangan calon. Penggugat merasa parpol sudah gagal menangkap kemauan rakyat sebab kerap mencalonkan sosok yang tidak dibayangkan oleh masyarakat.

Raziv mencontohkan hal tersebut di gelanggang Pilkada Jakarta. Menurutnya, pilihan warga mayoritas mendorong Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama maju sebagai kontestan Pilkada Jakarta. Namun, parpol malah ‘mengawinkan’ paslon yang melangkahi kehendak publik.

“Kalau proses kandidasinya benar, kotak kosong enggak laku, orang enggak akan enggak milih, tetapi kalau prosesnya tidak benar, ya, kotak kosong akan laku atau laris. Sehingga pemerintahan tidak akan bisa berjalan dengan baik,” kata Raziv dalam keterangannya yang dikonfirmasi Tirto, Selasa (10/9/2024).

Sejumlah pengamat pemilu dan pegiat demokrasi memandang gagasan mendorong kotak kosong di seluruh daerah sebagai perlawanan terhadap dominasi parpol. Parpol dinilai tidak mampu menghadirkan kehendak rakyat dan kerap tersandera kepentingan elite serta begitu pragmatis. Tak mengherankan jumlah calon tunggal melawan kotak kosong di Pilkada 2024 mencapai 41 daerah, alias tertinggi sejak Pilkada 2015.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Annisa Alfath, memandang usulan kotak kosong di seluruh daerah adalah respons terhadap fenomena politik di mana masyarakat merasa pilihan calon yang tersedia tidak mewakili aspirasi dan harapan mereka. Parpol cenderung mencalonkan kandidat kepala daerah berdasarkan alasan pragmatis dan kental politik transaksional.

“Bahkan daerah tertentu partai politik mencalonkan calon yang bukan putra daerah,” kata Annisa kepada reporter Tirto, Selasa (10/9/2024).

Simulasi pencoblosan pemilu di Banten

Warga memasukkan surat suara ke dalam kotak suara saat simulasi pencoblosan pemilu di TPS 31 Penancangan Kota Serang, Banten, Selasa (30/1/2024). ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/tom.

Sikap parpol yang abai aspirasi masyarakat berpotensi mengakibatkan erosi kepercayaan kepada institusi parpol. Terlebih, kata Annisa, proses rekrutmen calon dari partai politik juga tidak selalu transparan, sehingga rakyat hanya diposisikan sebagai tukang coblos belaka.

Figur calon kepala daerah yang didukung parpol sering tidak merepresentasikan keinginan akar rumput. Menurut Annisa, pemilihan cakada hanya didasari kesepakatan tertutup para elite parpol. Kepercayaan terhadap parpol semakin luntur sebab kasus-kasus korupsi kader partai yang dapat merusak citra parpol.

“Perlu adanya pembenahan dari internal partai politik, prosedur rekrutmen calon yang lebih transparan,” ujar Annisa.

Ahli hukum kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, menjelaskan bahwa sikap untuk tidak memilih paslon-paslon pilkada yang tersedia disebut sebagai None of The Above [NOTA]. Sikap ini juga dikenal luas sebagai against all [menentang seluruhnya] atau scratch [suara tergores], yang memungkinkan masyarakat menunjukkan ketidaksetujuan terhadap kandidat yang tersedia dalam sistem pemungutan suara.

Berbeda dengan sikap golput dan tak hadir memilih [abstain], suara NOTA tetap sah karena dihadirkan suatu mekanisme yang menampung ketidaksetujuan masyarakat terhadap calon yang berkontestasi. Salah satu mekanisme ini adalah menyediakan kolom kosong, sebagai hak pilih masyarakat yang enggan memilih calon kepala daerah tersedia.

“Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa persetujuan mengharuskan kemampuan untuk juga tidak memberikan persetujuan dalam pemilihan. Hal ini harus dibedakan atau tidak boleh disamakan dengan abstain, di mana pemilih tidak memberikan suara,” jelas Titi kepada reporter Tirto, Selasa.

Titi menilai, gagasan kotak kosong di seluruh daerah dalam pilkada adalah bentuk artikulasi protes pada pemilihan atau protest voting. Ia menyatakan dalam konteks wacana akademik, jika dilembagakan secara formal untuk semua jenis pemilu [bukan hanya di pilkada], NOTA berdampak konstruktif terhadap sistem pemilu dan kancah politik Indonesia yang lebih sehat dan kompetitif.

“NOTA bukan bentuk deparpolisasi atau makar terhadap institusi partai politik,” sebut Titi.

Titi berujar, NOTA bisa mendorong peningkatan angka pengguna hak pilih (voters turn out). Selain itu, dapat menjadi faktor pemicu untuk terus menjaga kinerja dan eksistensi parpol di tengah konstituen dan masyarakat.

Dengan hadirnya wacana kotak kosong di seluruh daerah, parpol diharapkan bisa terdorong untuk melakukan kaderisasi dan rekrutmen politik yang demokratis. Caranya bisa dilakukan dengan menghadirkan figur-figur politik terbaik bagi dan sesuai aspirasi masyarakat.

“Dapat memperkuat politik gagasan dalam kontestasi pilkada karena calon dan partai akan bekerja keras meyakinkan pemilih, khususnya pemilih yang kritis melalui tawaran visi, misi, dan program yang baik,” jelas Titi.

DISKUSI POLEMIK KORUPSI

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini bersama Ketua KPU Arief Budiman memberikan paparan saat menjadi narasumber dalam diskusi polemik di Jakarta, Sabtu (17/3/2018). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

Parpol Harus Berbenah

Ketua The Constitutional Democracy Initiative (CONSID), Kholil Pasaribu, menilai wacana mendorong kotak kosong di seluruh daerah penyelenggara pilkada menjadi tamparan keras bagi parpol. Parpol seharusnya berbenah sebab gagasan ini menjadi tanda kepercayaan masyarakat terhadap parpol semakin tipis.

Kholil menilai ide kotak kosong di seluruh daerah Pilkada adalah wacana yang progresif. Ide dasarnya adalah mendorong partisipasi yang bermakna dalam pemilu.

“Bahwa pemilih tidak difasilitasi sekadar untuk memilih kandidat, tetapi juga untuk mengekspresikan sikap politik ketika tidak ada kandidat yang diinginkannya di dalam surat suara,” kata Kholil kepada reporter Tirto, Selasa.

Konsep ini bukan hal baru di dunia kepemiluan dan sudah diterapkan sejak lama, misalnya di Nevada (sejak 1975), Kolombia (sejak 1991), atau di India (sejak 2013). Dalam konteks pengajuan gugatan UU Pilkada di MK, kata Kholil, gagasannya didorong oleh sikap protes masyarakat terhadap parpol.

Masyarakat ingin mengekspresikan kekecewaannya melalui surat suara dan diperhitungkan sebagai ekspresi suara yang sah. Meskipun agak mirip dengan praktik golput, jelas Kholil, namun jadi berbeda karena suara NOTA terlembagakan dalam administrasi kepemiluan.

“Parpol dinilai gagal karena lebih mementingkan kompromi untuk menghilangkan persaingan di pilkada ketimbang memajukan kadernya sendiri untuk bertarung,” ujar Kholil.

Kholil memandang, situasi ini menyebabkan krisis kepercayaan terhadap institusi parpol semakin besar. Parpol diminta agar segera berbenah diri, kalau tidak mau secara perlahan kehilangan pemilihnya.

Langkah penting untuk berbenah, kata Kholil, adalah merombak kaderisasi dan paradigma di tubuh parpol. Parpol perlu merapikan proses kaderisasi dan mengutamakan kader dalam setiap kesempatan pertarungan politik.

Selain itu, parpol diharap tidak terjebak dalam posisi pasif sehingga mengekor pada koalisi besar yang dianggap berkuasa. Parpol harus selalu berpihak pada kepentingan masyarakat.

Aspirasi rakyat merupakan investasi terbesar bagi parpol. Lewat paradigma ini, Kholil yakin akan lebih bermanfaat bagi parpol mendukung masyarakat dan kalah di palagan, ketimbang menang namun menjadi kerikil di tengah kekuasaan.

Peneliti Bidang Politik dari The Indonesian Institute (TII), Felia Primaresti, mengingatkan bahwa dalam banyak kasus, pemilih merasa tidak terwakili oleh pilihan paslon yang tersedia di pilkada, bisa karena visi-misi tidak sesuai atau terdapat potensi permasalahan integritas di antara kandidat. Bukan hal baru, kader parpol yang juga menduduki jabatan-jabatan publik, terlibat kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang.

“Jika lebih banyak kotak kosong, artinya kandidat yang menang atau kalah terhadap kotak kosong pun tidak berarti sesuai dengan aspirasi rakyat yang memilihnya,” kata Felia kepada reporter Tirto, Selasa.

Distribusi logistik Pemilu 2024 di Jakarta

Petugas Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) memindahkan kotak suara Pemilu 2024 di gudang logistik KPU Jakarta Pusat, GOR Cempaka Putih, Jakarta, Senin (5/2/2024). ANTARA FOTO/Erlangd Bregas Prakoso/tom.

Kehadiran calon tunggal melawan kotak kosong di 41 daerah Pilkada 2024 mengisyaratkan upaya elite politik mengontrol pilihan masyarakat. Menurut Felia, fenomena ini bisa semakin disoroti karena daerah-daerah yang melawan kotak kosong di Pilkada 2024 sebagian besar berada di luar Pulau Jawa.

“Seperti Papua, beberapa wilayah di Kalimantan, dan Sumatera Utara. Wilayah-wilayah ini tidak hanya memiliki tingkat pendidikan yang relatif lebih rendah dibandingkan daerah perkotaan, tetapi juga kaya akan sumber daya alam,” jelas Felia.

Maka, kehadiran gagasan kotak kosong di seluruh daerah pilkada memberikan pesan kuat kepada elite politik bahwa legitimasi dalam pemilihan tidak cuma berasal dari kemenangan calon. Lebih dari itu, ada tingkat penerimaan masyarakat terhadap calon tersebut.

Namun, kata Felia, perlu dicatat bahwa wacana itu juga mengindikasikan adanya tantangan besar dalam upaya meningkatkan kesadaran politik dan pendidikan. Masyarakat perlu lebih didorong untuk menjadi pemilih yang kritis, agar mereka dapat memahami dampak pilihan politik mereka dan lebih leluasa mengekspresikan preferensi politik mereka.

“Pentingnya reformasi kelembagaan partai politik, sehingga kontrol elite terhadap pilihan publik dapat diminimalisir dan demokrasi kembali ke marwahnya lewat kompetisi yang sehat,” pungkas Felia.

Baca juga artikel terkait PILKADA 2024 atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fahreza Rizky