tirto.id - "Sudah saatnya kita tak hanya perang udara, tapi perang darat, door to door, man to man marking. Dengan kata lain, jangan ada sejengkal tanah pun yang lepas dari kerja relawan."
Seruan itu disampaikan calon wakil presiden nomor urut 01, Ma'ruf Amin usai melepas bantuan tenaga kesehatan dari Relawan Jokowi (Rejo) untuk korban bencana tsunami Selat Sunda di Jakarta, Jumat (4/12/2018).
Ma'ruf meminta semua relawan berlomba memenangkan dirinya yang berpasangan dengan Joko Widodo sebagai calon presiden pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
Yang menarik dari seruan Ma’ruf adalah penggunaan istilah “perang darat”. Istilah ini seolah menunjukkan Ma’ruf sangat berambisi memenangi kontestasi demokrasi lima tahunan ini.
Cara kampanye dengan menggunakan diksi "agresif" juga pernah dilakukan Amien Rais saat Pilpres 2014. Saat itu, politikus senior PAN itu mengibaratkan pertarungan antara Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK sebagai "Perang Badar."
Diksi dan perumpamaan yang dipakai Amien Rais pun menuai kritik, termasuk dari politikus PDIP sebagai parpol pendukung Jokowi kala itu.
Eko Suwanto yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua DPD PDIP DIY bahkan mengatakan pilihan kata "perang badar" yang dilontarkan Amien Rais bertentangan dengan substansi demokrasi yang lebih mengedepankan penghargaan terhadap perbedaan atau pilihan politik.
Tak hanya itu, pada 13 April 2018, Amien Rais kembali menggunakan diksi "agresif" dengan menyebut "partai Allah dan partai setan." Lagi-lagi, pernyataan Amien Rais ini menuai kritik, terutama dari kubu petahana.
Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Abdul Kadir Karding menyebut Ma’ruf hanya ingin tampil apa adanya.
"Jadi beliau memang tidak mau menutup-nutupi, membuat seakan-akan menjaga citra diri, semua diksi tertata normatif, halus sampai yang halus pun dipelintir. Kan repot," ujar Karding saat dihubungi reporter Tirto, Sabtu (5/1/2019).
Karding meyakini apa yang disampaikan Ma'ruf sesuai fakta dan percaya diri tak melanggar etika dan kepatuhan hukum.
"Biar aja, lah, beliau dengan gayanya. Yang penting itu, kan, sikap dan hati, serta ucapan tak bertentangan dengan adab kepatutan," jelas Karding.
Ma'ruf Harusnya Jadi Pemadam
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago menilai Ma'ruf Amin sedang mencoba menyamai Jokowi. Dalam beberapa kesempatan, Jokowi sempat menggunakan diksi atau istilah yang membuat lawannya geleng-geleng kepala.
“Genderuwo” atau “sontoloyo” menjadi salah satu contoh istilah yang pernah diucapkan Jokowi beberapa waktu lalu.
Dalam konteks ini, Pangi menilai Ma’ruf seharusnya bisa berperan sebagai peredam saat emosi Jokowi sedang naik tinggi. "Bukan yang membuat semakin membara," ucap Pangi kepada reporter Tirto.
Sementara itu, pengajar Komunikasi Politik dari UIN Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno melihat agresifnya Ma'ruf Amin disebabkan perubahan strategi yang diterapkan TKN Jokowi-Ma'ruf.
TKN sedari awal berposisi bertahan, tapi saat ini dinilai mulai menyerang. Kondisi ini, disebut Adi, berpengaruh pada sikap Ma’ruf yang tampak agresif.
"Politik itu memaksa semua orang berperilaku sama tak peduli kiai atau ustaz," jelas Adi kepada reporter Tirto.
Pada sisi lain, Adi melihat agresifnya Jokowi-Ma'ruf dan tim pemenangannya juga disebabkan karena mereka kerap terpancing serangan yang dilancarkan kubu Prabowo-Sandiaga.
"Mestinya Jokowi dan Ma’ruf tetap tampil alamiah dan menjual program yang sukses. [Sikap] Agresif Jokowi-Ma’ruf membuat banyak orang bertanya-tanya," kata Adi.
Dalam kondisi seperti ini, Adi menyebut harus ada yang mengingatkan Ma’ruf agar lebih selektif memilih diksi yang akan diucapkannya, terlebih Ma’ruf adalah seorang ulama dan Ketua Umum MUI non-aktif.
"Menyerang tak mesti dengan diksi agresif karena justru membuat rakyat tak simpati. Kesejukan itulah yang mesti dikapitalisasi untuk memoles citra Ma'ruf Amin," ucapnya.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Mufti Sholih