Menuju konten utama

Memahami "Perang" dan "Berantem" dalam Ucapan Politikus

Di hadapan relawan pendukungnya, Jokowi menyerukan "berani berantem" jika ditantang. Buntutnya panjang. Ada yang menyebutnya tak pantas, ada pula yang menilainya kiasan belaka.

Memahami
Presiden Joko Widodo menyampaikan sambutan dalam Rapat Umum Relawan Jokowi di Sentul Internasional Convention Center, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu (4/8). Rapat Umum Relawan Jokowi se-Indonesia yang diikuti ribuan relawan dari lebih 100 organisasi tersebut mendeklarasikan dukungan untuk Presiden Joko Widodo dalam Pemilihan Presiden 2019. ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/foc/18.

tirto.id - Presiden Jokowi dianggap bikin blunder. Penyebabnya: pidato mengenai permintaan kepada para relawan agar "tidak takut dan berani berantem." Pidato tersebut ia ucapkan pada Sabtu (4/8) lalu di Sentul International Convention Center kala memberikan sambutan di hadapan relawan-relawannya.

“Lakukan kampanye yang simpatik. Tunjukkan bahwa kita relawan yang bersahabat, jangan membangun permusuhan, jangan membangun ujaran-ujaran kebencian, jangan membangun fitnah-fitnah. Tidak usah suka mencela, tidak usah suka menjelekkan orang lain. Tapi, kalau lo diajak berantem juga berani,” kata Jokowi.

“Tapi, jangan ngajak (berantem) loh. Saya bilang tadi, saya garisbawahi: jangan ngajak.”

Ucapan presiden asal Solo ini sontak jadi viral. Kalangan oposisi menanggapinya dengan nada negatif. Wakil Sekjen Partai Gerindra, Andre Rosiade, misalnya, mengatakan bahwa seharusnya Jokowi sebagai kepala negara memberikan imbauan soal pemilu yang bermartabat, yaitu "adu gagasan dan program, bukan adu otot." Andre menambahkan, kalimat Jokowi terdengar tidak etis.

Senada dengan Andre, Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Hinca Panjaitan, menilai ucapan itu tak sesuai dengan kapasitas Jokowi sebagai kepala negara. Semestinya, menurut Hinca, dalam waktu pendaftaran Pilpres 2019 dan menjelang masa kampanye mendatang, Jokowi bisa beradu dengan pesaingnya dalam masalah gagasan. Apa yang diujarkan Jokowi justru menjadi bumerang karena terkesan mengajak untuk beradu dengan cara sebaliknya.

Tak ingin suasana semakin gaduh, pemerintah, diwakili Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi, Johan Budi, segera memberikan klarifikasi. Menurutnya, pernyataan Jokowi yang meminta relawannya agar berani berantem apabila mendapat serangan hanya kiasan belaka.

“Saya kira yang disampaikan oleh Pak Presiden Jokowi kiasan, berantem jangan diartikan secara fisik, bukan begitu,” kata Johan Budi di sela pembekalan bacaleg PDIP di Jakarta, seperti dikutip Antara, Minggu (5/8).

Di lain sisi, pengamat politik dari CSIS, Arya Vernandez, menegaskan, Jokowi mengatakan hal tersebut karena persaingan politik semakin ketat. Arya memandang Jokowi belum sampai pada tahap “panik,” tetapi baru pada tahap khawatir. Selain itu, kata Arya, Jokowi memang sedang berusaha untuk menguatkan dukungan dari para relawannya.

“Itu sinyal kepada relawan untuk terus solid dan 'mensolidasikan' diri untuk mendukung Jokowi. Dia juga mengkhawatirkan kampanye-kampanye berbasis isu negatif akan menguat,” kata Arya kepada Tirto.

Konsolidasi Internal?

Jokowi bukan politikus pertama yang mengeluarkan pernyataan yang dianggap agresif dalam pidatonya di depan publik. Juni silam, mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mengungkapkan hal serupa. Di kantor DPP Demokrat, SBY ia mengancam akan melaporkan pengacara Setya Novanto, Firman Wijaya, ke Bareskrim Mabes Polri.

Sebelumnya, dalam persidangan Novanto, Ketua Banggar DPR Mirwan Amir yang hadir sebagai saksi menyebut bahwa dirinya telah meminta SBY yang saat itu menjabat sebagai Presiden untuk menghentikan proyek tersebut, tetapi SBY menolak. Atas dasar tersebut, Firman menyebut ada keterlibatan lebih besar daripada sekadar kliennya.

“Apa yang saya lakukan? Saya akan jihad. Jihad untuk keadilan. Mungkin banyak orang seperti saya sekarang ini, yang juga ingin mendapat keadilan. Mungkin mereka lebih tidak berdaya lagi. Tidak punya apa-apa. Hanya menangis,” kata SBY saat menggelar konferensi pers, di Gedung DPP Partai Demokrat, Jalan Proklamasi Nomor 41, Jakarta, Selasa (6/2/2018).

Pada gelaran Pilkada DKI 2017, Anies Baswedan (waktu itu masih calon gubernur) dan Ketua Majelis Kehormatan PAN, Amien Rais, juga menggunakan metafora perang. Keduanya kompak menyebut Pilkada Jakarta seperti "Perang Badar."

Perang Badar sendiri merupakan perang besar pertama antara kaum Muslim melawan kaum Quraisy pada 624 Masehi. Kaum Muslim yang dipimpin Nabi Muhammad hanya berjumlah 313 orang harus berhadapan dengan ribuan pasukan Quraisy. Perang ini berhasil dimenangkan kaum Muslim.

"Pertemuan kita malam hari ini, menuju Perang Badar besok ini. Pada saat itu, Rasulullah SAW mengatakan pertolongan Allah akan datang. Pertolongan Allah akan datang dan mengantarkan kita pada kemenangan bila niat berperang ini untuk membela kaum dhuafa, untuk membela kaum tertindas, untuk membela mereka yang tersingkirkan,” kata Anies di Restoran Batik Kuring, SCBD, pada 18 April 2017, sehari sebelum pencoblosan.

Bukan kali ini saja Amien menyamakan ajang kontestasi politik dengan "Perang Badar." Dua tahun sebelumnya, Amien lebih dulu menyebut Pilpres sebagai "Perang Badar." Dilansir Berita Satu, bagi Amien, ajang Pilpres 2014 adalah medan pertempuran prajurit untuk “membela kehormatan diri dan Tanah Air."

Pernyataan Amien menuai kecaman berbagai pihak. Wakil Ketua DPD PDI Perjuangan Yogyakarta, Eko Suwanto, misalnya, menilai pilihan kata “Perang Badar” tidak sesuai dengan substansi demokrasi yang lebih "mengedepankan penghargaan terhadap perbedaan pendapat atau pilihan politik."

Menurut Eko, mengutip Kompas.com, kata “perang” bisa salah dimaknai sebagai membunuh lawan. Sementara dalam politik itu sendiri, terutama di ranah kontestasi pemilu, "lawan politik merupakan saudara sebangsa dan setanah air yang harus saling menjaga serta mencintai sebagai sesama warga bangsa."

“Kita berharap Amien Rais sebagai tokoh berbicara lebih bijak sebagai orang tua yang bisa mengayomi seluruh warga bangsa. Menjadi bapak bagi anak-anak bangsa. Tidak ada satu agama pun di dunia ini yang mengajarkan kekerasan,” jelasnya.

Tak Semua Orang Paham Metafora

Hanne Pennick dalam tesisnya (PDF) di Universiteit Gent menulis bahwa penggunaan metafora punya andil penting dalam dunia politik. Metafora, catat Pennick, bisa memengaruhi persepsi, pendapat, pemikiran, serta keyakinan politik orang lain.

Wujud metafora di satu sisi nampak sederhana dan mudah dipahami. Namun, di sisi lain, ia juga bisa begitu terlihat rumit dan kompleks. Dalam mengatur persepsi orang-orang tentang masalah tertentu, metafora menunjukkan sudut pandang terkait masalah bersangkutan beserta konteksnya. Dengan demikian, metafora tak hanya mampu mempengaruhi keyakinan individu, tetapi juga keyakinan masyarakat secara luas.

Politik, catat Pennick, identik dengan hal yang sulit dipahami. Itu sebabnya, metafora merupakan satu faktor penting yang bisa dimanfaatkan dalam percakapan politik; ia membantu khalayak untuk memahami apa yang terjadi melalui cara-cara yang lebih persuasif. Metafora juga dapat memperkuat pesan politik, membuat pidato lebih mudah diingat, dan secara bersamaan membangkitkan respons emosional.

Di semesta politik sendiri, perang dan istilah-istilah keseharian lainnya yang merujuk pada kekerasan fisik lazim dipakai sebagai metafora, termasuk ketika Jokowi mengatakan “berani berantem.” Yang perlu diingat, "Perang Badar" Anies dan Amien disebut dalam jamuan malam yang diselenggarakan Ketua Umum Partai Perindo Hari Tanoesoedibjo—yang waktu itu mendukung pasangan Anies-Sandi.

Sementara pidato Jokowi diucapkan dalam acara bertajuk "Rapat Umum Relawan Jokowi." Kendati diliput media, pesan-pesan itu diucapkan khusus di hadapan publik pendukung yang hadir secara fisik, bukan khalayak umum. Dalam praktiknya di Indonesia, kiasan-kiasan berbau perang nampaknya hanya digunakan dalam momentum konsolidasi internal untuk memompa mental pendukung demi pemenangan politik.

Oleh kepala pemerintahan, kiasan-kiasan bernada agresif baru dipakai dalam urusan-urusan internasional, misalnya, dalam konteks perang dan agresi militer. Di titik itu, perang berhenti jadi metafora, bahkan tak jarang ditutupi oleh ungkapan-ungkapan lain yang mengacu pada tujuan-tujuan mulia—misalnya dalam slogan-slogan "demi kebebasan," "demi tanah air," atau "membela kedaulatan"—sehingga menutupi kekejaman.

Dalam “The War Metaphor” yang terbit di Economist dijelaskan bahwa penggunaan metafora “perang” menyiratkan situasi darurat nasional di mana pemimpin menyerukan persatuan dan pengorbanan.

Masalahnya, tak semua orang tidak bisa menangkap metafora dengan cara yang sama. Economist mencontohkan George W. Bush yang mendeklarasikan perang melawan terorisme pasca-serangan di WTC pada 2001 dengan kata "crusade." Kiasan ini dipakai oleh Bush dalam invasi ke Afghanistan dan Irak yang kerap dituduh "melindungi teroris" oleh pemerintah AS.

Concise Oxford Dictionary mendefinisikan crusade pertama-tama sebagai "Serangkaian ekspedisi era Abad Pertengahan oleh orang-orang Eropa untuk mengklaim kembali Tanah Suci dari kaum Muslim," dan kedua sebagai "kampanye agresif untuk tujuan politik, sosial, atau keagamaan." Crusade yang awalnya merujuk ke peristiwa bersejarah lambat laun diserap sebagai kiasan sehari-hari yang tak melulu bermakna politis atau agamis.

Namun, di negeri-negeri berpenduduk mayoritas Muslim, kata "crusade" membangkitkan memori historis tentang permusuhan antara raja-raja Kristen dan Islam selama Perang Salib. Walhasil, setelah pernyataan Bush, tak sedikit kaum Muslim yang menilai agresi di Afghanistan dan Irak sebagai serangan terhadap Islam.

Infografik Metafora Politik

Perang Melawan 'Penyakit Sosial'

Namun, "perang" dan ungkapan bernada sejenis lainnya tak hanya digunakan ketika berhadapan dengan musuh yang hadir secara fisik, melainkan dengan hal-ihwal yang dianggap sebagai penyakit sosial.

Contohnya banyak. Pada 8 Januari 1964, misalnya, Presiden AS ke-36, Lyndon B. Johnson, berpidato menyerukan "perang melawan kemiskinan." Sekitar tiga puluh tahun kemudian, Bill Clinton meneruskan Richard Nixon dan Ronald Reagan dengan mengumumkan “perang melawan narkoba,” sebuah slogan yang baru-baru ini ditiru oleh Presiden Filipina Rodrigo Duterte dan juga Presiden Jokowi.

Yang jadi masalah, metafora “perang” yang digaungkan tersebut sulit—jika tak ingin dibilang mustahil—mendatangkan kemenangan. Pasalnya, penyalahgunaan narkoba dan terorisme, sebagai contoh, adalah perkara kompleks dan tak selalu punya definisi ketat.

Definisi "terorisme" dalam kasus perang melawan terorisme, misalnya, sejak awal ditentukan secara politis. Kekerasan yang berujung pada pelanggaran HAM oleh aparat negara dalam berbagai kasus seringkali luput dari cakupan terorisme, kendati istilah "state terrorism" (terorisme negara) sudah sering digunakan dalam laporan-laporan seputar kejahatan kemanusiaan.

Perangnya boleh jadi abstrak, namun objek penderitanya seringkali sangat konkret.

Kebijakan perang melawan narkoba Duterte, misalnya, malah kerap kali menargetkan orang-orang miskin di lapisan terbawa piramida sosial. Tak hanya itu, sejak Duterte masuk Istana Malacanang, “perang melawan narkoba” telah menghabisi sekitar 7.000 orang, sebagaimana dilaporkan oleh Rappler, April 2017. Tembak di tempat tak hanya dilakukan oleh polisi, tapi juga oleh kelompok-kelompok sipil bersenjata. Catatan Rappler lainnya pada Juni 2018: 33 orang tewas per hari dalam perang anti-narkoba sejak Duterte disumpah sebagai presiden.

“Perang melawan terorisme” Bush pun menuai bencana yang lebih parah. Misi Paman Sam meredam aksi terorisme justru menyuburkan aksi-aksi teror. Catatan Departemen Luar Negeri AS memperlihatkan bahwa aksi-aksi terorisme malah melonjak secara global. Sepanjang 2012-2013, jumlah korban tewas akibat terorisme menyentuh angka 18 ribu, sedangkan 33 ribu lainnya luka-luka.

Untungnya, dalam "perang melawan kemiskinan" di AS, Lyndon Johnson—yang dikecam sebagai "haus darah" oleh kalangan aktivis 1960an karena menyeret Paman Sam ke kancah Perang Vietnam—tidak membantai orang-orang miskin, melainkan mewujudkan program-program kesejahteraan umum.

Dalam “What's with All the War Metaphors? We Have Wars When Politics Fails” yang terbit di The Guardian, Margaret Simmons menyesali penggunaan metafora “perang” dan unsur kekerasan lainnya sebagai cermin betapa rusaknya dunia politik. Metafora semacam itu mengaburkan fakta bahwa politik adalah soal hidup bersama serta menyeimbangkan kebebasan dan tanggung jawab.

Politik ialah soal “ide, komunikasi, persuasi, dan proses” serta tidak ada hubungannya dengan perang. Justru, mengutip Simmons, perang akan lahir ketika politik gagal—dan salah satu contoh kegagalan politik adalah menggunakan metafora yang tak tepat.

Tapi, bukankah kata "strategi" yang lazim digunakan dalam politik dan bisnis juga berasal dari lema Yunani "strategia" yang berarti "jenderal"?

Baca juga artikel terkait PIDATO JOKOWI atau tulisan lainnya dari M Faisal

tirto.id - Politik
Penulis: M Faisal
Editor: Windu Jusuf