Menuju konten utama

MUI Sesalkan Sikap PPGJ Soal Menara Masjid Al Aqsa di Papua

MUI menyesalkan pernyataan dari PPGJ terkait permintaan pembongkaran menara masjid Al Aqsa di Sentani, Papua yang dinilai jauh dari semangat toleransi.

MUI Sesalkan Sikap PPGJ Soal Menara Masjid Al Aqsa di Papua
Ilustrasi beribadah di masjid, Jumat (16/6). ANTARA FOTO/Rahmad.

tirto.id - Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengimbau semua pihak terkait duduk bersama dan melakukan dialog serta membangun komunikasi untuk mencari solusi guna menciptakan kehidupan yang harmoni dan persaudaraan sejati.

Hal ini menyusul pernyataan Persekutuan Gereja-Gereja di Kabupaten Jayapura (PPGJ), Papua, yang menuntut pembongkaran menara Masjid Al Aqsa di Sentani karena lebih tinggi dari bangunan gereja setempat.

"Kami yakin melalui motto Kabupaten Jayapura Khena Mbay Umbay (Satu Hati Ceria Berkarya Meraih Kejayaan) dapat dicapai solusi yang maslahat dan bermartabat di Tanah Papua," kata Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Zainut Tauhid Saadi dalam rilis yang disampaikan ke Tirto, Selasa (20/3/2018).

Dia menyesalkan sikap PPGJ yang menuntut pembongkaran menara masjid karena lebih tinggi dari bangunan yang lain dan menolak suara azan untuk umum, serta menginginkan pelarangan pembangunan musala dan masjid di fasilitas umum, pelarangan siswi di sekolah negeri mengenakan pakaian beridentitas agama, serta pelarangan berdakwah di Kabupaten Jayapura.

"MUI menyesalkan surat pernyataan tersebut karena isinya jauh dari semangat persaudaraan, toleransi, kebersamaan dan kekeluargaan," kata Zainut.

Dia mengatakan pernyataan tersebut dapat mengancam persatuan dan kesatuan warga negara yang hidup bersama di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

MUI, kata Zainut, mengingatkan kembali bahwa kemerdekaan Indonesia adalah ikhtiar bersama semua anak bangsa karenanya tidak boleh ada perasaan satu golongan merasa lebih berhak dan lebih istimewa dari golongan yang lainnya. Hal yang demikian, menurut dia, dapat merusak dan mencederai nilai-nilai persaudaraan kebangsaan yang selama ini dihormati dan dijunjung tinggi.

"MUI menilai bahwa kebhinnekaan adalah rahmat Allah yang harus kita syukuri bukan untuk diingkari. Sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk merawat dan menjaganya dengan hidup berdampingan secara damai, saling menolong dan bekerja sama dalam membangun Indonesia yang merdeka, bersatu berdaulat, adil dan makmur," kata dia.

Dia mengatakan beragama adalah perintah Tuhan yang paling hakiki dan setiap warga negara diberikan hak kebebasan untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaan yang dianut.

Menurut dia, tidak boleh ada orang atau kelompok orang yang melarang, menghalangi dan mengintimidasi orang lain dalam melaksanakan ajaran agamanya karena hal itu bertentangan dengan konstitusi dan hak asasi.

Di lain pihak, Jeirry Sumampouw dari PGI mengatakan bahwa sikap intoleran di Jayapura merupakan kecenderungan masyarakat menonjolkan mayoritas dan minoritas agama dalam perkara menyelesaikan kebebasan beribadah di Indonesia.

“Ada kecenderungan masyarakat mayoritas [dalam perkara agama] di hampir semua tempat cenderung sama,” kata Sumampouw.

Ia menilai masalah ini menjadi "tantangan dan pekerjaan rumah untuk semua agama." Setiap agama, kata Sumampouw, harus melibatkan kejujuran untuk mampu mendialogkan, termasuk mengevaluasi, tindakan-tindakan keagamaan yang "berpotensi memicu persoalan."

“Apa yang terjadi di Papua bisa berpengaruh ke umat Islam yang mayoritas [di Indonesia] dan menimbulkan ketidaksukaan terhadap kelompok Kristen, dan bisa sewaktu-waktu bisa menjelma tindakan kekerasan atau pelarangan,” kata Sumampouw.

Baca juga artikel terkait PELANGGARAN HAM PAPUA atau tulisan lainnya dari Maya Saputri

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Maya Saputri
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri