tirto.id - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meresmikan nama rangkaian kereta MRT atau Mass Rapid Transit alias Moda Raya Terpadu pada Senin (10/12/2018) di Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Nama yang diambil untuk rangkaian kereta tersebut adalah Ratangga.
“Namaku diambil dari puisi di kitab Arjuna Wijaya dan Kitab Sutasoma yang dikarang oleh Mpu Tantular. Dalam bahasa Jawa Kuno, Ratangga artinya kereta perang. Kereta perang identik dengan kekuatan dan pejuang. Dalam menjalankan tugasku, aku akan selalu tangguh dan kuat mengangkut para pejuang Jakarta yang sedang berikhtiar untuk kehidupan yang lebih baik”, demikian keterangan yang tertulis pada spanduk berdiri yang dipampangkan dalam acara itu.
Dalam Kamus Indonesia Jawa (2015) yang disusun Sutrisno Sastro Utomo, Ratangga diartikan sebagai berikut: “Roda: cakra, catra, glindhingan, jantra, ratangga, rodha (tentang kereta, sepeda, motor, mobil), sengkalang (lingkar roda)”
Jika nama rangkaian keretanya Ratangga, maka nama bor yang bergerak horizontal untuk membuat jalan MRT adalah Antareja. Nama itu diberikan Presiden Jokowi tiga tahun lalu saat meresmikan pengeboran pertama jalur bawah tanah itu pada Senin (21/9/2015).
“Yang jago ambles bumi ya Antareja itu,” kata Jokowi saat menjawab pertanyaan wartawan, seperti dikutip Detik.
Nama Ratangga dan Antareja berasal dari khazanah wayang. Dan ini bukan sesuatu yang baru dalam penamaan benda-benda teknologi tinggi di Indonesia, khususnya benda yang dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat dan sebagai simbol kebanggaan, baik buatan asing maupun karya sendiri.
Sejak Zaman Sukarno
Dalam dunia militer nasional, para pengampu alutsista pun kerap menamai persenjataan mereka dengan nama-nama yang berasal dari dunia pewayangan. Antasena, misalnya, dijadikan nama tank boat pertama di Indonesia yang pada Juli 2018 masih berbentuk purwarupa.
Nama tokoh pewayangan yang sangat legendaris dalam dunia militer kita adalah Dewa Ruci. Kapal untuk pelatihan para taruna atau kadet Akademi Angkatan Laut ini juga sering mengarungi samudra dalam tugas-tugas kenegaraan.
Selain itu, nama sejumlah kapal selam Angkatan Laut pun masih ada hubungannya dengan dunia pewayangan, yakni nama-nama senjata para protagonis dalam kisah Mahabharata. KRI (Kapal Republik Indonesia) Nagapasa, Nanggala, Cakra, dan Ardadedali yang menjadi nama kapal selam itu adalah senjata milik Indrajit, Baladewa, Kresna, dan Arjuna.
Tradisi penamaan ini bahkan telah berlangsung sejak zaman Orde Lama dan Orde Baru. Pasukan pengawal presiden zaman Sukarno dinamakan Cakrabirawa yang merupakan senjata pamungkas Kresna. Setelah rezim berganti, nama Cakra disandang pasukan Kostrad.
Tahun 1995, yang disebut-sebut sebagai tahun keberhasilan dirgantara nasional, Soeharto menamai empat pesawat N250 buatan IPTN masing-masing dengan nama Gatotkaca, Krincing Wesi, Koconegoro, dan Putut Guritno.
Sedyatmo, penemu teknik konstruksi cakar ayam, juga sempat menamai jembatan yang ia imajinasikan akan menghubungkan pulau Suamatra, Jawa, dan Bali dengan nama “Jembatan Ontoseno (Antasena)”, meskipun sampai sekarang belum juga terwujud.
“Sebagai seorang penggemar wayang, Sedyatmo mengambil nama ini dari tokoh pewayangan. Ontoseno (Antasena) atau Anantasena adalah nama salah satu tokoh pewayangan yang tidak terdapat dalam naskah Mahabharata karena merupakan asli ciptaan para pujangga Jawa,” tulis Ahmad Effendi dan Hermawan Aksan dalam Prof. Dr. Ir. Sedyatmo: Intuisi Mencetus Daya Cipta (2009).
Mengagungkan yang Langka
Nama-nama tokoh pewayangan dalam benda berteknologi tinggi dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan umum tak bisa dilepaskan dari dominasi etnis Jawa dalam jajaran pengambil keputusan.
Daftar nama yang lahir dari budaya Jawa yang telah disebutkan dalam artikel ini masih bisa diperpanjang. Misalnya Bhayangkara. Nama pasukan elite Kerajaan Majapahit ini dilekatkan dengan korps kepolisian.
Sementara jika dilihat dari aspek estetika dan spirit, pemilihan tokoh pewayangan Jawa ini bisa dibandingkan misalnya dengan wayang Sunda, yang lahir dari akar yang sama.
Wayang Sunda yang biasa disebut wayang golek, seperti dicatat Sarah Anais Andrieu dalam Raga Kayu, Jiwa Manusia: Wayang Golek Sunda (2017), kerap dinilai secara negatif dibandingkan dengan wayang kulit sebagai “kakaknya” yang menurut dia lebih mempunyai prestise.
“Dianggap kurang artistik, sekadar hiburan biasa, remeh, terlalu populer, wayang [golek] ini sering dianggap mengalami kemunduran. Para dalang lazim dituduh merusak bentuk wayang, bahkan hingga saat ini,” imbuhnya.
Andrieu menambahkan pula bahwa James R. Brandon dalam Theatre in Southeast Asia (1967) juga mencatat kecenderungan ini, yakni wayang golek hanya dihargai sebagai hiburan daripada nilai spiritual.
“Menurut sejarah, dahulu wayang golek Sunda memiliki status yang setara dengan wayang kulit Jawa. Kini, tingkat artistik pertunjukan-pertunjukannya telah merosot dan prestise wayang pun ikut jatuh bersamanya,” imbuh Brandon seperti dikutip Andrieu.
Wayang, dalam hal ini wayang dari tradisi Jawa yang dianggap lebih adiluhung seperti dicatat Sarah Anais Andrieu, memang menjadi satu budaya yang “dijaga” agar tak kehilangan wibawanya.
Ini dicatat Nunus Supardi dalam Bianglala Budaya: Rekam Jejak 95 Tahun Kongres Kebudayaan 1918-2013 (2016). Pada pengantar dalam Kongres Pewayangan 2005 yang terbuhul di buku tersebut, disebutkan bahwa wayang sebagai produk budaya tengah mengalami ancaman dari produk budaya lain seperti film dan TV karena perubahan cara pandang dan cara pikir masyarakat.
“Wayang merupakan harta kultural yang tidak hanya bersifat konkret tetapi lebih bersifat simbolik. Pengembangan wayang menjadi sesuatu yang naturalis-realis-konkret justru akan menghilangkan ciri khas wayang itu sendiri,” tulis pengantar tersebut.
Sifat simbolik wayang, tambah pengantar itu, yang tak hanya hadir sebatas tontotan, melainkan juga sebagai tuntunan dan tatanan, adalah hal yang penting sehingga mesti dipertahankan. Tujuan utamanya adalah agar tak terjadi pengikisan pemahaman dan apresiasi masyarakat terhadap wayang.
“Dengan cara demikian, salah satu fungsi wayang sebagai media syiar, karena di dalamnya bermuatan tuntunan, akan semakin diminati oleh masyarakat modern sehingga dapat membawa masyarakat menuju suatu tatanan sosial budaya yang berkepribadian luhur,” imbuhnya.
Makna wayang yang begitu adiluhung itu akhirnya tentu saja menjadi alasan kuat bagi pemerintah untuk melekatkan nama-nama tokohnya, juga senjata para protagonis dalam benda-benda “langka” seperti pesawat, kereta, kapal selam, dan lain-lain. Ya, bukankah capaian teknologi tinggi masih merupakan barang langka di negeri ini?
Perlakuan terhadap benda-benda “langka” ini mengingatkan saya pada paparan Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya 1: Batas-batas Pembaratan (2018) saat ia menjelaskan salah satu barang yang langka di Jawa, yakni bijih besi.
Menurut Lombard, mengutip dari para ahli prasejarah dan etnolog, meski besi telah lama dikenal di Nusantara, tapi keberadaannya amat sedikit dan bukan di Jawa, melainkan di bagian utara Filipina, bagian tenggara Kalimantan, bagian tengah Sulawesi, daerah pedalaman Sumatra, dan Sumbawa.
Sepanjang masa prakolonial, di Jawa bahkan tidak ada bijih besi. Kalau pun ada karena aktivitas perdagangan, ketersediaannya amat sedikit. Hak mengerjakan besi juga dianggap melekat pada sekelompok perajin pemegang hak istimewa yang dianggap memiliki kekuatan gaib, yakni pandai besi.
“Di mana pun di Nusantara, pandai besi sedikit banyak dipandang sebagai empu yang memiliki kekuatan magis, tetapi dapat dibayangkan bahwa di Jawa, konteks ritual dan magisnya lebih terasa karena kelangkaan logam itu,” tulisnya.
Oleh karena itu, sambungnya, meski produk senjata dari Jawa seperti keris merupakan sebuah rekayasa teknik dan keterampilan yang luar biasa, tapi ukurannya sangat kecil jika dibandingkan dengan pedang bangsa Frank, dan tidak mungkin diproduksi dalam jumlah besar.
“Sungguhpun terletak di antara India dan Cina, di mana kita tahu, teknik pengolahan logam telah dapat berkembang sejak sangat dini dan secara besar-besaran untuk ukuran zamannya, Nusantara secara tragis tetap tersisih dari pemilikan peralatan besi yang begitu diperlukan untuk menebas dan memerangi hutan,” imbuh Lombard.
Jika dulu perlakuan terhadap benda yang terbuat dari bijih besi begitu diagungkan di Jawa karena kelangkaannya, maka kiwari penamaan benda berteknologi tinggi dengan nama-nama dari dunia wayang menandakan satu hal: bangsa ini tengah mengulang sejarahnya sendiri.
Apabila masa lalu menyuratkan bahwa peralatan besi diperlukan untuk “menerabas dan memerangi hutan”, maka barangkali kedua kata kerja itu kini bisa dilekatkan kembali untuk “menerabas dan memerangi” tantangan zaman.
Editor: Ivan Aulia Ahsan