Menuju konten utama

MoU Kemendagri-Polri-Kejagung Berpotensi Loloskan Koruptor

Pemerintah beralibi MoU kemendagri, Polri, dan Kejagung untuk memastikan pejabat daerah tak khawatir mengambil keputusan.

MoU Kemendagri-Polri-Kejagung Berpotensi Loloskan Koruptor
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo bersiap menghadiri rapat kerja dengan komisi ii dpr di kompleks parlemen senayan, jakarta, senin (14/9). rapat kerja tersebut membahas rencana kerja dan anggaran kemendagri tahun 2016. Antara foto/m agung rajasa/kye/15.

tirto.id - Kemendagri, Polri, dan Kejaksaan Agung (Kejagung) menekan perjanjian MoU kerja sama soal penanganan laporan masyarakat atas dugaan korupsi di pemerintah daerah. Namun, kerja sama tiga institusi yang bertujuan sebagai ajang koordinasi ini menuai kritik.

Kerja sama ini memunculkan kekhawatiran soal tameng bagi para koruptor untuk menghindari proses hukum dengan dalih kesalahan administrasi. Alasannya ada pasal pada MoU yang memungkinkan sebuah tindakan pidana hanya dianggap sebagai kesalahan administrasi di sebuah lembaga pemerintah daerah. Meskipun pada kasus tangkap tangan, koordinasi ketiga lembaga ini tak bisa berlaku.

Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada, Oce Madril mengatakan ada problematika pada MoU tersebut karena bertentangan dengan Pasal 4 Undang-Undang Tipikor. Oce menegaskan, semestinya ketika ditemukan bukti dan ada kerugian negara, maka kasus itu harus tetap dilanjutkan dalam proses hukum, tidak boleh dihentikan dengan dalih apapun.

“Walaupun uang korupsi itu dikembalikan, tetapi proses hukum itu harus tetap dilanjutkan. UU Tipikor mengatur hal tersebut,” Oce kepada Tirto, Jumat (2/3/2018).

Rasa khawatir Oce muncul setelah Kemendagri bersama Bareskrim Polri dan Kejaksaan Agung menandatangani MoU, pada Rabu (28/2/2018). Kesepakatan ini mengenai koordinasi Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) dengan penegak hukum dalam menangani laporan atau pengaduan yang berindikasi tindak pidana korupsi pada penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Peluang bebasnya pelaku dari ancaman pidana tercantum di Pasal 7 Perjanjian Kerja Sama tersebut. Aturan ini mengatur, APIP atau Inspektorat Jenderal/Daerah dapat menentukan suatu laporan berindikasi korupsi atau kesalahan administrasi atau pidana. Penentuan jenis laporan juga bisa dilakukan Polri serta Kejagung.

Jika suatu aduan digolongkan sebagai kesalahan administrasi, pengusutan menjadi wewenang Inspektorat. Ada empat kriteria untuk menentukan suatu aduan termasuk kesalahan administrasi. Kriteria menentukan suatu aduan masuk ranah kesalahan administrasi dan bukan korupsi terinci dalam Pasal 7 ayat (5), yaitu:

a) Tidak terdapat kerugian keuangan negara/daerah. b) Kerugian negara/daerah telah diproses melalui tuntutan ganti rugi paling lambat 60 hari sejak laporan hasil pemeriksaan diterima pejabat atau telah ditindaklanjuti dan dinyatakan selesai oleh APIP atau BPK. c) Merupakan bagian diskresi, sepanjang terpenuhi tujuan dan syarat-syarat digunakannya diskresi. d) Merupakan penyelenggaraan administrasi pemerintahan sepanjang sesuai dengan asas umum pemerintahan umum yang baik.

Pihak Kemendagri sempat berdalih MoU tersebut dibuat karena banyak pejabat daerah takut mengambil keputusan. Mereka khawatir keputusan yang diambil dilaporkan masyarakat sebagai perbuatan korupsi. Rasa ketakutan aparat pemerintah ini sering menjadi alibi soal rendahnya serapan anggaran di birokrasi pemerintah termasuk daerah.

Imbas dari rendahnya serapan anggaran berdampak pada pembangunan di daerah. Namun, Oce yang juga dosen hukum administrasi negara UGM ini mengkritik alasan terbentuknya MoU.

“Kalau diskresi (kebebasan mengambil keputusan) beda lagi ya. Kalau memang itu diskresi kan treatment hukumnya dengan diskresi itu. Tapi kalau dia mengarah kepada korupsi, maka treatment hukumnya adalah penegakan hukum antikorupsi. Jadi tidak boleh dicampur-campur,” kata Oce.

Menurut Oce, penegakan hukum tidak bisa dijadikan alasan menghambat pembangunan atau proyek di daerah. Selama ini, kata Oce, tidak ada kajian atau riset yang menghasilkan kesimpulan bahwa penegakan hukum antikorupsi menghambat pembangunan di daerah.

“Tidak pernah ada bukti ilmiah mengenai itu, sehingga saya menganggap pendapat-pendapat itu [penegakan hukum menghambat pembangunan] hanya asumsi yang tidak berdasar,” katanya.

Oce mencontohkan program jaminan kesehatan di sejumlah daerah. Menurutnya, kebijakan ini menjadi tidak optimal karena ada kepala daerah yang merasa berhak untuk memotong anggaran-anggaran tersebut, padahal itu merupakan hak masyarakat.

“Contoh lain misalnya ada proyek pembangunan yang dibiayai oleh APBD atau APBN. Seharusnya proyek itu bertahan 100 tahun misalnya, menjadi ambruk tiba-tiba karena korupsi. Jadi korupsi lah yang menyebabkan pembangunan tidak maksimal, tidak berkualitas, dan bermasalah,” katanya.

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Ficar Hadjar yang menilai MoU tersebut bertentangan dengan undang-undang karena ada potensi “penghapusan” perkara korupsi bila uangnya dikembalikan ke negara.

“Ini jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 4 UU Tipikor yang menyatakan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan tindak pidananya. Pengembalian hanya berpengaruh terhadap besar kecilnya hukuman,” kata dosen hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Ficar Hadjar kepada Tirto, Kamis (1/3/2018).

Menurut Ficar, wewenang tersebut bisa menciptakan budaya korupsi baru di kalangan pejabat pemerintah daerah. Ficar khawatir para pejabat daerah akan menganggap jika kejahatan korupsi sebagai tindakan kesalahan administrasi yang bisa diselesaikan dengan ganti rugi.

“Perjanjian kerja sama itu jelas-jelas telah mendegradasi korupsi sebagai extra ordinary crime menjadi tindak pidana biasa saja, sikap ini berbahaya karena dipastikan akan melahirkan 'semangat korupsi dulu' kalau ketahuan kembalikan,” katanya.

Sementara itu, dosen hukum dari Universitas Indonesia (UI) Choky Risda Ramadhan menilai, kerja sama tiga lembaga tersebut tidak akan berdampak kepada KPK. Menurut Choky, KPK tetap bisa bertugas dalam memberantas korupsi karena KPK tidak terikat dalam perjanjian kerja sama itu, dan tetap mengacu pada UU Tipikor.

Namun, tugas KPK bisa semakin berat. Hal ini dapat terjadi karena dengan adanya MoU tersebut, Kejaksaan dan kepolisian tidak mau lagi membantu KPK dalam mengusut kasus korupsi di daerah.

“KPK ini kan personelnya terbatas dan untuk menjangkau korupsi di daerah perlu support dari kejaksaan dan kepolisian,” katanya.

Choky berharap, Presiden Jokowi mengambil sikap tegas terkait perjanjian kerja sama tiga lembaga tersebut. Alasannya, MoU itu bertolak belakang dengan agenda nawacita yang digagas Jokowi seperti pada poin keempat soal reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya.

Oce mengusulkan pemerintah melalui Kemendagri bisa saja tetap membuat MoU dalam mengawal sejumlah proyek pemerintah pusat dan daerah, tapi prinsipnya jangan sampai menabrak peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurutnya jangan sampai solusi yang ditawarkan justru kontraproduktif.

“Antara solusi dan permasalahan tidak nyambung. MoU supaya kepala daerah tidak takut, ini kan tidak ada nyambung-nyambungnya [dengan penegakan hukum], kemudian mencegah agar pejabat daerah tidak banyak ditangkap, itu tidak nyambung juga,” katanya.

Oce berharap seharusnya subtansi dari MoU adalah kerja sama pengawasan dan pencegahan potensi praktik korupsi. Alasannya, prinsipnya sepanjang pejabat di daerah itu tidak bersalah, tidak mengambil keputusan yang koruptif, maka ia tidak bisa dibawa ke ranah pidana.

Menurut Oce, kalau kebijakan yang diambil kepala daerah salah, tetapi kebijakan tersebut tidak koruptif, maka tidak bisa dipidana. Sebaliknya bila sejak awal pejabat daerah membuat kebijakan yang koruptif, berarti sudah berniat melakukan tindakan korupsi.

“Sepanjang memperhatikan asas rasionalitas, asas kemanfaatan, dan tidak koruptif, saya kira tidak bisa dipidana. Tetapi kalau kebijakan koruptif, ya harus dipidana dong, tidak bisa dilepas begitu saja.”

Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Arief M Eddie punya dalih telah menyepakati poin kerja sama itu. Menurutnya aturan itu dibuat karena banyak pejabat daerah takut mengambil keputusan. Mereka khawatir keputusan yang diambil dilaporkan masyarakat sebagai perbuatan korupsi.

“Banyak pejabat daerah diundang kejaksaan tidak terbukti, diundang kepolisian tidak terbukti, diundang lagi tidak terbukti lagi. Kan kapan kerjanya mereka... Kalau sudah ada konfirmasi awal kan enak perlu ditanggapi atau tidak ini laporannya,” ujar Arief.

Arief menepis kekhawatiran para pegiat korupsi. Ia memastikan pejabat daerah yang terindikasi kuat menyalahgunakan uang APBD akan diproses hukum. “Jika ada laporan dugaan korupsi, diperiksa, terus dia kembalikan, tak berkaitan dengan pencairan dana APBD tidak apa-apa. Tapi kalau APBD sudah cair, ada mark up, ya tidak bakal hilang (unsur pidana),” kata Arief.

Baca juga artikel terkait KORUPTOR atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Hukum
Reporter: Abdul Aziz & Naufal Mamduh
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz