tirto.id - Pengurus Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) bertemu Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko di Batam, Kepulauan Riau, Sabtu (25/6/2022). Dalam pertemuan itu, Ketua Umum Apkasindo Gulat Menurung menyampaikan berbagai persoalan petani sawit kepada Moeldoko, terutama terkait anjloknya harga Tanda Buah Segar (TBS) sawit.
Terkait hal itu, Moeldoko akan berusaha semaksimal mungkin membantu. Dia juga berjanji melaporkan hal itu kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Saya juga akan segera menyampaikan ke Presiden soal keluhan dan usulan Apkasindo," kata Moeldoko dikutip dari Antara, Sabtu (25/6/2022).
Sementara itu, Ketua Umum Apkasindo Gulat Menurung mengungkapkan, harga TBS per 23 Juni 2022 mencapai Rp1.127 per kilogram untuk petani swadaya, dan Rp2.002 per kilogram untuk petani bermitra, atau mengalami penurunan 24 hingga 57 persen di bawah harga normal.
"Jika berdasarkan harga penetapan Dinas Perkebunan di 22 provinsi tersebut. Kondisi ini memberikan multiplier effect pada petani. Untuk itu kami menemui Kepala KSP Moeldoko untuk mendapat saran. Karena selain sebagai Kepala Staf Kepresidenan beliau juga Dewan Pembina Apkasindo," kata Gulat.
Gulat menuturkan penyebab anjloknya harga TBS karena besaran pajak-pajak ekspor, seperti Bea Keluar, Pungutan Ekspor Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), pemenuhan wajib pasok dan harga (DMO/DPO), serta percepatan ekspor flush out. Besaran pajak-pajak ekspor tersebut, kemudian dibebankan kepada petani.
"Akibatnya, meski harga CPO Rotterdam pada 23 Juni 2022 mencapai 1.450 dolar AS per ton, petani hanya bisa menikmati harga TBS Rp1.027-2.002 per kilogram. Bahkan untuk petani yang hanya bisa menjual ke pengepul, TBS hanya dihargai Rp400 per kilogram," bebernya.
Di sisi lain, pabrik kelapa sawit (PKS) saat ini menghadapi kegamangan, sebab di satu sisi PKS harus membeli TBS petani, namun di sisi lain industri pengolahan lambat menyerap (Crude Palm Oil/CPO) PKS.
"Jadi anjloknya harga TBS petani karena besaran beban dari CPO dan lambatnya ekspor," ungkapnya.
Pada kesempatan itu, Gulat mengusulkan pemerintah menjadikan DMO/DPO dan percepatan ekspor flush out sebagai pilihan, bukan ketentuan yang semua harus dipenuhi.
"Ketentuan flush out sebaiknya menjadi alternatif yang bisa dipakai oleh eksportir, jika keberatan memenuhi DMO/DPO. Kalau eksportir tidak mau memenuhi DMO/DPO boleh menggantinya dengan FO sebesar 200 ribu dolar AS per ton," pungkasnya.
Editor: Intan Umbari Prihatin