tirto.id - Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko membuka diskusi dengan sejumlah pihak untuk membahas soal pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dalam mengusut kasus HAM masa lalu.
Diskusi tersebut bertujuan untuk mencari masukan, perspektif, dan formula terbaik untuk Indonesia.
Moeldoko bahkan sampai meminta pendapat langsung dari Professor Martha L. Minow, pengajar di Harvard Law School, Amerika Serikat.
Professor Minow yang berbicara langsung dari Amerika Serikat, dikenal sebagai ahli dalam isu KKR, transitional justice, hak asasi manusia, serta studi perubahan sosial. Dia banyak menulis soal privatisasi, keadilan militer, dan konflik etnis serta agama.
Moeldoko berdiskusi melalui teleconference membahas pembentukan KKR pada Senin, (16/12/2019) di Situation Room, Kantor Staf Presiden (KSP), Jakarta.
Pada diskusi tersebut, Moeldoko menyampaikan bahwa KKR menjadi salah satu mekanisme non-yudisial untuk penyelesaikan kasus HAM masa lalu.
Berbagai negara sudah mengadopsi metode KKR. Sebut saja di antaranya Afrika Selatan. Moeldoko mendiskusikan masalah ini dengan didampingi Jaleswari Pramodhawardani, Deputi Hukum dan HAM di KSP, serta Dini Shanti, Staf Khusus Presiden Bidang Hukum.
Saat ini, pemerintah tengah menyiapkan Rancangan Undang-Undang tentang KKR. Rencananya, RUU KKR akan dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional atau Prolegnas 2020.
Ada dua pokok diskusi yang dibahas malam itu. Pertama, tentang formulasi dan elemen KKR yang terbaik dan mengedepankan rasa keadilan dan semangat rekonsiliasi untuk semua pihak.
Kedua, praktik pembentukan KKR di berbagai negara dan tantangannya serta usulan rumusan KKR yang belum pernah diperhatikan di berbagai negara lainnya yang dapat menjadi terobosan positif untuk Indonesia.
Menurut Moeldoko, KSP mendukung penguatan substansi RUU KKR dengan menjembatani perspektif hukum internasional melalui konsultasi dengan ahli yang sudah lama meneliti KKR di berbagai negara.
“RUU KKR nantinya diharapkan akan merefleksikan berbagai praktik baik yang sudah diterapkan di berbagai negara, dan diformulasikan sehingga tidak akan mengorbankan rasa keadilan yang juga diidamkan seluruh pihak,” kata Moeldoko dalam rilis yang diterima Tirto, Selasa (17/12/2019).
Dalam diskusi tersebut, Prof. Minow menekankan, “Tidak ada satu bentuk ideal untuk KKR. Meski demikian, ada beberapa aspek penting dalam proses rekonsiliasi. Yaitu, kejujuran, pengakuan, keadilan dan penyesalan secara mendalam. “Tanpa keempat aspek tersebut, rekonsiliasi sulit dilakukan.”
Minow menambahkan, “KKR juga perlu dibentuk secara independen dan dijalankan oleh aktor-aktor independen. Rasa penyesalan perlu diperlihatan dan dipaparkan dengan jelas. Dengan begitu proses rekonsiliasi akan lebih mudah dilakukan.”
“Selain penyesalan, kejujuran secara utuh juga perlu didorong dalam proses KKR. Penyampaikan penyesalan dan kejujuran sangat berkaitan dengan keadilan bagi korban dan keluarga korban. “Pemerintah perlu memiliki timeline atau deadline waktu yang jelas dalam proses KKR”, jelas Minow.