tirto.id - Presiden Joko Widodo meminta Menteri Koordinator bidang Hukum, Politik, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengawal penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM besar masa lalu.
“Saya laporkan semua yang dilakukan Menko Polhukam, termasuk rencana RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi," kata Mahfud MD usai bertemu Presiden Jokowi, di Istana Kepresidenan Jakarta Pusat, Rabu (11/12/2019).
Mahfud MD menyebutkan Presiden Jokowi selain meminta dirinya ikut mengawal pemberantasan korupsi, juga ikut mengawal penyelesaian kasus HAM.
"Presiden memberi penekanan pemberantasan korupsi di berbagai sektor supaya ke depan lebih efektif, lalu juga penyelesaian kasus HAM," kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini.
Mahfud MD menyebutkan pemerintah ingin menyelesaikan penanganan pelanggaran HAM yang macet.
“Karena sudah belasan tahun reformasi, kita ingin menyelesaikan masalah HAM masa lalu," kata dia.
Setelah dipetakan, lanjut Mahfud, ada yang sudah diadili, ada yang tidak ditemukan objek maupun subjeknya, sehingga perlu dicari seperti apa kebenarannya, lalu rekonsiliasi.
"Kan subjek pelaku sudah tidak ada, saksi sudah tidak ada, bagaimana misalnya kalau diminta visum atas korban tahun 1984? Siapa yang mau visum? Dalam kasus petrus itu, kan, itu sudah tidak ada bukti, saksi-saksi, pelaku dan lainnya, seperti itu yang akan diselesaikan," kata dia.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mendukung pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu, baik dengan cara non-yudisial tanpa mengabaikan mekanisme yudisial maupun sebaliknya.
"Pernyataan pemerintah melalui Menkopolhukam Mahfud MD yang akan melakukan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu ini perlu mendapat dukungan," kata Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu saat jumpa pers di Kantor LPSK Jakarta.
Menurut dia, langkah pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu ini mungkin bisa dimulai dengan bertanya kepada para korbannya, model penyelesaian seperti apa yang mereka kehendaki.
"Setelah mendengar, pemerintah harus segera mengambil keputusan model yang diterapkannya,” kata dia.
Apapun model penyelesaian yang dipilih berpotensi menimbulkan pro kontra. Namun, kata Edwin, bila sulit sampai pada pilihan mekanisme yang ideal, maka jalan tengahnya adalah mekanisme yang paling mungkin untuk diterapkan.
“Di sini pemerintah dituntut untuk memiliki keberanian dalam mengambil keputusan," kata Edwin.
Oleh karena itu, lanjut Edwin, agar penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu bisa dilakukan lebih progresif, maka penyelesaiannya tidak dibatasi mekanisme formil yudisial maupun non yudisial.
"Karena akan berkonsekuensi pada proses yang panjang, penuh tantangan serta berpotensi menuai banyak polemik," kata dia.
Namun demikian, pemerintah tetap harus menyediakan ruang pada mekanisme penyelesaian yang menggunakan pendekatan hukum, baik melalui pengadilan HAM atau Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagai jalan pengungkapan peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi.
Upaya sinergi yang bisa dilakukan oleh negara di luar proses formil itu adalah memenuhi hak para korbannya dan mengenang peristiwa kemanusiaan yang pernah terjadi untuk tidak terulang. Sejatinya, negara tidak sepenuhnya alpa kepada para korban.