tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) menilai pengakuan aliran penghayat kepercayaan jauh lebih baik daripada masyarakat menipu dengan terpaksa memilih salah satu agama demi KTP tidak kosong agar mendapat hak politik.
"Itu kan penipuan itu. Itu pembohongan publik. Supaya KTP ditulis tidak dikosongin, saya bilang Islam, padahal dia penghayat. Ini yang hakiki saja bohong. Yang hakiki saja tidak jujur apalagi yang kecil-kecil masalah uang? Pasti korupsi," ujar Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat saat ditemui di Fakultas Hukum UI, Depok, Jawa Barat, Senin (13/11/2017).
Ia mengingatkan, keputusan MK sebagai langkah konstitusi mengakui penganut aliran atau penghayat kepercayaan. Karenanya, Arief Hidayat meminta agar Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menerapkan keputusan MK.
"Kita prinsip dalam putusan kemarin kita nggak mau membentuk agama baru, tapi kita harus mengakui bahwa di Indonesia ini ada kepercayaan dan keyakinan bangsa Indonesia tidak melalui jalur agama, Pancasila," kata Arief.
Putusan MK terkait aliran kepercayaan, Arief menuturkan, berdasarkan pasal 29 ayat 2 UUD 45. Disebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Oleh karena itu, menurut MK, masyarakat bisa menganut agama atau menganut aliran kepercayaan asli menurut nilai-nilai luhur bangsa selama nilai-nilai mengakui keimanan kepada ketuhanan yang Maha Esa.
Arief menilai, pelaksanaan penerapan kolom penghayat dikembalikan kepada Kemendagri. Ia mencontohkan, Kemendagri bisa menerapkan ada kolom agama dan kepercayaan.
"Jadi kalau nggak, di dalam kolom KTP agama ditulis enam agama itu apa pilihannya. Yang kedua, [kolom] keyakinan atau kepercayaan itu ditulis penghayat kepercayaan. Nggak ada masalah daripada kita itu dibohongi publik," kata Arief.
Kemendagri ingin nama kepercayaan yang dianut para penghayatnya tidak disebutkan secara spesifik di kolom agama KTP. Pencantuman nama kepercayaan secara spesifik dinilai akan menciptakan implementasi jangka panjang.
“Hanya disebut ‘penghayat kepercayaan’ atau 'kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esai. Tapi ini belum diputuskan, masih diskusi,” kata Direktur Jendral Kependudukan Catatan Sipil Kemendagri Zudan Arif Fakhrullah di Bandung, Minggu (12/11/2017).
Saat ini, Kemendagri bersama Kementerian Agama (Kemenag) serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah merumuskan sejumlah opsi pengisian kolom agama di KTP elektronik (e-KTP) bagi para penghayat kepercayaan.
Opsi pertama adalah dengan menuliskan “penghayat kepercayaan”. Kedua dengan menuliskan “kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa” — alasannya penghayat kepercayaan ditafsirkan sebagai pelakunya bukan keyakinan yang dianut. Ketiga, menuliskan secara spesifik nama-nama aliran kepercayaan yang dianut sesuai dengan nama organisasi mereka.
Dari ketiga opsi itu, Zudan mengatakan yang paling berpotensi menimbulkan persoalan adalah apabila kolom agama bagi penghayat kepercayaan ditulis spesifik sesuai nama organisasi. Contoh: Galih Puji Rahayu, Tong Tong Raja Sikalem, Ilmu Roso Sejati, Ilmu Goib, Ilmu Goib Kodrat Alam, dan Golongan Siraja Batak.
Banyaknya nama organisasi kepercayaan yang ada di Indonesia, akan menimbulkan persoalan jika ditulis spesifik dalam kolom KTP elektronik. Hal ini karena, kata Zudan, sebuah organisasi bisa berubah nama, bisa membubarkan diri, dan bahkan bisa dibubarkan pemerintah. “Kalau organisasinya dibubarkan, penduduknya mengubah KTP lagi,” ujarnya.
Berdasarkan cara pandang itu Zudan mengatakan dirinya cenderung memilih penulisan “penghayat kepercayaan” atau “kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa” di kolom agama para penghayat kepercayaan. Kecenderungan ini menurut Zudan juga mengacu amar putusan MK yang berpandangan bahwa penganut agama dan penghayat kepercayaan memiliki kedudukan sama sebagai warga negara Indonesia.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Yuliana Ratnasari