tirto.id - Pada Senin, 1 Februari 2021, seorang perempuan Myanmar bernama Khing Hnin Wai mengunggah video ke akun Facebook-nya. Hari itu juga videonya ramai dibicarakan di media sosial. Dalam video itu terlihat Hnin Wai, seorang instruktur aerobik, bersenam di seberang gedung parlemen Myanmar—kegiatan yang rutin ia lakukan. Bedanya, hari itu ia melakukannya di tengah kudeta militer di bawah pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing.
Netizen Indonesia pun gaduh melihat video berdurasi 3 menit itu. Apalagi latar belakang lagu yang mengiringi Hnin Wai adalah "Ampun Bang Jago" yang dibawakan musisi Indonesia, Tian Storm dan Ever Sklr. Pada kenyataannya, situasi di Myanmar tidaklah semenyenangkan tarian Hnin Wai. Hingga Senin pekan lalu (19/4/2021), berdasarkan laporan Assistance Association for Political Prisoners (AAPP) Burma, setidaknya ada 737 rakyat yang tewas akibat kekejaman junta militer pimpinan Hlaing.
Hnin Wai boleh saja terus bersenam dan tampak tidak ngeh dengan kudeta militer, tapi banyak warga Myanmar kemudian turun ke jalan melakukan protes. Mereka inilah yang kemudian harus meregang nyawa karena memperjuangkan demokrasi. Kudeta militer menyalahi hasil pemilihan umum Myanmar 2020 yang menyatakan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi sebagai pemenangnya.
Jenderal Hlaing kemudian menjebak rakyat Myanmar dalam situasi demokrasi semu. Selain menuding ada kecurangan dalam pemilu 2020, dia juga mengambil alih kepemimpinan tanpa proses pemilu ulang sampai sekarang. Suu Kyi dijadikan tahanan politik dan disekap di tempat yang tidak diketahui. Kendati demikian, Hlaing menegaskan akan melakukan pemilu ulang di tengah maraknya protes sipil. Dia juga menyebut kekuasaannya sekarang akan menunjukkan “demokrasi yang nyata dan tegas.”
Suu Kyi mungkin bukanlah pemimpin terbaik yang bisa diharapkan oleh siapapun di Myanmar. Ia, misalnya, telah membiarkan kejahatan kemanusiaan terjadi kepada kelompok muslim Rohingya. Banyak pihak yang mendesak agar Nobel Perdamaian Suu Kyi dicabut. Sang pembela HAM yang dahulu dielu-elukan dunia kini terpuruk sebagai politikus anti-toleransi yang hanya ingin mempertahankan kekuasaannya.
Meski demikian, junta militer yang berkuasa tanpa proses demokrasi tidak bisa dibenarkan.
Karpet Merah untuk Pelanggar HAM
Pada 24 April 2021, Hlaing melakukan kunjungan internasional terkoordinasi yang pertama sejak Myanmar jatuh ke dalam cengkeraman militer. Hlaing tiba di Jakarta untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN. Hingga kedatangannya di Jakarta pada Sabtu (24/4/2021), tidak ada pernyataan resmi dari Indonesia yang menentang atau, paling tidak, mengomentari kehadiran Hlaing.
Sementara kelompok Pemerintahan Persatuan Nasional (NUG) di Myanmar yang dibentuk oleh orang-orang pemerintahan Suu Kyi terdahulu menentang habis-habisan sambutan ASEAN kepada Hlaing. Sambuta terhadap Hlaing di pertemuan KTT ASEAN dianggap sebagai bentuk pengakuan negara-negara Asia Tenggara terhadap kepemimpinan junta militer yang telah melakukan pembunuhan warga sipil di Myanmar.
Bicara soal situasi politik negara lain memang menjadi hal tabu di negara-negara ASEAN, tidak terkecuali Indonesia. Bahkan, dalam situasi dan konteks protes terhadap pelanggaran HAM, Indonesia boleh jadi memanfaatkan kondisi tersebut.
Tahun lalu, di Sidang Majelis Umum PBB ke-75, Vanuatu mengingatkan adanya kejahatan HAM yang masih terus terjadi di Papua. Tanpa mengklarifikasi isu tersebut, perwakilan Indonesia di PBB, Sylvani Austin Pasaribu, menganggap Indonesia sudah maju lebih dulu daripada Vanuatu dalam urusan HAM. Bagi Sylvani, Vanuatu bahkan tidak bisa memprotes atau bicara pelanggaran HAM sebelum mereka melakukan ratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial.
“Sampai Anda bisa melakukan itu, tolong simpan ceramah untuk diri Anda sendiri,” kata Sylvani. “Ini memalukan, suatu negara terus memiliki obsesi tidak sehat yang berlebihan tentang bagaimana seharusnya Indonesia bertindak atau memerintah.”
Dengan pedoman seperti ini, tentu saja Indonesia bisa dianggap menjilat ludah sendiri jika memprotes atau mengingatkan beratnya kejahatan junta militer di Myanmar. Indonesia lebih memilih menjalin dialog baik dengan Hlaing.
Dalam pertemuan KTT ASEAN, sejumlah pihak mengaku respons Hlaing untuk menghentikan kekisruhan di Myanmar cukup baik. Misalnya saja Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin.
“Ini di luar dugaan kami,” kata Yassin. “Untungnya dia tidak menolak apa yang saya dan rekan-rekan ajukan.”
Proposal yang diajukan negara ASEAN utamanya adalah menghentikan kekerasan di Myanmar. Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong juga mengucap hal serupa dengan Yassin. Hlaing tidak menolak kunjungan dari perwakilan negara ASEAN ke Myanmar dan mengaku akan mempertimbangkan hal-hal yang menurut dia berguna.
“Saya akan bilang ini pertemuan yang sangat produktif dan menjadi satu langkah ke depan untuk kita,” ujar Loong seperti dilansir ChannelNewsAsia.
Dari pertemuan tersebut, ada lima konsensus yang dihasilkan. Pertama, kekerasan harus dihentikan di Myanmar. Kedua, dialog konstruktif semua pihak yang berkepentingan harus dimulai untuk mencari solusi damai demi kepentingan rakyat. Ketiga, utusan khusus Ketua ASEAN akan memfasilitasi proses dialog dengan bantuan Sekretaris Jenderal ASEAN. Keempat, ASEAN akan memberikan bantuan kemanusiaan melalui AHA (ASEAN Humanitarian Assistance) Centre. Kelima, utusan khusus dan delegasi akan mengunjungi Myanmar untuk bertemu dengan semua pihak terkait.
Namun sebenarnya kunjungan ke Myanmar tidak begitu saja bisa dimaknai positif bagi penentang junta militer. Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi juga sempat hendak berkunjung ke negara itu yang kemudian ditentang oleh rakyat Myanmar. Alasannya, kunjungan Retno bisa jadi malah melegitimasi kudeta Hlaing dan pemerintahan yang dibentuknya. Apalagi rakyat Myanmar sama sekali tidak tahu menahu tentang kunjungan tersebut.
Jika perwakilan Indonesia hendak berkunjung ke Myanmar, Thinzar Shunlei Yi, seorang aktivis di Yangon, menginginkan Indonesia mengakui Committee Representing Pyidaungsu Hluttaw (CRPH) sebagai pemerintahan yang sah. CRPH adalah pemerintah sipil oposisi yang dibentuk para anggota parlemen yang digulingkan oleh kudeta militer. Alasannya, pemilu 2020 seharusnya sudah selesai dan pemerintahan yang sah sudah terbentuk. Berdiskusi dengan kelompok militer untuk mencari jalan tengah sebenarnya bukan pilihan karena hal itu hanya mengakui bahwa demokrasi bisa mudah dirusak dengan kekerasan.
"Mereka perlu terlebih dahulu mengakui keberadaan CRPH sebagai badan resmi yang dibentuk oleh perwakilan terpilih, kemudian mereka bisa meminta ide dan apa yang bisa mereka bantu,” kata Thinzar sebagaimana dilansir BBC Indonesia.
Sebenarnya tak ada yang salah dengan hasil konsensus ataupun tuntutan pemerintah Indonesia ke Hlaing. Sejak awal, tidak ada kekerasan adalah keinginan rakyat Myanmar, bahkan, bila perlu, tidak ada junta militer. Masalahnya adalah negara-negara ASEAN begitu saja percaya kepada Hlaing yang menyatakan akan ada demokrasi setelah junta militer.
Dr. Sasa, anggota CRPH dan bagian dari NUG Myanmar, menegaskan tidak akan ada kompromi dengan kelompok militer apabila tuntutan pemerintah bayangan NUG tak terpenuhi. Karena sejak awal, tak ada polemik apapun andaikan kudeta militer, yang merupakan kejahatan terhadap demokrasi, tidak terjadi.
Bagi CRPH, tuntutan mereka sudah mutlak karena kekuasaan junta militer yang tidak berdasar. Seharusnya negara lain juga menganut pemahaman bahwa berkuasanya militer Myanmar hanya terjadi lantaran pengambilalihan paksa dengan senjata, bukan melalui proses demokrasi.
"Tidak ada kompromi, empat syarat sudah kami siapkan," kata Sasa seperti dikutip Nikkei Asia, Minggu (25/4/2021). "Ini bukan [tentang] saya, ini [menyangkut] orang-orang Myanmar, kami tidak dapat melegitimasi pembunuhan. Jika Anda melegitimasi junta, Anda melegitimasi militer.”
Empat syarat itu adalah penghentian kekerasan terhadap sipil, penarikan tentara dari jalan, pembebasan tahanan politik, dan tentunya pembebasan Aung San Suu Kyi dari tahanan.
Daripada sekadar menjalin dialog dengan Hlaing, aktivis pro-demokrasi Myanmar mendesak Indonesia untuk melakukan tindakan tegas yang bisa menekan junta militer. Misalnya dengan mengeluarkan targeted sanction kepada perusahaan-perusahaan Indonesia yang beroperasi di Myanmar. Mereka tidak boleh menjalin kerja sama dengan perusahaan yang terafiliasi dengan militer.
“Itu akan menekan para jenderal,” kata peneliti Human Rights Watch (HRW) Indonesia, Andreas Harsono, kepadaTirto, Rabu (21/4/2021).
Kedatangan Hlaing memang sepatutnya tidak diterima Indonesia. Dengan membiarkan Hlaing datang, Indonesia sudah menjadi bagian yang “mendukung” sejarah berdarah Myanmar.
“Delegasi Myanmar lain boleh masuk, tapi bukan jenderal-jenderal senior tersebut, termasuk Ming Aing Hlaing. Dia bertanggung jawab bukan saja terhadap kudeta, tapi pembantaian orang-orang Rohingya,” lanjut Andreas.
Kembali pada Dr. Sasa, dengan tindakan junta militer yang berlawanan dengan demokrasi, dia sulit percaya hasil-hasil konsensus KTT ASEAN sebenarnya akan terealisasi.
"Pernyataan itu mudah, tetapi jika tidak ada tindakan maka tidak ada artinya. Kami harus menunggu dan melihat, jika ada penarikan pasukan,” ucapnya.
Seperti dicatat koresponden BBC di Asia Tenggara, Jonathan Head, negara-negara ASEAN masih banyak berlindung di balik konsep non-interference atas situasi politik di negara lain. Indonesia memang sudah berusaha membantu penyelesaian, tapi bagi kelompok militer Myanmar, Indonesia bukanlah musuh dan bahkan pernah menjadi "guru". Pada periode Orde Baru, Indonesia menjadi model dari rezim militer Myanmar saat ini.
Editor: Ivan Aulia Ahsan