tirto.id - Migrant Care menemukan permasalahan suara pekerja migran yang masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) Luar Negeri di empat negara, yakni Hongkong, Malaysia, Singapure, Taipei.
Hal itu disampaikan dalam jumpa pers yang diselenggarakan secara daring bertajuk Catatan Awal Pemantauan Pemilu Luar Negeri, Kamis (18/1/2024).
Staf Pengelolaan Pengetahuan, Data, dan Publikasi Migrant Care, Trisna Dwi Yuni Aresta, mengatakan suara pekerja migran di empat negara itu belum terdistribusi dengan baik.
Padahal, menurutnya, mereka sudah mendaftar terlebih dahulu. Temuan itu, kata Trisna, merupakan hasil keluhan pekerja migran di empat negara tersebut.
"Dalam empat wilayah ini, semuanya dalam komentarnya mengeluhkan hal sama, terkait suaranya belum terdistribusikan dengan baik ataupun DPT Luar Negeri-nya bermasalah. Padahal, dia (pekerja migran) sudah mendaftar lebih dahulu," kata Trisna dalam jumpa pers.
Lembaga yang fokus mengadvokasi pekerja migran ini menilai permasalahan ini menunjukkan ketidakseriusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terhadap pemilih berkebangsaan Indonesia di luar negeri.
Hal itu, menurut Trisna, terlihat dari menurunnya jumlah DPT Luar Negeri yang ditetapkan KPU, yang berjumlah hanya sekitar 1,7 juta.
"Angka itu terlalu kecil dibandingkan populasi warga Indonesia yang sedang bekerja, belajar, dan bermukim di luar negeri," tutur Trisna.
Ia menduga penurunan angka itu karena KPU tak melakukan revisi terhadap lampiran 3 dan 4 dari UU No.7 tahun 2017 tentang Pemilu, sehingga pada 2024 pemilih luar negeri digabung dengan Jakarta 2.
Trisna mengatakan, populasi pekerja migran Indonesia di luar negeri ada berbagai versi data. Namun, tentu jumlahnya lebih besar dari DPT Luar Negeri yang ditetapkan KPU.
"Menurut Bank Indonesia sebanyak 3,6 juta, menurut Kementerian Tenaga Kerja sekitar 6,5 juta, [dan] prediksi Bank Dunia menyatakan 9 juta," ujarnya.
Menurut Trisna, ini hanya pekerja migran, belum lagi mahasiswa. Oleh karena itu, dia mengatakan sangat jauh sekali keterpenuhan data dari pekerja migran itu sendiri.
Trisna mengatakan hal itu berdampak pada penghilangan hak politik yang dimiliki warga Indonesia, khususnya pekerja migran.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo, mengatakan hingga kini belum ditemukan caleg yang bisa mengakomodasi kepentingan pekerja migran Indonesia di luar negeri. Padahal, kata dia, pemilih luar negeri masih mengalami kendala.
"Sampai sekarang mengalami keterbatasan, baik dalam konteks persiapan penyelenggaraan, apalagi dalam konteks aspirasi politik," katanya.
Wahyu mengatakan Diaspora Indonesia sejatinya pernah melakukan judicialreview ke MK perihal pemilih Indonesia di luar negeri.
Hal itu bertujuan agar pemilih luar negeri masuk dapil tersendiri. Namun, tambahnya, sampai saat ini belum terealisasikan. Pasalnya, selama ini mereka digabungkan dengan Dapil 2 Jakarta, yakni Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan.
"Apalagi, aspirasi dan artikulasi politik mereka yang ada di Jakarta dengan di luar negeri berbeda aspirasinya karena kebanyakan mereka pekerja migran. Selama ini mereka tak pernah terartikulasi," tuturnya.
Menurut Wahyu, hasil penelusuran lembaganya ditemukan petahana yang terus-menerus terpilih di wilayah itu, tapi tak pernah mengartikulasikan kepentingan pekerja migran, dari Pemilu 2014 hingga Pemilu 2024.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Irfan Teguh Pribadi