tirto.id - Para migran di Kashmir diminta segera meninggalkan wilayah tersebut sejak diumumkannya pembatalan status istimewa otonomi Kashmir oleh India pada 5 Agustus lalu.
Para turis dan pendatang sebelumnya juga diminta segera meninggalkan wilayah otonom tersebut, Aljazeera melansir.
Keputusan tersebut disertai dengan pemutusan jaringan telepon dan internet, serta dikirimnya ribuan pasukan ke wilayah Kashmir oleh pemerintah India untuk mencegah kekacauan yang mungkin ditimbulkan oleh warga sipil.
Peningkatan keamanan tersebut kemudian berdampak ke ekonomi Kashmir dan para pekerja imigran mengepak barang untuk kembali ke daerah asalnya. Salah seorang pekerja migran adalah Deepak Lal yang berhijrah ke Srinagar pada Mei lalu.
"Situasinya buruk. Ada ketakutan, tapi tak ada pekerjaan," kata Lal.
"Pekerja non-lokal tidak nampak lagi di sini (Srinagar). Semua orang yang datang bersama kami sudah pergi," lanjutnya.
Ribuan pendatang telah meninggalkan kota-kota besar Kashmir sejak beberapa hari setelah pengetatan keamanan dilakukan oleh pemerintah India.
Adik Deepak, Ashok Lal mengatakan bahwa pemerintah tidak memberi peringatan kepada para pendatang sebelumnya.
"Tidak ada pengarahan buat kami. Kami tidak tahu harus berbuat apa, kami memang tidak diserang orang-orang tapi orang-orang takut sehingga ketika kami di jalan anak-anak menyerukan kenapa kami tidak pergi," tutur Adik.
India mengeluarkan kebijakan Article 370 yang berisi pencabutan status istimewa Kashmir, disusul dengan pembatasan fasilitas komunikasi dan transportasi. Langkah ini juga diduga akan mengubah demografi wilayah berpenduduk mayoritas Muslim tersebut.
Pembatasan tersebut mendorong warga non-lokal untuk tinggal secara permanen dan atau membeli tanah di Kashmir, yang di klaim oleh India dan Pakistan.
Langkah mencabut hak khusus dan meletakkan Kashmir kembali di bawah kendali pemerintahan India juga memicu kekhawatiran penduduk lokal bahwa pemerintah India akan membangun kawasan migran agar penduduk non-lokal dapat menetap permanen.
"Sebagian besar [migran] telah keluar dari histeria dan ketakutan psikologis serta beberapa telah diusir paksa oleh rakyat," kata seorang pejabat senior setempat.
"Karena situasi saat ini, kami membantu mereka meninggalkan daerah itu dengan menyediakan layanan bus dan makanan," tambahnya.
Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah India ini juga kemudian menyebabkan kerusuhan di wilayah Kashmir sendiri.
The Atlantic melaporkan ada sekitar 140 insiden perajaman batu di delapan hari pertama penerbitan kebijakan Article 370, belum termasuk aksi protes baik perorangan maupun kelompok dari beberapa wilayah sekitar.
Sulit memastikan jumlah pasti insiden pemberotantakan dan unjuk rasa massa karena pemerintah India memutus jaringan telepon dan internet di seluruh wilayah Kashmir yang berada di bawah kendali India, yaitu Jammu & Kashmir, dan Ladakh.
Penulis: Anggit Setiani Dayana
Editor: Yandri Daniel Damaledo