tirto.id - Kondisi lelah, kurang tidur, aktivitas monoton dan sebagainya bisa memicu fase yang disebut “microsleep”. Gejalanya ditandai dengan hilang fokus tiba-tiba dan tidur kilat selama lima detik hingga dua menit. Para pengendara patut mewaspadai fase microsleep.
Microsleep adalah fase tidur singkat yang berisiko dialami oleh pekerja shift malam, individu dengan gangguan tidur seperti insomnia atau sleep apnea, dan pekerja monoton, yang sering di depan layar komputer, atau mengemudi di jalur lurus atau jalur hapal. Saking singkatnya, microsleep seringkali seseorang tak menyadari telah tertidur. Terkadang, microsleep terjadi dengan mata terbuka.
Menurut American Sleep Apnea Society, individu dengan sleep apnea memiliki risiko kecelakaan mobil 2-4 kali lebih tinggi. Sementara studi pada 2015 yang diterbitkan dalam Proceedings of National Academy of Sciences menunjukkan risiko kecelakaan pekerja shift malam meningkat 37,5 persen. Microsleep berbanding lurus dengan tingkat kantuk seseorang.
Saat-saat libur Lebaran dengan kesibukan mudik atau arus balik, microsleep menjadi ancaman bagi mereka yang pulang kampung dengan kendaraan pribadi. Jarak tempuh yang jauh, kemacetan, dan jalan yang monoton bisa memicu microsleep datang lebih cepat. Penelitian oleh AAA Foundation for Traffic Safety, mengemukakan 96 persen pengemudi yang menjadi responden mereka mengelompokkan rasa kantuk sebagai ancaman serius berkendara.
Peneliti mengamati rekaman video para responden saat mengemudi. Mereka menemukan persentase kecelakaan lalu lintas akibat kantuk menjadi delapan kali lebih tinggi dibanding yang dilaporkan pemerintah Amerika. Ada beberapa pengemudi yang ternyata tidak melaporkan rasa kantuk saat terjadi kecelakaan lalu lintas karena merasa malu. Dalam penelitian ini, mereka tak bisa menyembunyikan rasa kantuk karena diidentifikasi dari rekaman wajah tiga menit sebelum kecelakaan.
Dengan mengukur persentase saat mata tertutup dengan tingkat kantuk pengemudi, para peneliti menetapkan 9,5 persen dari semua kecelakaan diakibatkan oleh rasa kantuk. Selain itu kantuk juga menyumbang 10,8 persen penyebab dari kecelakaan yang merusak fasilitas publik maupun properti pribadi. Menurut AAA Foundation, 16,5 persen kecelakaan fatal diakibatkan pengemudi yang mengantuk.
“Kurang tidur 2-3 jam dapat meningkatkan risiko kecelakaan hingga empat kali lipat, setara dengan mengemudi dalam keadaan mabuk,” tulis Jake Nelson, direktur Advokasi dan Penelitian Keselamatan Lalu Lintas AAA Foundation.
Ada beberapa tanda yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi microsleep saat menghinggapi seseorang. Pertama, tatapan matanya kosong. Kedua, menghentakkan kepala ke depan, sering berkedip lambat, menguap, dan tak mengingat menit terakhir ketika ia beraktivitas.
Ini karena yang bersangkutan gagal merespons informasi dari luar. Misalnya seperti tidak melihat lampu merah, tikungan, atau bagi pilot, tidak menyadari lampu alarm berkedip di kokpit. Keadaan ini lazimnya berlangsung di waktu-waktu khusus saat tubuh diprogram untuk tidur, seperti dini hari dan sore hari.
Yang Terjadi Saat Microsleep
Meski berlangsung dalam fase singkat, microsleep tak dapat disepelekan. Ada beberapa bencana yang terjadi di dunia akibat kondisi ini. Contohnya saja ledakan nuklir Chernobyl, tumpahan minyak Exxon Valdez, ledakan pesawat ruang angkasa Challenger, dan kerugian sebanyak US$ 31 miliar per tahun di Amerika akibat kesalahan kerja.
Bayangkan ketika kendaraan dipacu dengan kecepatan 70 mil per jam, saat bersamaan pengemudi tertidur selama enam detik, maka selama fase microsleep, kendaraan melaju hingga 200 meter. Kondisi ini sangat memungkinkan kendaraan berpindah jalur, menyeberang ke sisi jalan, atau menerobos lampu merah. Setidaknya ada kurang lebih 10 persen pengemudi pernah mendapat fase microsleep saat berkendara.
Pada saat mengantuk, meski belum tidur, otak mulai mematikan sementara sebagian aktivitas. Fenomena ini dinamakan tidur lokal, dimana tubuh masih terjaga, tapi otak tidak berfungsi penuh. Sementara microsleep adalah fase tidur lokal yang “kebablasan” sehingga membuat otak lumpuh dan menunggu tubuh mengembalikan kesadaran.
Sebuah penelitian di 2015 yang diterbitkan di NeuroImage memantau gelombang otak relawan yang telah terjaga selama 22 jam. Dengan mesin fMRI, peneliti melihat gelombang otak selama episode microsleep. Hasilnya menunjukkan adanya penurunan aktivitas bagian otak yang bertanggung jawab mengatur tidur (thalamus). Sebaliknya, aktivitas bagian otak yang bertanggung jawab untuk pemrosesan dan perhatian sensorik justru terjaga.
Microsleep tak hanya berbahaya bagi keselamatan saat berkendara. Namun juga menghambat respons tubuh dan kemampuan membuat keputusan. Dalam penelitian lain di 2011, tikus yang dipaksa terjaga dalam waktu panjang mengalami penurunan kemampuan motorik.
Saat fase microsleep, mereka mengambil palet gula hanya menggunakan satu kaki. Kondisi ini menjelaskan kesalahan sederhana yang dibuat manusia saat kurang tidur, seperti kehilangan kunci atau tidak menyadari perubahan warna lampu lalu lintas.
Jika Anda benar-benar harus melakukan aktivitas seperti mengemudi atau bekerja dalam kondisi kurang tidur atau lelah, maka ada beberapa tips yang dapat dilakukan untuk menghindari microsleep. Pertama, tidur cukup sebelum melakukan perjalanan panjang, setidaknya selama 7 jam. Hindari mengemudi saat merasa mengantuk, usahakan beristirahat setiap dua jam atau setiap jarak 100 mil.
Antisipasi kelelahan dengan penumpang siaga untuk bergiliran mengemudi, mereka juga dapat membantu Anda berinteraksi agar tetap fokus. Jaga tubuh agar tetap bergerak dan terus berpikir, setel radio atau musik favorit Anda. Suplemen seperti kopi atau vitamin dapat membantu menunda fase microsleep, tapi butuh waktu jeda setidaknya selama 30 menit untuk merasakan efek.
Terakhir, tentu beristirahat saat rasa kantuk datang, setidaknya 20-30 menit saat siang hari. Semua keputusan ada di tangan Anda, dan berani mengambil langkah agar terhindar dari microsleep yang berisiko.
Editor: Suhendra