tirto.id - Pro kontra muncul di masyarakat pasca pihak kepolisian mengatakan bahwa aktivitas merokok yang dilakukan ketika berkendara dapat dikenai sanksi hukum. Menanggapi pro kontra tersebut, sebuah lembaga swadaya masyarakat pemerhati keselamatan jalan, Road Safety Association (RSA) Indonesia pun angkat suara.
Menurut RSA, segala aktivitas yang dilakukan tidak terkait langsung dengan kegiatan berkendara atau mengemudi, sangat berpotensi mengganggu bahkan mengurangi konsentrasi pengemudi saat berkendara.
“Segala hal di luar aktivitas berkendara berpotensi memecah konsentrasi berkendara, termasuk berponsel, makan dan minum saat berkendara, mendengarkan musik dan merokok pun berpotensi mengurangi konsentrasi berkendara,” tegas Ketua Umum RSA Indonesia, Ivan Virnanda, Sabtu (3/3/2018).
Segala sesuatu yang berpotensi mengganggu konsentrasi berkendara itu, yang ia sebut sebagai kejadian “distracted driving”.
“Distracted driving terjadi karena konsentrasi pengendara terpecah akibat melakukan aktivitas lain selain berkendara,” tukas Ivan.
Selain itu, Ivan menekankan, dalam memahami aturan yang berlaku, tidak bisa dipahami secara parsial. RSA Indonesia, kata Ivan, sejak awal kerap menyosialisasikan apa yang mereka sebut sebagai “Segitiga RSA”.
“Pahami Rules [aturan], miliki Skills [keterampilan mengemudi] dan terpenting Attitude [etika atau perilaku]. Nah kira-kira kalau kita berponsel, merokok, atau beraktivitas yang lain di luar berkendara, selain berisiko ngundang bahaya juga bagaimana soal etika?,” sergah Ivan.
Dirinya mengaku, kerap menerima keluhan dari sejumlah pengendara khususnya pengendara roda dua yang terdampak oleh kegiatan merokok yang dilakukan pengendara lainnya saat di jalan.
“Abu rokok yang tertiup angin sering menerpa wajah pengendara lainnya, bahkan nggak cuma abu tapi bara api rokok yang masih menyala sangat berbahaya bagi pengendara lain,” jelasnya.
Untuk itu, Ivan kembali mengingatkan soal etika berkendara. Ditegaskannya, di jalan raya, kita tidak sendiri, ada banyak pengguna jalan lainnya yang memiliki hak dan kewajiban yang sama.
“Saling menghargai lah, hormati. Kalo mau enak sendiri, ngerokok kan [kata perokok] bisa bikin nyaman, tapi ingat, kalo dilakukan saat berkendara, bisa berimbas bahaya baik bagi dirinya atau orang lain,” tutur Ivan.
Senada dengan Ivan, Badan Kehormatan RSA Indonesia, Rio Octavianus menjelaskan, penjelasan dari pasal 106 ayat 1 bagi pihaknya sudah jelas dan tidak bisa ditawar lagi apalagi diinterpretasikan macam-macam. Sebagai warganegara dan pengguna jalan yang baik, semestinya bisa menghormati aturan yang berlaku.
“Gini loh, aturan itu kan dibuat untuk mengatur, UULAJ dibuat untuk mengatur kelancaran, kenyamanan, keamanan dan keselamatan para pengguna jalan. Pahami itu aja dulu, nggak usah ribet,” tandasnya.
“Sekarang ini, orang-orang itu lebih suka melakukan pembenaran ketimbang mengedepankan kebenaran,” tambahnya.
Dari data yang dimiliki RSA Indonesia, tercatat 10 kasus kecelakaan lalu lintas terjadi setiap hari di Indonesia. Kecelakaan itu dipicu oleh aspek lengah karena terganggunya konsentrasi saat berkendara. Bahkan, aspek lengah menjadi faktor dominan penyebab kecelakaan dari faktor manusia yakni sebanyak 56%.
Sebelumnya, Kasubdit Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya AKBP Budiyanto mengatakan, kebiasaan merokok merupakan bentuk pelanggaran aturan yang ancaman hukumannya tak main-main.
Pernyataan Budiyanto itu memicu kontra dari kalangan praktisi hukum, David Tobing. Ia menyatakan yang dilarang adalah menggunakan telepon atau menonton televisi atau video yang terpasang di Kendaraan, atau meminum minuman yang mengandung alkohol atau obat-obatan.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Yantina Debora