Menuju konten utama

Mermaiding, Merengkuh Mimpi Menjadi Putri Duyung Dunia Nyata

Mermaiding kini bukan hanya sekadar hobi, tapi juga bidang profesional. Selain menghibur, ia juga bisa jadi pintu masuk edukasi tentang lingkungan.

Mermaiding, Merengkuh Mimpi Menjadi Putri Duyung Dunia Nyata
ilustrasi putri duyung. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Sejak lama, laporan dan cerita soal penampakan putri duyung berdatangan dari berbagai penjuru dunia. Begitu pula dengan hoaks yang difabrikasi soal eksistensi makhluk mitos dari bawah laut ini.

Sejauh yang kita tahu, putri duyung memang hanya hidup dalam mitologi dan kisah rakyat. Jika pun dia betul-betul eksis, wujudnya bisa jadi melenceng jauh dari yang biasa kita bayangkan. Alih-alih berwujud macam Ariel, Princess Shirahoshi, atau Daryl Hannah dalam Splash (1984), putri duyung bisa saja menakutkan seperti penggambaran siren atau lebih mendekati wujud mamalia laut betulan macam dugong.

Namun, kehadiran Ariel dan film animasi The Little Mermaid (1989) memang turut menghadirkan mimpi fantastis bagi banyak anak-anak: menjadi putri duyung. Pada kenyataannya, kau memang bisa saja menjelma putri duyung yang sama menawannya dengan penggambaran mereka dalam produk budaya pop.

Lihatlah, orang-orang telah berenang dan menyelam menggunakan sirip renang bertipe monofin sejak puluhan tahun silam. Cosplay ala putri duyung juga telah dipraktikkan untuk beberapa waktu. Kombinasi keduanya pun telah dihadirkan para penampil bawah air, seperti Annette Kellerman dan Esther Williams, yang kerap membawa tema putri duyung ke dalam pertunjukannya. Demikian pula atraksi sinkronisasi balet bawah air yang telah ditampilkan rutin di Weeki Wachee Mermaids, Florida, sejak 1947.

Kendati demikian, istilah mermaiding untuk menyebut aktivitas mengenakan ekor dan bertingkah selayaknya putri duyung diperkirakan baru muncul sekitar dua dekade lalu. Tepatnya sekitar 2004, ketika para putri duyung profesional, seperti Hannah Mermaid, Mahina Mermaid, dan Mermaid Linden, menggunakannya untuk menamai aktivitas cosplay ekstrem mereka.

Penggemar mermaiding pun terus tumbuh. Para duyung perempuan maupun laki-laki (merman) kini memiliki komunitas internasional yang biasa disebut komunitas Mer. Konvensi para merfolk pun digelar setiap tahun di North Carolina, AS, tepatnya di Greensboro Aquatics Complex. Ratusan orang hadir dengan kecintaan dan komitmen serupa, entah itu untuk sekadar membicarakan gear atau bahkan seminar soal mermaiding.

Berawal dari hobi, aksi menyerupai putri duyung kini pun bisa disebut profesi. Para penampil atau putri duyung profesional kian umum ditemukan di wahana-wahana rekreasi keluarga, kolam renang hotel, akuarium bar, hingga di laut.

Pekerjaan Impian

Di tempat-tempat pertunjukan bawah airnya, para putri duyung melontarkan bubble kiss dan meliuk anggun tanpa cela seolah terlahir mahir berenang, seakan diperkuat sirip dan ekor sedari mula. Bagi audiens yang pernah—atau masih—bermimpi menjadi putri duyung, aksi para duyung profesional ini seolah menyingkap fakta baru bahwa pekerjaan impian itu nyata adanya. Malah, bisa jadi lebih nyata ketimbang mimpi menjadi superhero.

Praktik dan prosesnya tentu tak semudah kelihatannya. Ada jam-jam panjang latihan free-diving di balik segala keelokan itu. Tak hanya sekadar menahan napas dan menyelam, para duyung profesional juga musti berlatih bergerak dengan lembut dan anggundi bawah air. Belum lagi belajar mengatasi rintangan konstan berupa dinginnya air, berbagai risiko kesehatan akibat terpapar air dalam waktu yang lama, atau bahkan diserang makhluk laut saat tampil di laut lepas.

Bagi mereka yang menjalaninya karena gairah, risiko-risiko itumungkin bukan masalah. "Berada di bawah air adalah perasaan yang sangat menggembirakan. Adrenalinmu terpacu, kau merasa agak takut, tapi sebagian dari dirimu juga merasa relaks dan menikmatinya," ujar Hannah Mermaid kala diliputABC News.

Selanjutnya, ada perlengkapan serupa ekor ikan yang mesti dikenakan, yang beratnya bisa mencapai sekitar 16 kilogram. Ekor duyung prostetik itu dirancang serealistis mungkin, tapi di saat yang bersamaan tetap praktis digunakan. Biaya pembuatannya pun tak kecil, mulai dari ratusan hingga mencapai $5000 (sekitar 72 juta rupiah).

Kualitasnya tentu tak bisa disandingkan dengan ekor duyung mainan untuk anak-anak. Ekor para duyung profesional lazimnya terbuat dari bahan seperti silikon atau light foam yang dibentuk menyesuaikan dengan kaki pemakainya.

Jika segala persiapan di atas telah selesai, lantas bagaimana dengan aksi bawah air mereka? Bagaimana para merfolk yang sejatinya manusia biasa itu mengatasi keterbatasan oksigen dalam tangki-tangki akuarium pertunjukan?

Berisiko tapi Kian Diminati

Demi penampilan yang meyakinkan, para pelaku mermaiding tentu menghindari peralatan scuba diving. Berbagai cara pun ditempuh untuk mengakali hal tersebut. Beberapa di antara putri duyung profesional, misalnya, melatih pernapasan mereka sedemikian rupa sehingga bisa bertahan sampai 5 menit di dalam air. Pada tangki pertunjukan juga dipasangibanyak tabung oksigen yang bisa mereka hampiri dari waktu ke waktu tanpa perlu muncul ke permukaan.

Cara lainnya adalah menyiapkan penyelam skuba di dalam akuarium. Merekalah yang bakal selalu siap membawakan udara segar kapan pun para duyung menunjukkan gestur meminta udara. Metode ini membutuhkan perhatian yang cermat lantaran kegagalan dalam mengenali gesturbisa mengancam jiwa para duyung profesional.

Sekurang-kurangnya terdapat satu laporanyang mencatat seorang putri duyung nyaris kehabisan napas ketika penyelam melewatkan permintaannya untuk mendapatkan udara segar. Meski ini adalah bidang yang sulit dan berisiko, profesi ini nyatanya tak kurang peminat.Pada 2015 saja, tercatatsekitar 1000 warga Amerika berprofesi sebagai merfolk.

Para duyung dunia nyata juga tak selalu perempuan muda yang atraktif nan langsing sebagaimana digambarkan dalam kisah-kisah fiktif. Sejak awal dekade 2000-an, para penggiat mermaiding datang dari berbagai usia, gender, bentuk tubuh, dan etnis. Panggung bagi para pelaku mermaiding juga makin luas seiring dengan perkembangan internet dan pertumbuhan jumlah penggunanya.

Salah satu nama putri duyung dunia nyata yang mencuat di platform Youtube adalah Mermaid Melissa. Dengan video-video yang kerap kali disertai narasi menarik, secara akumulatif video-video di kanalnya telah mengumpulkan lebih dari 500 juta views.

Dan tak sekadar pertunjukan, Mermaid Melissa juga menggunakan platformnya untuk menyampaikan ajakan dan pesan positif, seperti: "Mari menyelamatkan samudera sebelum seluruh makhluknya menjadi makhluk mitos."

Infografik Mermaiding

Infografik Mermaiding. tirto.id/Sabit

Menjembatani Fantasi dan Realitas

Makhluk mitos seperti siren yang digambarkan serupa putri duyung kerap ditampilkan memikat para pelaut untuk menyelam mengikuti mereka, untuk kemudian tak pernah kembali ke daratan. Pelaut dan bajak laut masa lampau juga percaya bahwa penampakan putri duyung adalah tengara nasib buruk.

Kini di masa yang lebih maju, putri duyung dan aksi mermaiding bisa dibilang menjadi jembatan antara fantasi dan realitas. Anak-anak berderet mengantre demi mendapatkan foto bersama para putri duyung atau bahkan belajar mengenai mermaiding.

Berawal dari fantasi, mermaiding juga bisa menjadi pintu masuk edukasi. Pasalnya selain sebagai pekerjaan dan hobi, para penggiat mermaiding juga memanfaatkan kesempatan untuk mengadvokasi isu lingkungan, terutama soal samudera. Tak sedikit pula putri duyung profesional yang bekerja dengan organisasi lingkungan atau organisasi self-help.

Mermaiding pun lebih inklusif. Ia tak selalu diikuti mereka yang ingin menjadi mermaid atau perempuan saja, tapi juga merman.

Chris O'Brocki, seorang merman profesional, mengatakan bahwa dirinya kerap diperlakukan dengan buruk semasa sekolah lantaran kecintaannya pada samudera dan merfolk—sangat mungkin disebabkan oleh citra merman yang dinilai kurang maskulin. Ketika O'Brocki akhirnya memutuskan untuk menjadi merman profesional, dia pun ingin menjadikan mermaiding sebagai "tempat aman pula bagi laki-laki lain."

Bahwa menurut sang merman, kau tak perlu takut untuk mengejar mimpi yang fantastis sekalipun, dan menjadi dirimu sendiri. Dia lantas mengutip Dory dari Finding Nemo, "just keep swimming, just keep swimming."

Baca juga artikel terkait PROFESIONAL atau tulisan lainnya dari R. A. Benjamin

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi