tirto.id - Pemandangan di mana orang tua menggunakan ponsel sebagai obat penenang untuk anak-anak mereka seolah jadi hal yang lazim kini. Ketimbang si kecil tantrum atau terus merengek, memang tampak jauh lebih efisien membiarkan mereka terpaku memainkan gim-gim di ponsel, menonton Youtube atau Tiktok. Jauh "lebih baik" daripada mengganggu waktu-waktu istirahat, kerja-kerja rumahan, dan urusan orang tua yang melelahkan lainnya.
Di masa sebelum ponsel umum digunakan, para orang tua lazimnya memberikan obat penenang lain lagi, yaitu mainan atau jajanan manis. Cara lainnya? Menakut-nakuti. "Kalau nakal ditangkap pak polisi!", "jangan nangis, ntar dimarahi om itu!" (seraya menunjuk ke arah orang sekitar yang paling mendekati definisi "seram").
Atau bisa juga menghadirkan sosok menakutkan lainnya yang tak kalah efektif: hantu. Selamanya, itu bakal tertanam pada benak anak-anak, kendati mereka kelak tumbuh tanpa rengekan, tanpa percaya tuhan atau hal-hal gaib.
Sejauh ini, manusia merupakan satu-satunya spesies yang punya kemampuan mengarang dan memercayai cerita-cerita. Bagi para bocah yang belum begitu mengenal konsep waktu dan betapa mengikatnya ia—bahwa dunia ini bukan tempat bermain belaka, di sudut-sudut gelapnya ada sesuatu yang siap menghadirkan konsekuensi atas kelakuan mereka. Di kepala-kepala kecil itu, muncul ancaman bakal diculik atau dimakan hantu. Menakut-nakuti anak kecil pun bagai jadi salah satu "formula universal" yang mengiringi kemunculan makhluk-makhluk mitos.
Di Islandia, sejumlah makhluk mitos muncul—atau dimunculkan—sejak beberapa abad silam dengan motif utama serupa: menghukum anak-anak nakal.
Grýla dan Jólasveinar
Grýla telah dimunculkan dalam kompilasi mitologi Skandinavia Prose Edda sejak abad 13. Ia disebut sebagai raksasa perempuan yang menjijikkan. Dalam versi lain, Grýla adalah sesosok troll. Sementara itu, puisi paling awal soal makhluk ini menyebutnya sebagai pengemis.
Seturut legendanya, Grýla meminta-minta kepada para orang tua untuk memberikan dia anak-anak mereka yang tak patuh. Versi ini terdengar lebih realistis sekaligus memaparkan adanya kekeliruan mengerikan pada kehidupan sosial, pada realitas. Pada akhirnya, Grýla disebut bisa diusir dengan memberikan ia makanan atau dengan cara digebah.
Apa pun wujudnya, Grýla disebut telah menikah sebanyak tiga kali. Bersama suami ketiganya, Leppalúði (dieja Leh-pa-lu-di) yang bukan main pemalas, ia disebut diusir dari kota dan akhirnya tinggal di medan lava Dimmuborgir di Islandia.
Buah cinta Grýla dan Leppalúði itu berwujud 13 belas anak yang hobinya nge-prank, yang disebut Jólasveinar (Yule Lads/Yulemen), atau anak-anak Yule. Yule, sederhananya berarti perayaan kaum pagan yang bertepatan dengan musim Natal.
Beberapa sumber mengatakan kalau Jólasveinar bukanlah anak-anak Grýla, melainkan saudara-saudaranya. Sementara cerita lain mendeskripsikan Jólasveinar berjumlah sembilan sosok saja. Yang sama dari semua versi itu adalah kegemaran mereka nge-prank dan bahwa masing-masing dari 13 makhluk itu punya karakteristik jahil yang berbeda.
Beberapa di antaranya suka mencuri, sementara sisanya fokus pada mengganggu dan upaya tipu-tipu. Ambil contoh Skyrgámur yang bakal menghabiskan yogurt Islandia (skyr) di rumahmu atau Þvörusleikir yang kurus dan doyan menjilati sendok kayu.
Kendati makhluk seperti Grýla telah dihadirkan sejak abad ke-13, tetapi koneksinya dengan Natal baru muncul pada abad ke-17. Selama masa Natal, Grýla disebut akan turun dari guanya di pegunungan menuju kota-kota untuk mencari bahan makanan. Masakan favoritnya tiada bukan, rebusan anak-anak nakal.
Jika kultur dan bangsa lain punya Sinterklaas atau Santa Claus, di Islandia, Jólasveinar-lah yang bakal menyatroni anak-anak pada saat Natal—terutama anak-anak nakal. Satu-persatu anak Grýla itu akan muncul, dimulai dari Stekkjarstaur pada 12 Desember hingga diakhiri Kertasníkir pada 24 Desember.
Nama-nama Yule Lads dibikin sesuai karakteristik mereka. Kertasníkir, misalnya, secara harfiah berarti “pencuri-lilin”, sesuai dengan kegemarannya mencuri lilin dari anak-anak pada malam Natal. Nama untuk masing-masing Jólasveinar sebetulnya telah muncul dalam berbagai kisah rakyat. Hingga akhirnya puisi bertarikh 1932 yang diguratkan penyair populer Islandia Jóhannes úr Kötlum dijadikan patokan untuk menamai 13 Jólasveinar.
Jólakötturinn, Bukan Kucing Biasa
Di samping Grýla dan Yule Lads, ada makhluk lain lagi yang bisa dibilang lebih menakutkan, yaitu Jólakötturinn atau Yule Cat. Ia adalah hewan piaraan Grýla yang digambarkan sebagai kucing raksasa nan jahat. Penggambarannya disebut telah muncul pada Era Kegelapan (Dark Ages) di Eropa, kendati catatan tertulis soal makhluk ini baru muncul pada abad 19.
Jika sang majikan menjadikan anak-anak nakal sebagai buruan atau target operasi, Jólakötturinn punya target yang unik dan lebih spesifik: memangsa manusia yang tidak mendapatkan pakaian baru untuk dikenakan pada Malam Natal.
Cerita Jólakötturinn barangkali terdengar seperti kisah babi ngepet yang berangkat dari motif sosio-ekonomi atau tudingan vampirisme Elizabeth Bathory yang dianggap bermuatan politis. Bedanya, Jólakötturinn seolah dihadirkan agar orang-orang mau memborong pakaian baru pada Malam Natal. Katakanlah, hantu konsumerisme.
Kenyataannya, di Islandia abad pertengahan, majikan bakal menghadiahi karyawan dan keluarga mereka dengan pakaian dan sepatu baru. Kado-kado itu diberikan sebagai hadiah atas kerja keras selama setahun sekaligus sebagai motivasi untuk menyelesaikan pekerjaan sebelum Natal—khususnya memproses wol musim gugur. Singkatnya, Jólakötturinn digunakan sebagai motivasi (atau ancaman) yang berujung insentif agar para pekerja bekerja keras.
Seperti kisah-kisah rakyat atau kisah anak-anak, ceritaJólakötturinn juga punya pesan moral. KisahJólakötturinn barangkali punya pesan agar kita tak membiarkan kaum kurang beruntung tidak memiliki pakaian baru di hari-hari raya. Kisah makhluk-makhluk mitos ini pun bisa difungsikan sebagai metafora sulitnya bertahan pada kerasnya musim dingin.
Yang pasti, kisah-kisah makhluk rekaan untuk menakut-nakuti anak-anak itu juga bisa kelewat liar. Karena itu, pada 1746, otoritas Islandia sempat pula menerbitkan dekret yang melarang para orang tua menyiksa anak-anak mereka dengan kisah-kisah monster semacam Jólasveinar.
Jika orang-orang Islandia pada abad ke-18 telah menyadari bahwa anak-anak sebaiknya tidak ditakut-takuti dengan kisah horor, hantu, dan monster, para orang tua masa kini tentu ada baiknyajuga tidak melakukannya. Lagipula yang lebih urgen pada hari-hari ini adalah memberi hukuman yang lebih efektif untuk orang-orang dewasa yang nakal, yang jahat. Hukuman dalam wujud yang lebih nyata ketimbang Grýla atau Jólakötturinn.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi