Menuju konten utama

Mereka yang Menuntut Pembebasan Juru Bicara KNPB Victor Yeimo

Penangkapan Viktor Yeimo dianggap tidak tepat baik dalam hal prosedur maupun substansi. Tuntutan pembebasan pun muncul dari banyak pihak.

Mereka yang Menuntut Pembebasan Juru Bicara KNPB Victor Yeimo
Puluhan mahasiswa asal Papua menggelar aksi di depan Istana Negara, Jakarta, Rabu (28/8/2019). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Viktor Frederik Yeimo (37), Juru Bicara Internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB), sebuah organisasi politik yang dibentuk pada 1961 dengan nama Komite Nasional Papua, ditangkap Satgas Nemangkawi pada 9 Mei 2021 pukul 19.15 di sebuah kios di Tanah Hitam, Distrik Abepura, Kota Jayapura. Viktor telah terdaftar sebagai buron berdasarkan daftar pencarian orang Nomor: DPO/22/IX/RES.1.24/2019/Ditreskrimum bertanggal 9 September 2019.

Semua perbuatannya dianggap mengakibatkan kerusuhan di Papua dua tahun silam. Kala itu Bumi Cenderawasih bergejolak karena dipicu aksi rasisme yang menimpa mahasiswa Papua di Surabaya.

Ia dianggap bertanggung jawab atas beberapa perkara, yakni: kejahatan keamanan negara atau makar dan/atau menyiarkan suatu pemberitahuan yang dapat menimbulkan keonaran di kalangan masyarakat dan/atau menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau tidak lengkap dan atau penghinaan terhadap bendera, bahasa, lambang negara serta lagu kebangsaan.

Kemudian penghasutan untuk melakukan suatu kejahatan dan atau pembakaran dan/atau pencurian dengan kekerasan dan atau/bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang/barang dan/atau membawa senjata tajam tanpa izin.

Viktor dipersangkakan Pasal 106 juncto Pasal 87 KUHP dan/atau Pasal 110 KUHP dan/atau Pasal 14 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dan/atau Pasal 66 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 dan/atau Pasal 160 KUHP dan/atau Pasal 187 KUHP dan/atau Pasal 365 KUHP dan/atau Pasal 170 ayat (1) KUHP dan/atau Pasal 2 Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 juncto Pasal 64 KUHP. Kini Viktor ditahan di Rutan Mako Brimob Polda Papua.

“Proses penyidikan dilakukan oleh Polda Papua, proses masih berjalan,” Kasatgas Humas Operasi Nemangkawi Kombes Pol Iqbal Alqudusy menjelaskan perkembangan kasus Viktor kepada reporter Tirto, Selasa (18/5/2021).

Penangkapan ini diprotes banyak kalangan. Kuasa hukum Viktor, Emanuel Gobay, misalnya, mengatakan penangkapan tidak sesuai prosedur karena tak disertai surat penangkapan--yang itu menyalahi hukum acara pidana. Surat penangkapan dan penahanan baru diterima pukul 18.00 satu hari setelah Viktor diringkus. Surat itu diserahkan di ruang penyidik Provos Mako Brimob Polda Papua.

Ketika pemeriksaan pun Viktor tidak didampingi tim pengacara, padahal semestinya berhak. Viktor diperiksa pada 10 Mei pukul 14.20 hingga 22.40. Dalam kesempatan itu penyidik melontarkan 29 pertanyaan perihal aksi antirasisme.

Ketika diperiksa, Viktor mengklaim bahwa “kegiatan demonstrasi pada 19 Agustus 2019 bertujuan untuk mengaspirasikan penentangan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Massa ingin agar pelaku rasisme ditangkap,” kata Emanuel kepada reporter Tirto, Selasa.

Saat itu massa dari berbagai elemen yang turun ke jalan. Majelis Rakyat Papua (MRP), Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), dan Gubernur Papua bahkan juga bergantian berorasi di halaman kantor gubernur.

Viktor tak tahu apakah demonstrasi saat itu telah mengantongi izin atau tidak dari aparat. Ia juga tak tahu apakah ada konsolidasi pra-aksi. Dalam kesempatan itu dia hanya berstatus peserta demo. “Kapasitas saya sebagai peserta dalam kegiatan aksi demo rasisme pada 19 Agustus 2019 dan dalam aksi tersebut saya tidak mewakili organisasi KNPB,” katanya seperti ditirukan kuasa hukum.

Menurut Emanuel, aksi kala itu berlangsung damai, nihil massa yang merusak fasilitas umum apalagi menganiaya aparat.

Atas dasar itu semua menurutnya Viktor mengalami perlakuan diskriminatif. “Bagaimana penegakan hukum terhadap pelaku rasisme? Apakah penegakannya menggunakan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 [tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis]? Sementara para pejuang anti rasisme di Papua masih terus dikriminalisasi dengan pasal makar, sebagaimana yang dialami oleh Viktor Yeimo saat ini,” kata dia.

Menurut Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara, dalam standar hak asasi manusia, seseorang tidak layak dipidana kalau tidak berniat untuk menghasut, melakukan tindakan diskriminasi, permusuhan, dan kekerasan.

Alasan Viktor ditangkap bisa jadi sebagai upaya preventif dari aparat agar isu Papua tidak terus bergaung di dunia internasional. “Kenapa ditangkap? Agar tidak punya komunikasi dengan internasional, sebab Viktor sebagai jubir (KNPB). Jadi dia tidak bisa memberitakan dan bisa diredam,” kata Adriana Elisabeth, salah satu penulis buku Papua Road Map dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ketika dihubungi reporter Tirto, Selasa.

Namun menurutnya penangkapan ini, bahkan dari sudut pandang aparat, “tidak membantu, bahkan memperuncing konflik sebelumnya.” Masyarakat Papua menurutnya semakin tak percaya dengan aparat karena penangkapan ini. Selain itu kekerasan di era Presiden Joko Widodo juga meningkat, bahkan baru-baru ini kelompok bersenjata di Papua diberi label teroris--yang dianggap tidak tepat.

Hal serupa dikatakan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Papua Sam Awom. Menurutnya penangkapan Viktor mengungkit kembali publik soal perlakuan rasis yang menimpa rakyat Papua dan karenanya wajar jika mereka menentang penangkapan tersebut.

“Viktor Yeimo sebagai pejuang HAM dan demokrasi, dia mendorong rekonsiliasi perdamaian di Papua. Penangkapannya justru akan menimbulkan konflik baru,” tutur Sam kepada reporter Tirto, Selasa.

“Penting untuk membebaskan Viktor untuk mencari solusi perdamaian konflik Papua,” tambahnya.

Pembebasan tanpa syarat terhadap Viktor menurutnya penting karena apa yang menimpanya adalah pelanggaran kebebasan berekspresi dan penghalang suatu solusi damai masalah Papua. Pemerintah Indonesia menurutnya wajib mampu membedakan kekerasan bersenjata dengan ekspresi politik damai.

Organisasi hak asasi manusia TAPOL dan pengacara Veronica Koman juga mendesak pembebasan tanpa syarat. Mereka telah mengirim surat resmi kepada Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

The Pacific Conference of Churches, yang mewakili gereja-gereja Kristen di wilayah Pasifik, juga mendesak pembebasan Viktor dan telah bersurat kepada Kapolda Papua. Presiden Persekutuan Gereja-Gereja Baptis West Papua Socratez S Yoman mengatakan kepada reporter Tirto bahwa surat tersebut adalah bentuk “solidaritas sebagai satu rumpun Melanesia.”

“Kemanusiaan tidak dibatasi dengan dimensi ruang dan waktu serta peraturan negara,” tambahnya.

Baca juga artikel terkait VIKTOR YEIMO atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika & Riyan Setiawan
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino