tirto.id - Langkah Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni merebut kursi DKI 1 kandas sudah. Rabu (15/2) malam, Agus dengan mata berkaca-kaca mengakui kekalahannya. “Secara kesatria dan lapang dada saya menerima kekalahan saya dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta,” kata Agus di markas pemenangan Wisma Proklamasi 41, Jakarta Pusat.
Kekalahan Agus cukup mengejutkan. Meraih dukungan empat partai politik ternyata tidak membuat elektabilitasnya melejit. Agus-Sylvi tumbang di palagan pertama oleh Basuki Tjaha Purnama-Djarot Saiful Hidayat dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
Di atas kertas, dukungan Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangun—kerap disebut Koalisi Cikeas—terbilang signifikan.
Hasil Pemilu Legislatif DPRD DKI Jakarta 2014 menunjukkan gabungan empat partai menghasilkan 1.246.096 suara. Dengan rincian: Demokrat 360.929 suara (10 kursi), PPP 452.224 suara (10 kursi), PKB 260.159 (6 kursi), dan PAN 172.784 (2 kursi). Namun, mengutip Kanselir Pertama Jerman Oto von Bismarck, “Politics is the art of the possible”.
Hitungan kertas tak melulu selaras realitas di lapangan. Hasil hitung KPU menyatakan perolehan suara Agus-Sylvi cuma 917.457 suara atau 17,02 persen, Ahok-Djarot 2.315.372 suara (42,96 persen), dan Anies-Sandi 2.156.429 suara (40,01 persen).
Mogoknya Mesin Partai
Melorotnya suara Agus-Sylvi cermin ketidaksolidan partai pengusung mereka. Koalisi Cikeas gagal mengkapitalisasi suara pemilih. Ketidaksolidan itu mulai terbaca dari absennya para ketua umum dalam pelbagai kampanye yang digelar Agus-Sylvi. Hanya Ketum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono yang selalu tampak hadir dalam kampanye terbuka Agus-Sylvi. Itu pun mungkin karena memang Agus adalah anaknya.
Ketidakhadiran Ketum PKB Muhaimin Iskandar, Ketum PPP M Rommahurmuziy, dan Ketum PAN Zulkifli Hasan dalam kampanye Agus berbeda dengan pernyataan mereka setelah deklarasi pencalonan Agus-Sylvi pada 23 September 2016.
Muhaimin, misalnya, pernah menyatakan akan turun langsung menjadi juru kampanye Agus-Sylvi. “Kami semua akan turun jadi juru kampanye. Empat bulan ini pengurus PKB dan anggota DPR dari PKB akan turun,” kata pria yang akrab disapa Cak Imin ini.
Janji nyaris senada disampaikan Zulkifli. Ia meminta kadernya bekerja keras memenangkan Agus-Sylvi. “Kami akan melakukan pendekatan kepada Ketua RT/RW, tokoh masyarakat yang ada di Jakarta. Bila perlu setiap kecamatan kami datangi pagi, siang, dan malam,” ujar Zulkifli saat rapat konsolidasi bersama pengurus DPW PAN Jakarta.
Mogoknya mesin partai pendukung Agus-Sylvi bisa disebabkan sejumlah faktor. Pertama, Agus-Sylvi tidak memiliki kedekatan emosional dengan massa pendukung PPP, PKB, dan PAN. Keduanya bukan kader di ketiga partai tersebut. Agus sebelumnya lebih aktif di dunia militer. Sementara Sylvi adalah birokrat tulen di jajaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Faktor kedua, yang membuat partai pendukung Agus-Sylvi ogah-ogahan turun ke lapangan, adalah komposisi tim pemenangan yang didominasi oleh kader Demokrat dan orang dekat Yudhoyono. Nyaris semua posisi kunci dalam tim pemenangan dipegang kader Demokrat.
“Partai kurang maksimal digerakkan. Strategi juga lebih diatur langsung dari teman-teman Partai Demokrat,” kata Wakil Ketum PPP Arwani Thomafi.
Namun, efek elektoral yang kurang mumpuni dari “Koalisi Cikeas” bukan berarti kartu mati. Sebaliknya dukungan partai-partai itu justru jadi rebutan. Mereka dianggap bakal jadi kunci kemenangan Ahok-Djarot dan Anies-Sandi di palagan hidup mati selanjutnya.
Keluhan Megawati
Dukungan PPP, PKB, dan PAN di Pilkada DKI Jakarta kepada Agus-Sylvi sebenarnya sempat dipersoalkan Ketum PDIP Megawati Sukarnoputri. Senin, 21 November 2016, sesudah santap siang bersama Presiden Jokowi, Mega mengatakan mestinya partai-partai yang tergabung dalam pemerintahan satu suara dalam Pilkada. Seperti halnya Golkar dan PDIP yang mendukung Ahok-Djarot.
Pernyataan Mega ini tidak bisa dipandang sembarangan. PDIP ialah partai pengusung utama Jokowi-JK sekaligus pemilik kursi terbanyak di DPR. Partai berlambang banteng ini menjadi kunci stabilitas dan efektifitas Kabinet Kerja Jokowi-JK. Suara Mega, suka tidak suka, akan berpengaruh terhadap keputusan Jokowi yang juga petugas partainya.
Apalagi Jokowi memiliki kedekatan emosional dan politis dengan Ahok-Djarot. Ahok pernah menjadi wakil gubernurnya saat memimpin Jakarta. Sedangkan Djarot adalah kader PDIP yang turut membantunya memenangkan Pilpres 2014. Ketika itu Djarot masuk dalam tim saksi pemenangan Jokowi-JK.
Simalakama Putaran Kedua
Bagi PKB, PAN, dan PPP, mendukung atau tidak mendukung jagoan PDIP di putaran kedua jelas tidak segampang Demokrat. Ada risiko politik yang mungkin akan mereka hadapi. Dalam komposisi Kabinet Kerja saat ini, PKB, PAN, dan PPP sama-sama memiliki jatah kursi menteri.
Kursi menteri PKB berjumlah tiga. Tersebar di Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Kementerian Pemuda dan Olahraga, serta Kementerian Tenaga Kerja. PAN mendapat jatah satu kursi di Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi. Sedangkan PPP mendapat jatah di Kementerian Agama.
Dalam konteks itu, sikap mbalelo PKB, PAN, dan PPP yang tidak mendukung Ahok-Djarot bisa diterjemahkan sebagai ketidaksolidan koalisi pemerintah. Bukan tidak mungkin PKB akan kehilangan jatah kursi menterinya. Sementara PAN dan PPP yang notabene tidak ikut berkeringat memenangkan Jokowi di Pilpres 2014 bisa bernasib lebih. Terlempar dari pemerintahan.
Di saat yang sama, mendukung Ahok-Djarot juga bukan pilihan mudah. Basis suara ketiga partai di akar rumput menunjukkan tanda ketidaksukaan terhadap Ahok. Ini bisa terlihat dari sikap PBNU dan PP Muhammadiyah di sepanjang putaran pertama Pilkada DKI Jakarta.
PBNU sebagai organisasi yang menaungi warga nahdliyin dan basis kultural PKB dan PPP misalnya, tidak pernah tegas melarang warganya mengikuti Aksi 411 dan Aksi 212 yang membawa semangat anti-Ahok.
Hubungan Ahok dengan nahdliyin bahkan sempat memanas ketika Ahok menyatakan, dengan nada mengancam, kepada Rais Aam PBNU Kiai Ma’ruf Amin dalam sidang kasus penistaan agama. Gara-gara ini PWNU DKI sempat menyatakan maklumat agar warga nahdliyin tidak mendukung Ahok.
Begitu pula Muhammadiyah. Sejumlah tokohnya seperti Din Syamsuddin, Amien Rais, dan Ketua Umum Haedar Nasir kerap tampil—langsung maupun tidak langsung—mendukung aksi anti-Ahok. Bahkan PP Pemuda Muhammadiyah ikut melaporkan Ahok ke polisi atas dugaan menghina Al-Maidah 51.
Dalam suasana yang diliputi sentimen keagamaan dan kekhawatiran kehilangan pendukung di akar rumput semacam itu, mendukung Anies-Sandi bisa menjadi pilihan logis bagi PAN, PKB, dan PPP.
Sikap Partai dan Relawan
Ketua DPP PKB Lukman Edy mengakui keberadaan partainya di kabinet menjadi pertimbangan utama dalam menentukan dukungan di Pilkada DKI. Artinya PKB mendengar masukan dari mitra koalisi Golkar dan PDIP selaku pendukung Ahok-Djarot. Meski begitu, PKB juga membuka kemungkinan mendukung Anies-Sandi, berdasarkan permintaan koalisi partai pendukung Agus Sylvi.
Lukman tidak melihat adanya persoalan ideologi di kubu partai pendukung Ahok-Djarot maupun Anies-Sandi. Menurutnya ideologi partai saat ini sangat cair. “Semua nasionalis. Semua agamis,” katanya.
Wakil Sekjen DPP PKB Daniel Johan mengatakan sampai saat ini partainya belum menentukan sikap ke mana PKB akan mengarahkan dukungan di Pilkada DKI putaran kedua. Ia beralasan, PKB masih menunggu hasil hitung resmi KPU DKI.
“PKB akan mendengar masukan kiai NU, basis pendukung atau struktur,” ujarnya saat dihubungi reporter Tirto.
Daniel berkata hasil hitung cepat Pilkada DKI cukup mengejutkan. Sebab, jelang hari pencoblosan, PKB masih yakin pasangan Agus-Sylvi menang. Atau, setidaknya lolos ke putaran kedua. “Dari respons masyarakat, kami yakin Agus masuk putaran kedua,” ujarnya.
Wakil Ketum DPP Partai Demokrat Roy Suryo mengatakan partainya masih berkonsolidasi terkait sikap politik di Pilkada putaran kedua. Ia membantah tim pemenangan Agus-Sylvi telah menentukan dukungan ke salah satu pasangan calon.
Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga ini menyatakan Agus-Sylvi takkan buru-buru menentukan pilihan dukungan. “Kami sedang konsolidasi ke dalam apa yang sebaiknya dilakukan. Sambil menunggu hasil resmi perhitungan manual KPU,” katanya.
Hingga saat ini Demokrat masih melakukan "komunikasi politik" dengan tiga partai pendukung Agus-Sylvi: PKB, PPP, PAN. Roy berharap ketiga partai itu tetap solid dalam koalisi. Namun, ia tetap menghormati seandainya ada partai yang telah menentukan sikap di Pilkada putaran kedua. “Kami akan bertemu dengan ketum-ketum partai tapi waktunya belum ditentukan,” ujar Roy.
Berbeda dengan PKB dan Demokrat yang terkesan masih mengambang, PAN sudah lebih tegas menentukan pilihan. Ketua DPP PAN Yandri Susanto memastikan partainya akan mendukung Anies-Sandi. “Nomor tiga. Insyaallah pasti,” ujarnya.
Sejak awal, PAN tidak pernah berminat mendukung Ahok. Bahkan sebelum Pilkada digelar, kata Yandri, PAN sudah berusah mencari penantang Ahok. “Makanya dulu waktu partai ramai-ramai dukung Ahok, PAN mencari alternatif penantang Ahok,” ucapnya.
Yandri menjanjikan PAN akan berusaha memenangkan Anies-Sandi, sembari berharap sikap politik PAN diikuti pula oleh para pendukung Agus-Sylvi.
Munahar Muchtar, Wakil Ketua Tanfidziah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta, mengatakan organisasinya tidak akan berpatron ke salah satu partai. Ini terbukti dari sebaran pengurus di berbagai partai. “Pengurus ada di PKB, PDIP, PPP, dan Golkar,” contoh Munahar kepada reporter Tirto.
Namun, Munahar mengakui sebagian besar pengurus NU DKI di putaran pertama memang mendukung Agus-Sylvi. “Untuk Agus sebetulnya tidak semua. Tapi sebagian besar ke Mas Agus. Mungkin ada juga ke nomor dua,” katanya.
Secara pribadi Munahar mengatakan bahwa "seorang Muslim seyogyanya mendukung calon pemimpin Muslim."
“Kami orang Islam harus berjuang untuk Islam sendiri. Kami berharap warga nahdliyin bersatu-berjuang bersama,” ujarnya.
Nia Dahliani, Koordinator Wilayah Agus Fans Club (AFC) Jakarta Pusat, mengingatkan sikap partai “Koalisi Cikeas” maupun Agus di Pilkada putaran kedua tidak serta merta menarik dukungan mereka. Sebab, selama ini AFC bekerja secara swadaya karena faktor kefiguran Agus.
“Kalau Agus dukung figur yang enggak tune in sama dia, belum tentu gue dukung,” ujarnya.
Hingga saat ini relawan AFC masih solid berkomunikasi. Di Jakarta Pusat, anggota AFC tersebar merata di 44 kelurahan. Di setiap kelurahan setidaknya ada 10 anggota. Jumlah ini menurutnya tidak bisa dipandang remeh. Sebab merekalah yang akan menjadi salah satu kunci peraih kursi DKI 1 yang gagal direbut Agus-Sylvi.
"Jangan remehkan relawan Agus karena suara 18 persen mereka adalah penentu kemenangan di putaran kedua,” kata Nia.
Penulis: Jay Akbar
Editor: Fahri Salam