tirto.id - Segera setelah Agus Harimurti Yudhoyono menuju mikrofon, mengatur gagang tripod agar pas dekat bibirnya, para pendukung yang sedari tadi menunggu langsung meneriakkan yel-yel "Agus presiden" sebanyak delapan kali. Kedua sudut mata sang kandidat yang kalah itu kemudian mengedarkan pandangan hampa. Di hadapan para wartawan di pelataran Wisma Proklamasi 41, Agus mengucapkan terimakasih.
Dalam 12 menit berikutnya, dipandu oleh secarik kertas putih yang ia pegang di bawah mikrofon, suaranya meluncur bak metronom. Tempo yang tepat, terjaga, memompa semangat, lalu di menit ketiga ia mengakui kekalahan.
Didampingi istrinya Annisa Pohan di samping kanan, dan pasangan cagub Sylviana Murni di sebelah kiri, juga para pengurus partai berlambang mercy termasuk adiknya Ibas Yudhoyono, Agus terlihat menampilkan diri sebagai "kesatria", yang sedikit-banyak menarik pujian dari mereka: Orang-orang yang memandangnya sebagai wayang dari bapaknya. Para relawan sesekali menginterupsinya lewat tepukan tangan dan teriakan bangga.
Kita melihat Agus dengan ucapannya yang tertata, kendati masih kaku, tetapi begitulah panggung untuknya: resmi, sebisanya hindari sentuhan yang serba mendadak dan responsif, persis sebagaimana pendidikan militer membentuknya. Ia kewalahan dalam tiga debat; ia selalu mengulangi frasa yang sama ketika kesulitan menjawab pertanyaan warga dan wartawan di masa kampanye; ia limbung di sebuah pemilihan gubernur Jakarta yang paling sengit dan hanya bisa ditandingi oleh pemilihan presiden 2014 lalu.
Pernyataan kekalahan di Wisma Proklamasi itu agak mengalihkan perhatian Pilkada Jakarta kepada dirinya. Ia menggenapkan prediksi dari sejumlah lembaga jajak pendapat menjelang hari pencoblosan. Agus kalah dalam sebuah drama: semula kecakapannya untuk dipilih para elektorat bisa mengimbangi dua kandidat lain; tetapi, mendekati hari raya pemungutan, suaranya menukik tajam dan terjerembab. Agus dan Sylviana hanya mendapatkan suara kurang dari 20 persen.
Orang Spanyol bilang: por qué—mengapa?
Cuitan SBY dan Potensi Suara yang Hilang
Kekalahan Agus bisa dilihat menjelang kampanye berakhir. Sepanjang Januari 2017, elektabilitas pasangan Agus-Sylvi terus menurun. Dari survei terbaru oleh Litbang Kompas selama 24 Januari hingga 4 Februari 2017, kemampuan mereka untuk dipilih mengalami penurunan signifikan.
Hasil survei Harian Kompas itu dipublikasi enam hari sebelum pencoblosan. Agus-Sylvi hanya mendapatkan 28,2 persen. Padahal dari survei yang sama sebelumnya, 7-15 Desember 2016, kandidat ini meraup 37,1 persen.
Dalam survei Lingkaran Survei Indonesia-nya Denny JA, 17 Januari, pasangan Agus-Sylvi menduduki posisi teratas, 36,70 persen. Itu sama tingginya dari hasil survei Poltracking, sebesar 30,25 persen, yang dirilis pada 19 Januari. Di hari yang sama PolMark juga merilis yang menempatkan suara Agus sebesar 23,9 persen.
Elektabilitas Agus-Sylvi pada pertengahan Januari cenderung stabil, jika dilihat dari tiga lembaga itu. Namun, sejak ayahnya, Susilo Bambang Yudhoyono mencuit di Twitter, suara pada anaknya terus merosot. Setidaknya itu bisa dilihat dari hasil survei Litbang Harian Kompas, yang menempatkan pasangan Agus-Sylvi paling buncit.
Siti Zuhro, peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, mengatakan hal serupa. Ia berpendapat, sebagai pendatang baru dalam perpolitikan Tanah Air, tingginya elektabilitas Agus di beberapa lembaga survei membawa keunikan tersendiri. Namun, "faktor Yudhoyono" memicu elektabilitasnya menurun dan berimbas pada hari pencoblosan. Di lain hal, kasus dugaan korupsi yang menyeret nama Sylviana juga jadi faktor suara mereka jeblok.
Zuhro menegaskan, sebetulnya Agus memiliki potensi untuk memenangkan Pilkada DKI Jakarta, tetapi sekali lagi pengaruh Yudhoyono tak bisa dilepaskan dari turunnya suara Agus.
“Lepas dari dia tidak pernah jadi kepala daerah. Dulu Pak Jokowi juga begitu. Tapi karena ada pengaruh dari SBY, kemungkinan suaranya jadi mengecil,” ujar Zuhro.
Digoyang Nyanyian Antasari
Figur Yudhoyono di balik pasangan Agus-Sylvi, kata Siti Zuhro, tergerus saat Antasari Azhar bernyanyi bahwa nama SBY terkait dalam kriminalisasi kasus dirinya.
Antasari—kala itu melapor ke Bareskrim Mabes Polri untuk menanyakan kriminalisasi kasus yang membuatnya mendekam di penjara selama 8 tahun—menyebut nama Yudhoyono sebagai otak di balik kasusnya. Sebab sebelum ia ditangkap, kata Antasari, Yudhoyono menyuruh Hary Tanoesoedibjo, pengusaha media dan pendiri Partai Perindo, buat memintanya untuk tidak menahan Aulia Pohan, orangtua Annisa Pohan, istri Agus.
Perseteruan antara Antasari Azhar dan Susilo Bambang Yudhoyono bisa dibaca dalam laporan khusus Tirto tentang Peluru Antasari Azhar di Pilkada DKI JakartaPada hari pencoblosan, pasangan Agus-Sylvi kalah di tempat pemungutan suara masing-masing. Dalam pemantauan reporter Tirto di tempat Agus mencoblos, yakni TPS 06 Jalan Cibeber I, Kebayoran Baru, pensiunan tentara ini kalah. Dari hasil penghitungan suara, Agus-Sylvi hanya memperoleh 127 suara. Ia dikalahkan oleh pasangan Ahok-Djarot yang mendapatkan 286 suara.
Suara di TPS 103 Komplek Billymoon, Pondok Kelapa, Duren Sawit, tempat Sylviana mencoblos juga memenangkan Ahok-Djarot. Agus-Sylvi hanya memperoleh 88 suara sementara paslon nomor dua meraup 248 suara.
Menanggapi pidato kekalahan pasangan Agus-Sylvi, Sekjen Partai Demokrat Hinca Panjaitan tak mau banyak komentar. Dia cuma mengatakan Partai Demokrat maupun partai pendukung Agus-Sylvi menerima kekalahan tersebut.
“Seorang calon pemimpin besar begitu legowo. Dan orang-orang Demokrat legowo, lho. Pak SBY kemarin legowo, padahal belum 24 jam,” kata Hinca.
“Dari partai pengusung baik-baik saja. Justru sama-sama saling legowo,” ia menambahkan.
Pidato Kekalahan Agus di Proklamasi
Kekalahan Agus-Sylvi sudah terlihat sejak penghitungan cepat dimulai sesudah pukul 12.00. Di Wisma Proklamasi 41, basis tim pemenangan Agus-Sylvi, terlihat sepi, sekalipun mereka sudah menjanjikan akan menonton bersama hasil Pilkada. Acara itu dibatalkan. Ketika Sylviana tiba pukul 2 siang, wakil gubernur bidang kebudayaan dan pariwisata Jakarta itu menolak komentar saat didekati para wartawan dan segera memasuki Wisma. Hingga pukul 4 sore, baik Yudhoyono maupun Agus tak menampakkan diri.
Beberapa pengurus Partai Demokrat mulai berdatangan ke Wisma, termasuk Wakil Ketum Demokrat Syarief Hasan, Wakil Ketua DPR Agus Hermanto, dan Ketua Komisi IX Dede Yusuf. Hingga konferensi pers digelar, reporter Tirto tidak melihat kader partai koalisi pengusung Agus-Sylvi dari Partai Persatuan pembangunan, Partai Amanat Nasional, dan Partai Kebangkitan Bangsa.
Wisma Proklamasi mulai ramai sesudah pesan WhatsApp beredar di kalangan para wartawan bahwa Agus, bersama para petinggi Demokrat, bakal menggelar jumpa pers pada pukul 7 malam. Acara itu molor dan baru digelar dua jam kemudian. Yudhoyono sendiri datang ke Wisma tetapi tidak menemani putra sulungnya di hadapan wartawan saat mengumumkan kekalahan.
“Saudara-saudaraku warga Jakarta yang saya cintai dan banggakan,” kata Agus membuka pidatonya. “Seperti kompetisi-kompetisi lainnya, ada menang, ada kalah. Ada suka, ada duka.”
Agus diam sejenak, lalu merundukkan kepala. Bibirnya lantas mengembangkan senyum dan berkata, "Selama masa kampanye, saya sering kali menolak untuk membicarakan kekalahan. Karena saya punya prinsip pantang menyebut kekalahan sebelum perjuangan berakhir.”
Berikutnya, memasuki menit ketiga sejak ia mengucapkan salam, Agus berkata “secara kesatria dan lapang dada" menerima kekalahan dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta. Seraya menepuk dada, ia kembali mengucapkan kalimat kekalahan tersebut.
Menjelang akhir pidato, Annisa Pohan mengusap airmata. Sesudahnya, ketika Agus berbalik. Annisa menggamit pinggang seraya menepuk punggung suaminya. Agus menyalami sejumlah pengurus partai dan mencium pipi adiknya, Ibas Yudhoyono. Lampu kamera wartawan terus-menerus menyala. Yel-yel dari para pendukungnya—yel penyemangat di masa kampanye—mengiringi kepergian Agus. Mereka juga kembali meneriakkan "Agus presiden" sebanyak 11 kali.
Dan begitulah akhir drama untuk Agus, tetapi tidak untuk kedua kandidat lain. Setidaknya selama dua bulan ke depan, warga Jakarta—juga para wartawan dan pandit politik—akan kembali tersuruk dalam pertarungan politik yang tambah sengit dan tajam, yang kian terpolarisasi dalam sentimen agama dan rasial.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam