tirto.id - Husnul (30 tahun) bingung bukan kepalang ketika anaknya yang berumur 6 bulan mendadak demam tinggi. Itu terjadi pada Januari 2021, ketika gelombang COVID-19 tengah merangkak naik dan program vaksinasi baru mulai dicanangkan.
Tanpa pikir panjang, Husnul cepat-sepat membawa bayinya ke sebuah rumah sakit daerah Jakarta. Beberapa pemeriksaan kesehatan, termasuk cek thorax dan tes swab mengindikasikan bayi Husnul terinfeksi Deman Berdarah Dengue (DBD) dengan pneumonia non-COVID-19 gejala ringan.
“Untung anak saya sudah vaksin dasar lengkap, termasuk sampai PCV 3, sehingga gejala pneumonianya bisa ditekan dan kita fokus mengobati DBD-nya,” kata Husnul ketika bercerita kepada Tirto lewat jaringan telepon, Senin (18/5/2022).
Pneumonia merupakan penyebab utama kematian bayi dan balita di Indonesia. Selama pagebluk COVID-19, penyakit ini semakin jadi ancaman karena peluang infeksi ganda, terlebih ia merupakan penyakit peradangan paru-paru. Serangan terhadap paru-paru ini harus diwaspadai betul selama pandemi.
Sayangnya, vaksin pneumonia sebagai jalan meminimalisasi risiko harus ditebus dengan nominal rupiah yang lumayan mencekik leher.
Melihat tingkat usianya, bayi Husnul telah menerima beberapa vaksin pencegahan pneumonia, yakni vaksin difteri, pertusis, dan tetanus (DPT) 1, vaksin Haemophilus influenzae tipe B (Hib) 1, serta vaksin Pneumococcal Conjugate Vaccine (PCV) 1 saat berusia 2 bulan. Kemudian, dia mengulang kembali dosis yang sama pada usia 3 bulan dan tambahan PCV 3 di usia 4 bulan.
Pneumonia merupakan peradangan paru akibat infeksi bakteri, virus, atau jamur yang membikin kantung udara pada paru-paru berisi cairan. Beban penyakit ini menempatkan Indonesia berada di peringkat ke-7 sebagai negara dengan angka pneumonia tertinggi sedunia menurut data World Health Organization (WHO) pada 2017.
Selain cakupan vaksinasi yang rendah, beberapa faktor spesifik di Indonesia turut menjadi pencetus tingginyapneumonia, seperti belum terpenuhinya ASI ekslusif (54 persen), berat badan lahir rendah (10,2 persen), belum imunisasi lengkap (42,1 persen), serta polusi udara di ruang tertutup.
Vaksin PCV
Pneumonia punya gejala bervariasi, mulai dari demam, mengigil, batuk berdahak dan bernanah, hingga sulit bernapas. Pada kasus bayi Husnul, gejalanya sekadar demam, itupun bisa jadi efek samping dari DBD. Kata dokter yang menangani kala itu, antibodi sang anak sudah terbentuk dari serangkaian vaksin antipneumonia.
Vaksin memang dapat mencegah infeksi pneumonia dan mengurangi derajat keparahan gejala. Indonesia punsudah memiliki beberapa vaksin antipneumonia, di antaranya vaksin DPT dan vaksin Hib.
Vaksin antipneumonia terakhir adalah PCV untuk cegah pneumonia akibat 13 jenis bakteri pneumokokus. Jika vaksin DPT dan Hib sudah masuk program vaksinasi wajib bagi anak dan tak berbayar, vaksin PCV baru bisa diakses gratis di beberapa wilayah saja.
Meski begitu, Husnul sadar betul risiko pneumonia ikut meningkatdi wilayah pemukiman padat penduduk dengan paparan polusi dari asap rokok dan kendaraan. Apalagi rumahnya hanya punya sedikit ventilasi dan ruang terbuka sehingga dia memilih melakukan tambahan vaksin sebagai satu-satunya jalan menjaga kesehatan anaknya.
“Per vaksin PCV itu habis Rp850 ribu, ditambah jasa dokter ya Rp1,15 juta. Waktu itu sudah mengulang sampai 3 kali,” papar Husnul. Dia memilih melakukan vaksinasi PCV mandiri karena domisilinya tidak termasuk wilayah gratis PCV.
Artinya, jika mengikuti saran Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) untuk melakukan vaksin PCV sebanyak 4 kali, total pengeluarannya bisa mencapai lebih dari Rp4,5 juta. Nominal yang tak bisa dibilang murah belaka. Kini, untuk menghindari lingkungan yang “kotor” akibat polusi, keluarga kecil Husnul memutuskan pindah ke Kota Bandung.
Husnul beruntung punya privilese untuk memberikan jaminan kesehatan jangka panjang bagi sang buah hati.Sementara itu, ada lebih banyak orang di luaran sana—yang tak seberuntung Husnul—memilih mundur memberi vaksin PCV karena tidak mampu secara ekonomi. Mereka menjadi kelompok paling berisiko dan terdampak ketika gelombang infeksi pneumonia merangkak naik.
Gelombang Pneumonia selama Pandemi
Rekaman memori Husnul berputar kembali ketika anaknya mendapat hasil rapid test positif. Bayi R. harus segera mendapat penanganan di rumah sakit. Namun, bolak balik Husnul mengunjungi rumah sakit satu ke rumah sakit lain, semua ruangan tengah terisi penuh.
Seturut kabar yang dia terima, banyak pasien anak dirawat karena pneumonia. Dengan tergopoh-gopoh, diamembawa sang anak memasuki Unit Gawat Darurat (UGD) rumah sakit ketiga. Husnul hampir saja menyerah saat perawat akhirnya memberi kabar bahwa satu kamar baru saja kosong.
“Saya lihat sendiri banyak sekali anak dirawat dengan penyakit bawaan pneumonia. Kasihan, dengan adanya komorbid tersebut jadi semakin sakit anaknya.”
Pengalaman Husnul mendapati kasus pneumonia pada bayinya—dan bayi-bayi lain di rumah sakit—saat gelombang COVID-19 menjadi pelajaran soal urgensi pencegahan beban penyakit mematikan selain COVID-19. Jangan sampai fokus pandemi mengalihkan penanganan penyakit lain sehingga berpeluang menjadi ancaman di masa depan.
Selaras dengan cerita Husnul, sejumlah tenaga kesehatan turut angkat suara tentang tren peningkatan kasus pneumonia secara parsial selama pandemi COVID-19. Misalnya saja dokter anak Arifianto atau karib dikenal dengan dokter Apin. Pada akhir Januari 2022 lalu, dia menginformasikan kenaikan kasus pneumonia anak di wilayah praktik kerjanya, Jakarta.
Mayoritas pasien anak dengan pneumonia berusia kurang dari 6 bulan, bahkan ada yang baru berusia 2-3 bulan. Mereka belum sempat mendapat perlindungan dari vaksin DPT-Hib dosis pertama, tapi sudah keburu terinfeksi patogen penyebab pneumonia.
“Sebulan terakhir saya tidak menemukan pneumonia COVID-19 sama sekali. Semua pneumonia non-COVID,” ungkap Arifianto saat kami konfirmasi pada pertengahan April lalu, Senin (18/4/2022).
Selain beberapa penyebab yang telah disebutkan sebelumnya, COVID-19 juga memicu gejala pneumonia. Namun seturut pengalaman dokter Apin, persentase pneumonia akibat COVID-19 pada kasus anak hanya kurang dari 10 persen saja. Selebihnya merupakan pneumonia non-COVID.
Meski begitu, Arifianto menggarisbawahi bahwa gambaran kasus yang dia tangani bukan representasi kasus secara umum. Guna menambah data pendukung, Tirto menghubungi Ketua Unit Kerja Koordinasi (UKK) Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Rina Triasih.
Di wilayah kerjanya, Yogyakarta, Rina juga mendapati tren kasus peningkatan pneumonia pada balita. Sebaran kasusnya mulai dari gejala ringan hingga berat. Namun sedikit berbeda, dia mencatat periode-periode tertentu peningkatan kasus, yakni antara bulan Februari dan April.
“Untuk data secara detail perlu dianalisis. Akan lebih baik kalau ada data nasional dengan pola kejadian pneumonia per bulan,” katanya.
Sayang data nasional paling anyar pada kasus pneumonia balita masih tertinggal dua tahun ke belakang (2020). Tren kasusnya pun fluktuatif, dengan estimasi kasus pada 2018 sebanyak 894 ribu, lalu 2019 turun menjadi 885 ribu, dan 2020 kembali naik sebesar 890 ribu.
Sebuah studiyang dilakukan di Madrid, Spanyol, antara 1 Maret dan 15 Mei 2020 sempat menganalisis penyebab pneumonia pada 111 anak yang dirawat di rumah sakit selama gelombang pandemi pertama. COVID-19 disebut hanya mengakibatkan 20 persen kasus pneumonia anak. Sisanya disebabkan oleh bakteri dan virus pernapasan lain. Artinya, tidak semua pneumonia terkait dengan SARS-CoV-2.
“Gejala paling umum adalah demam (96,5 persen), batuk (88 persen), dan sesak napas (56,8 persen),” tulis para peneliti dalam studi tersebut.
Ketika kasus pneumonia non-COVID naik bersamaan dengan gelombang pandemi COVID-19, yang menjadi ancaman adalah infeksi ganda pneumonia akibat COVID-19 dan penyebab lain. Seperti penjelasan Rina selaku dokter anak, pneumonia anak lazim terjadi akibat campuran virus, bakteri, atau jamur.
“Sangat mungkin (infeksi pneumonia karena SARS-CoV-2 ditambah pneumonia karena bakteri, jamur, atau virus lain),” ungkap Rina. “Jamur rentan menyerang anak dengan sistem kekebalan tubuh lemah seperti anak dengan HIV atau anak dengan kanker.”
Selagi vaksin COVID-19 belum tersedia untuk balita, negara perlu memberi jaring pengaman lain dengan mengejar vaksinasi antipneumonia, termasuk vaksin PCV yang sampai sekarang masih belum tersedia gratis di seluruh Indonesia.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi