Menuju konten utama

Tingkat Keparahan Mycoplasma Pneumoniae Masih di Bawah COVID-19

Gejala Mycoplasma pneumoniae mirip dengan ISPA yang biasanya diawali dengan demam, batuk, nyeri tenggorokan, lemas, dan sedikit nyeri pada bagian dada.

Tingkat Keparahan Mycoplasma Pneumoniae Masih di Bawah COVID-19
Ilustrasi Pneumonia. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Dokter Spesialis Anak di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, Nastiti Kaswandani, mengatakan tingkat keparahan Mycoplasma pneumonia tidak separah SARS-CoV-2 penyebab COVID-19.

Nastiti mengatakan mycoplasma pneumonia sering disebut walking pneumonia. Artinya, pasien masih bisa jalan atau beraktivitas seperti biasanya. Ini tentu berbeda dengan gambaran pneumonia tipikal (yang khas) di mana pasien harus diinfus atau memakai oksigen di rumah sakit.

"Walking pneumonia itu menunjukkan pasiennya cukup baik, sehingga masih bisa beraktivitas. Makanya sebagian besar kasusnya bisa dilakukan rawat jalan, pemberian obatnya secara diminum dan bisa sembuh sendiri," ujar Nastiti dalam konferensi pers Update Mycoplasma Pneumonia di Indonesia secara daring, Rabu (6/12/2023).

Jika dibandingkan dengan virus COVID-19, influenza atau bakteri penyebab pneumonia lainnya seperti pneumokokus, keparahan Mycoplasma pneumoniae jauh lebih rendah. Mortalitasnya juga sangat rendah yakni 0,5 persen.

"Mortalitas hanya terjadi pada pasien dengan komorbid sehingga tidak perlu menimbulkan kepanikan yang mendalam di kalangan masyarakat," tutur Nastiti.

Nastiti menjelaskan, gejala pneumonia yang disebabkan oleh bakteri Mycoplasma hampir mirip gejala ISPA pada umumnya. Biasanya diawali dengan demam, batuk, nyeri tenggorokan, lemas dan sedikit nyeri pada bagian dada.

"Nah batuk ini yang sangat mengganggu karena bisa sampai 2 3 pekan menetapnya. Cukup lama. Pada anak yang lebih besar biasanya ada nyeri pada bagian dada. Itu yang menonjol pada gejala Pneumonia karena Mycoplasma," jelas Nastiti.

Nastiti pun mengimbau publik, terutama orang tua untuk tidak panik menghadapi Mycoplasma pneumoniae. Sebab, Mycoplasma pneumoniae bukan bakteri yang baru. Berbeda dengan COVID-19 yang merupakan virus baru yang sebelumnya belum ada.

"Mycoplasma sudah sangat familiar sebagai salah satu penyebab pneumonia pada anak. Namun demikian kehebohan ini terjadi saat di Cina yang tadinya lockdown dan social distancing kemudian dibebaskan sehingga munculah berbagai virus bakteri termasuk salah satunya Mycoplasma Pneumoniae," ucap Nastiti.

"Sebelum pandemi pun, kalau dilakukan penelitian di Cina salah satunya proporsi untuk Mycoplasma Pneumoniae itu memang terjadi paling tinggi pada anak prasekolah maupun usia sekolah. Jumlahnya mencapai 30 persen," lanjut Nastiti.

Sementara untuk mengantisipasinya, Nastiti menyarankan masyarakat untuk kembali ke pola hidup sehat seperti cuci tangan, jika sakit menggunakan masker, menerapkan etika batuk. Sementara untuk anak, Nastiti merekomendasikan pemberian ASI eksklusif, nutrisi seimbang kemudian melengkapi imunisasi yang sudah diselenggarakan oleh Program Nasional Imunisasi .

"Banyak imunisasi yang terkait pneumonia yang sudah ada di program nasional seperti DPT, HIB, Campak itu sudah disediakan oleh pemerintahan, dilengkapi imunisasinya. Mudah-mudahan, kalaupun terkena Mycoplasma pneumoniae tidak terjadi keparahan, bisa diobati, dan bisa beraktivitas seperti biasa," tukas Nastiti.

Baca juga artikel terkait PNEUMONIA atau tulisan lainnya dari Iftinavia Pradinantia

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Iftinavia Pradinantia
Penulis: Iftinavia Pradinantia
Editor: Bayu Septianto