tirto.id -
Tamat sudah riwayat lokalisasi Kalijodo. Pada Senin (29/2/2016) pagi, sekitar 5 ribu aparat gabungan dari Satpol PP, TNI, dan Polri, masuk ke perkampungan yang sebagian menjadi area prostitusi dengan 126 pekerja seks komersial (PSK). Sebuah excavator mempercepat penghancuran 14 wisma yang ada.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok benar-benar merealisasikan agendanya menutup lokalisasi yang terletak di Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara dan sebagian masuk Kecamatan Tambora, Jakarta Barat tersebut. Hebatnya, dia hanya butuh waktu 20 hari untuk membersihkan areal seluas 4 hektare.
“Kawasan Kalijodo itu merupakan lahan hijau dan milik negara juga. Kami hanya ingin mengembalikan fungsi kawasan itu sebagai ruang terbuka hijau (RTH). Makanya harus kami bereskan,” kata Gubernur Ahok mengenai penertiban Kalijodo.
Sekitar 300 kepala keluarga (KK) harus rela terusir dari rumahnya. Sebagian sempat tidak rela rumahnya digusur. Mereka melakukan aksi demo, menuntut kompensasi.
Seperti biasa, Ahok bersikap tegas terhadap pembangkang. “Enggak ada kompensasi apa-apa. Tetapi kalau mau pindah rusun, mau makan juga saya kasih,” katanya, di Balai Kota, empat hari sebelum eksekusi.
Tak hanya soal makan, gubernur bakal memberi fasilitas keanggotaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, serta Kartu Jakarta Pintar (KJP) bagi anak para warga yang bersedia pindah ke Rusun Marunda dan Pulogebang.
Ahok bersikap tegas untuk mengembalikan Kalijodo sebagai kawasan hijau. Ia tak peduli ketika ada suara-suara sumbang menudingnya ingin mengambil simpati untuk maju sebagai calon Gubernur DKI Jakarta dalam pilkada 2017.
Apapun alasan Gubernur Ahok, tetap saja ada pihak yang menilai bahwa di balik penertiban Kalijodo ada tujuan lain. Suara miring bahkan terlontar dari Gedung DPR di Senayan. Sebut saja Hidayat Nur Wahid, anggota Komisi VIII dari Fraksi Partai Keadilan. Atau Saleh Partaonan Daulay, Ketua Komisi VIII dari Fraksi PAN.
Bagi HNW, sebutan buat Hidayat, sulit untuk tidak mengaitkan isu politik di balik penertiban Kalijodo. Jika alasan utamanya RTH, maka wilayah lain yang melanggar RTH juga harus ditertibkan. Begitu juga jika alasannya terkait prostitusi, maka hotel atau kost-kostan juga harus ditertibkan.
“Jangan di Kalijodo saja yang ditertibkan. Kalau ini tidak dilakukan, saya rasa bakal menjadi korelasi, seolah apa yang dilakukan Pak Ahok itu pencitraan menjelang Pilkada 2017 nanti,” kata HNW kepada
Tirto.id.Hal senada disampaikan Saleh Partaonan Daulay. Ia mempertanyakan langkah Ahok yang baru menertibkan Kalijodo, setelah tiga tahun memimpin DKI Jakarta. Padahal, secara faktual banyak RTH lain yang juga dilanggar untuk digunakan sebagai pemukiman.
“Saya tak berpretensi ini untuk menaikkan elektabilitas. Tapi yang pasti, dia lagi ambil simpati. Segmennya jelas, banyak kalangan. Sebab pelacuran bertentangan dengan semua agama. Nah, ini mengambil simpati kelompok yang fanatik. Termasuk umat Islam yang garis keras,” kata Saleh kepada
Tirto.id, di Gedung DPR, pada Jumat (4/3/2016).
Tudingan yang dilontarkan kedua politisi itu agaknya juga tak sembarang bicara. Fakta menunjukkan, ada korelasi positif antara penutupan lokalisasi oleh penguasa daerah
incumbent dengan Pilkada. Dua contoh konkret adalah Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini yang menutup Gang Dolly dan Wali Kota Bandung Dada Rosada saat menutup Saritem.
Dada Rosada menutup Saritem lebih awal dibanding Risma. Pada 17 April 2007, Dada secara resmi menutup lokalisasi Saritem berdasarkan Perda Kota Bandung No 11 Tahun 1995. Saat itu, di kawasan lokalisasi Saritem tercatat terdapat 205 mucikari, 482 calo atau perantara, serta 451 PSK yang tersebar di 75 rumah.
Guna menghapus citra negatif area yang terletak di antara jalan Astana Anyar dan Gardu Jati itu, dibangunlah Pondok Pesantren At Taubah. Pondok pesantren tersebut dicanangkan sebagai wisata religi di Paris van Java.
Setahun kemudian, tepatnya Minggu (10/8/2008), Dada Rosada kembali memenangkan Pilkada Kota Bandung. Pasangan Dada-Ayi Vivananda yang diusung 21 parpol, berhasil menyingkirkan pasangan independen Hudaya Prawira-Nahadi dan pasangan Taufikurahman – Deni Triesnahadi yang diusung PKS.
Apa yang terjadi di Bandung ternyata menular ke Surabaya. Wali Kota Risma dengan gagah berani menutup Dolly, yang disebut-sebut sebagai lokalisasi terbesar di Asia Tenggara, pada 19 Juni 2015. Berdasarkan data Dinas Sosial Kota Surabaya, jumlah PSK tercatat sebanyak 1.449 orang dengan mucikari sekitar 311 orang sebelum penutupan.
Enam bulan kemudian, tepatnya Rabu (9/12/2015), Risma berhasil memenangkan Pilkada Kota Surabaya. Pasangan Risma-Wisnu Sakti Buana dengan pendukung utama PDI Perjuangan, berhasil menyingkirkan pasangan Rasiyo–Lucy Kuniasari yang didukung Partai Demokrat dan PAN, dengan perolehan suara 86,2 persen berbanding 13,8 persen.
Hal yang paling menarik, Risma-Wisnu, menang telak di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 51 Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan. TPS 51 merupakan satu-satunya TPS di gang Dolly. Risma menang dengan perolehan 186 suara dibanding lawannya yang menangguk 58 suara. Dari total 484 pemilik hak suara, sebanyak 250 orang menggunakan hak pilihnya.
Benarkah penutupan Kalijodo menjadi ajang bagi Ahok untuk menaikkan elektabilitasnya menjelang Pilkada DKI Jakarta pada 2017 mendatang? Ahok sendiri saat dikonfirmasi terkesan tak peduli. “Manuver apa? Saya mendukung pelacuran? Kalijodo memang harus direvitalisasi, tanya hal lain saja,” katanya saat dikonfirmasi.
Penertiban Kalijodo memang sesuai dengan program Pemprov DKI, yakni penataan daerah aliran Sungai Ciliwung dan pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang tercantum dalam Rencana Kerja Pemda (RKPD) DKI Jakarta 2016. Sama seperti penertiban wilayah Kampung Pulo, Waduk Pluit, atau Waduk Ria Rio.
Data Dinas Penataan Kota DKI Jakarta menunjukkan, ketersediaan RTH di Jakarta hanya 9,98 persen dari total luas wilayah. Padahal, idealnya sebuah kota minimal harus punya 30 persen RTH.
Menarik menyimak pendapat J Kristiadi dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Menurutnya, Ahok sedang membangun bukti bahwa telah bekerja merealisasi berbagai program selama menjabat gubernur. Hasil kerja itulah yang nantinya memberikan efek pada pencitraan.
“Bagi Ahok, citranya merupakan akibat dari pekerjaan yang ia capai. Jadi korelasinya bukan penggusuran lokalisasi meningkatkan elektabilitas, tetapi kerja dan program yang baik akan meningkatkan elektabilitas. Penggusuran lokalisasi hanya satu dari sekian program saja,” katanya.
CSIS sempat menggelar survei bertajuk "Calon Independen Vis A Vis Calon Partai", yang dilakukan pada 5 – 10 Januari 2016. Survei yang melibatkan 400 responden warga Jakarta di lima wilayah kota kecuali Kepulauan Seribu itu, menggunakan metode penarikan sampel secara acak, dengan margin of error kurang lebih 4,9 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.
Menurut Arya Fernandes, peneliti CSIS, program Jakarta Baru di bawah kepemimpinan Ahok cukup memuaskan warga ibu kota. Sebanyak 62,75 persen responden menjawab Jakarta sudah berubah, 22,5 persen responden menyatakan belum berubah, 14,25 persen menyatakan sama saja atau tidak ada perubahan yang berarti, serta 0,5 persen tidak menjawab.
Begitulah, tingkat popularitas dan elektabilitas Ahok agaknya memang bakal berkorelasi dengan tingkat kepuasan warga terhadap kinerjanya. Apalagi, para pemilih di Jakarta dipercaya merupakan para pemilih yang rasional.
Penutupan Kalijodo memang merupakan program Pemprov DKI Jakarta untuk penataan daerah aliran Sungai Ciliwung serta pengembangan RTH. Meskipun rasa curiga bahwa Ahok memanfaatkannya demi Pilkada 2017 juga tak sepenuhnya salah.
Hal yang pasti, Ahok sedang bekerja menjalankan tugas dan amanatnya sebagai gubernur. Jika hasil kerjanya bisa dijadikan modal buat menapaki pertarungan 2017, itulah keuntungan yang dimiliki seorang incumbent. Ahok paham betul soal itu.