tirto.id - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Yasonna Laoly memberi harapan baru soal penegakan hukum di Indonesia. Apa yang ia utarakan seperti hendak meminimalkan hukuman penjara bagi orang-orang yang tersangkut kasus kecil.
"Konsepnya nanti pidana-pidana kecil enggak usah ke dalam [penjara]. Bikin sumpek aja," kata Yasonna, dalam seminar nasional yang diselenggarakan Ikatan Pembimbing Kemasyarakatan Indonesia (Ipkemindo), di Jakarta, Kamis (19/4) lalu.
Apa yang dikatakan Yasonna memang sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan. Lembaga pemasyarakatan (lapas) di Indonesia menghadapi masalah kronis berupa kelebihan kapasitas atau lazim disebut overcrowded. Sederhananya, ini adalah kondisi ketika jumlah narapidana dan tahanan jauh lebih banyak dibanding kapasitas yang sebetulnya dapat ditampung lapas.
Berdasarkan data dari Sistem Database Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, jumlah tahanan dan narapidana (sudah diputus bersalah oleh pengadilan) per April 2018 di seluruh Indonesia mencapai 243.646 orang, sementara kapasitas lapas hanya 123.646 orang.
"Mayoritas isi lapas di Indonesia penuh. Overcrowded dan lebih dari 50 persen itu [penghuni kasus] narkoba," tutur Kabag Humas dan Protokol Dirjen Pemasyarakatan Ade Kusmanto kepada Tirto, Jumat (20/04/2018).
Implikasi dari situasi ini bisa sangat signifikan. Kelebihan kapasitas misalnya, jadi salah satu alasan mengapa ratusan tahanan dari penjara Sialang Bungkuk Kelas IIB, Kota Pekanbaru melarikan diri pada Mei tahun lalu.
Di sana, menurut penuturan Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Riau, Kombes Pol Guntur Tejo, sebagaimana dikutip dari Antara, "kapasitas [penjara] 361 orang namun sudah diisi 1.800 orang lebih."
Sistem Hukum Yang Fokus Merenggut Kemerdekaan Fisik Individu
Apa yang diinginkan Yasonna tampak sulit diwujudkan ketika melihat sistem hukum Indonesia saat ini. Sistem yang ada sekarang justru memungkinkan penjara semakin sesak, alih-alih lowong.
Sejak reformasi sampai 2014, Anugerah Rizki Akbari, akademisi dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera, mengatakan bahwa ada tren peningkatan Undang-undang dengan ketentuan pidana.
"Jadi memang kecenderungannya pemerintah Indonesia dan DPR cenderung membuat banyak tindak pidana baru," kata kepada Tirto lewat sambungan telepon.
Dari hasil risetnya, diketahui dari total 563 undang-undang yang disahkan sejak tahun 1998 hingga 2014, 154 di antaranya mengandung ketentuan pidana. Dari sana Rizki menyimpulkan bahwa penjara tidak hanya jadi tempat untuk merampas kemerdekaan para kriminal tapi bahkan hanya pelanggar administrasi.
Rizki mencontohkan Pasal 86 Undang-undang Kearsipan yang menyebutkan bahwa siapa saja yang memusnahkan arsip negara meskipun sudah kedaluwarsa tidak sesuai prosedur terancam 10 tahun penjara dan denda Rp500 juta.
"Hal-hal seperti itu di kita banyak. Proporsinya hampir 60-70 persen lebih banyak dipakai untuk itu. Yang dipakai untuk merespons kejahatan yang sebenarnya paling hanya 30-40 persen," katanya.
Apa yang dikatakan Rizki dibenarkan pihak lain. Dalam sebuah diskusi pada November tahun lalu, Direktur Teknologi Informasi dan Kerjasama Direktorat Jenderal Pelapasan Aman Riyadi bilang "makin banyak peraturan yang mengakibatkan penjara. Bahkan Perda juga ngasih hukuman penjara."
Ketika bicara soal penjara yang overcrowded, Yasonna bilang bahwa hal tersebut dapat perlahan dikurangi dengan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang kini tengah digodok DPR.
Kenapa ini mungkin? Sebab, kata Yasonna, dalam RKUHP disediakan beberapa alternatif penghukuman di luar pemenjaraan, sebut saja pidana pengawasan dan pidana kerja sosial.
Namun, hal ini juga patut dipertanyakan mengingat dalam RKUHP justru ada tindak pidana baru yang terancam hukuman penjara. "Paling banyak pasal-pasal yang sudah dimatikan oleh Mahkamah Konstitusi," kata Supriyadi.
Salah satu pasal yang dimaksud adalah pasal Penyerangan Presiden atau Wakil Presiden, termasuk menyerang secara fisik atau menghina (dalam draf versi 8 Maret 2018 ada di Pasal 237-239). Pasal penghinaan terhadap presiden sebetulnya telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2006 lalu.
Pasal lainnya berkaitan dengan zina. Dalam RKUHP tindak pidana zina menyasar seluruh pasangan tanpa syarat terikat perkawinan. Sementara dalam KUHP sekarang, yang bisa dipidana karena zina hanya mereka yang sudah punya ikatan perkawinan.
Masalah Lain
Anggara, peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), mengatakan bahwa sebetulnya KUHP yang ada sekarang sudah mengandung cukup instrumen untuk mencegah overcrowded lapas. Sebut saja pidana alternatif, Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), dan rehabilitasi bagi pengguna narkoba.
Hanya saja instrumen tersebut tidak pernah dimaksimalkan.
"Misal kenapa rehabilitasi jarang diberikan pada pecandu narkotika. Menteri menjelaskan enggak itu? Padahal dia tahu 30 persen yang mengisi rutan dan lapas itu para pecandu narkotika," terang Anggara.
Masalah lainnya adalah soal pengawasan. Dalam RKUHP, untuk terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam maksimal 7 tahun penjara bisa dikenakan hukuman alternatif berupa pidana pengawasan. Selain itu, bagi terdakwa yang terancam pidana penjara tidak lebih dari 6 bulan atau pidana denda paling banyak Rp 10 juta, tersedia pidana kerja sosial bagi mereka.
Menurut Anggara, Balai Permasyarakatan (Bapas) sebagai lembaga yang akan melakukan pengawasan ke narapidana alternatif belum tersebar di seluruh kabupaten/kota di Indonesia.
"Kalau itu [Bapas] tidak tersedia di seluruh kota/kabupaten di Indonesia ya enggak ada pilihanlah, pasti orang masuk penjara semua," kata Anggara.
Kabag Humas dan Protokol Dirjen Pemasyarakatan Ade Kusmanto membenarkan bahwa memang sejauh ini Bapas masih sangat kurang. Bapas, katanya, baru ada di 71 lokasi di seluruh Indonesia.
"Tapi harusnya kan satu kota/kabupaten satu Bapas. Jadi ada kabupaten dan kota yang belum ada Bapasnya," kata Ade lewat sambungan telepon.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino