tirto.id - Pemerintah tidak kompak soal rencana pembentukan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) yang diusulkan Polri. Wakil Presiden Jusuf Kalla bahkan berbeda sikap Presiden Joko Widodo terkait unit khusus antikorupsi yang diperkirakan memakan biaya sebesar Rp2,6 triliun itu.
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasona Laoly mengatakan, perbedaan pandangan itu dikarenakan rencana pembentukan Densus Tipikor ini memang belum pernah dibahas di Rapat Kabinet Terbatas (Ratas).
“Kan belum dibawa di Ratas, kan saya katakan juga ini pembentukan Densus kan tentunya lembaga baru, tentu juga harus dibicarakan [dengan] Menpan RB,” kata Yasona, di Gedung DPR, Rabu (18/10/2017).
Karena belum adanya Ratas tersebut, kata Yasona, wajar apabila pandangan Wapres JK tersebut berbeda dengan Presiden Jokowi yang menyetujui pembentukan Densus Tipikor oleh Polri. Yasona pun mengaku tidak mengetahui apakah JK sudah membicarakan perihal ini dengan Jokowi.
“Kalau dengan Presiden saya tidak tahu, tetapi seingat saya belum ada Ratas saja. Ini kan Pak JK belum berikan statement apakah sudah bicara dengan Presiden atau belum saya enggak tahu. Itu bos-bos lah yang tahu, tetapi saya kira lebih penting koordinasi lah integrasi,” kata Yasona.
Meski begitu, kata Yasona, agar perihal ini tidak menjadi polemik berkelanjutan, maka lebih baik seluruh lembaga penegak hukum terkait duduk bersama membahas roadmap yang terintegrasi satu atap. Sebab, kata Yasona, baik maksud Kapolri, KPK, maupun Kejaksaan Agung sama-sama baik untuk pemberantasan korupsi.
“Semangat itu pemberantasan korupsi bagaimana biar lebih cepat seperti kata Presiden cepat itu penting. Tapi kan dia sudah menimbulkan polemik. Yah kita duduk saja bersama,” kata Yasona.
Dengan hasrat ego sektoral antarlembaga hukum seperti saat ini, kata Yasona, itu bukan hanya menghambat semangat antikorupsi. Melainkan, juga akan menghambat pendidikan budaya antikorupsi bagi generasi mendatang.
Sedangkan saat ini, kata Yasona, pemberantasan korupsi di Indonesia masih dalam tahan enforcement. Sehingga, tidak tepat kalau terhambat dengan pro dan kontra serta polemik soal pembentukan Densus Tipikor Polri.
“Kita harus membangun kultur. Ini kan kita ini masih berada pada tahap enforcement. Padahal sebetulnya kalau dari bawah itu budaya itu sendiri kultur masyarakat untuk antikorupsi mulai dari anak SD bahkan TK sudah kita ajarkan budaya antikorupsi, sampai ada 20 tahun ke depan kita sudah punya generasi baru,” kata Yasona.
Baca juga:
- Dalih Polri Bikin Densus Antikorupsi demi Menambah Anggaran?
- Manuver DPR: Penyadapan KPK hingga Dorong Densus Antikorupsi
“Jadi cukup biar KPK dulu, toh sebenarnya polisi, kejaksaan juga masih bisa menjalankan tugas. Tidak berarti perlu ada tim baru untuk melakukan itu, tim yang ada sekarang juga bisa. Difokuskan dulu KPK, dan KPK dibantu sambil bekerja secara baik,” kata JK, di Jakarta seperti dikutip Antara, Selasa (17/10/2017).
JK menambahkan, dalam pemberantasan korupsi perlu hati-hati dan jangan sampai isu tersebut menakutkan para pejabat untuk membuat kebijakan. Karena, kata JK, salah satu yang memperlambat proses pembangunan disamping proses birokrasi yang panjang juga ketakutan pengambilan keputusan.
Wapres JK juga mengatakan, pemberantasan korupsi jangan hanya menyapu dan basmi sehingga memunculkan ketakutan dan tidak bisa membangun, selain juga harus menjaga objektivitas.
Baca juga:Sikap Sejumlah Fraksi soal Pembentukan Densus Tipikor Polri
Saat rapat kerja dengan Komisi III DPR, Kamis (13/10/2017), Polri mengajukan anggaran kinerja Densus Tipikor senilai Rp2,6 triliun. Polri juga meminta Komisi III DPR mendukung pengajuan anggaran tersebut karena merupakan kebutuhan dalam pembentukan unit khusus tersebut.
"Anggaran Densus Tipikor sudah dihitung, pada rapat sebelumnya sudah disampaikan perlu dipikirkan tentang satu penggajian kepada para anggota agar sama dengan di KPK," kata Kapolri Jenderal Tito Karnavian dalam Rapat Kerja Komisi III DPR, di Gedung Nusantara III, Jakarta, Kamis.
Tito mengatakan, Polri juga telah menghitung anggaran untuk penyelidikan dan penyidikan dengan menggunakan sistem index dan sistem ad cost, yang merupakan pengkajian yang dilakukan KPK yang bisa diterapkan Densus Tipikor.
Menurut Tito, anggaran tersebut untuk belanja pegawai sebanyak 3.560 personel mencapai Rp786 miliar, belanja barang untuk operasional penyelidikan dan penyidikan senilai Rp359 miliar.
"Lalu belanja modal sebesar Rp1,55 triliun termasuk membuat sistem dan kantor serta pengadaan alat penyelidikan, penyidikan, pengawasan. Karena itu setelah ditotal mencapai Rp2,6 triliun," ujarnya.
Proposal pembentukan Densus Tipikor yang disampaikan Kapolri Tito Kanavian kepada Komisi III DPR itu menawarkan dua mekanisme kerja. Pertama, menggabungkan Densus Tipikor dengan Jaksa Penuntut Umum dalam satu atap. Kedua, Densus Tipikor akan disamakan dengan Densus 88 Anti Teror Polri.
Namun, Jaksa Agung HM Prasetyo menegaskan pihaknya enggan bergabung dalam Densus Tipikor yang diusulkan Polri ini. Alasannya, karena Kejaksaan Agung sudah lebih dahulu mempunyai Satuan Tugas Khusus Penanganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi (Satgasus P3TPK).
“Kami sudah punya Satgasus jauh sebelum ada pemikiran pembentukan Densus Tipikor. Kami sudah punya. Dan, Satgasus ini sama sekali tidak ada tambahan biaya operasional,” kata Prasetyo usai Rapat Kerja Gabungan dengan Komisi III DPR, Polri, dan KPK di Gedung Nusantara III, Jakarta, pada 16 Oktober lalu.
Pernyataan Prasetyo itu merespons usulan Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian yang menawarkan dua metode kerja Densus Tipikor, salah satunya memasukkan unsur Kejaksaan dalam pimpinan Densus.
Prasetyo mengatakan kalau Densus Tipikor dibentuk, maka Kejaksaan akan memperkuat lagi dari sisi personel jaksa sehingga institusinya akan merevitalisasi kerja-kerja penuntutan sehingga bisa menampung hasil kerja Densus Tipikor Polri.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz