tirto.id - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengklaim biaya infrastruktur yang dikeluarkan pemerintah saat ini jumlahnya lebih kecil dibandingkan biaya yang dikeluarkan non-pemerintah untuk infrastruktur.
Adapun yang dimaksud dengan non-pemerintah tersebut adalah pihak swasta dan BUMN. Dengan porsi seperti itu, Darmin mengungkapkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pun menjadi tidak terbebani.
“Kalau tidak salah angkanya 60 persen yang bukan dari APBN. Jadi, pemerintah sudah berencana betul, pembangunan infrastruktur itu mutlak, perlu, tapi jangan sampai membebani APBN terlalu besar,” ujar Darmin di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta, Selasa (30/5/2017).
Menurut Darmin, menurunnya beban APBN untuk pembangunan infrastruktur merupakan dampak dari diubahnya skema pembiayaan sejak 2016 lalu. Darmin menilai skema baru yang dinamakan KPBU (Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha) itu telah menunjukkan perkembangan.
“Kalau sekarang Anda melihat ada banyak pembangunan, baik itu air minum, jalan tol, atau apa, dengan kita sebut namanya KPBU (Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha), itu sebenarnya tujuannya supaya jangan terlalu membebani APBN,” kata Darmin.
Darmin menilai salah satu tolok ukur berjalan baiknya skema KPBU tersebut dapat dilihat dari meningkatnya jumlah Proyek Strategis Nasional.
Dengan beban pembangunan infrastruktur yang dikatakan hanya berkisar 40 persen dari APBN, Proyek Strategis Nasional saat ini sudah ada 240 proyek, meningkat dari yang sebelumnya sebanyak 225 proyek. “Agar jangan tergantung pada APBN saja, supaya jangan minjem terus,” ucap Darmin.
Masih dalam kesempatan yang sama, Darmin sendiri membantah apabila Proyek Strategis Nasional dikatakan membuat APBN bengkak. Darmin pun lantas menegaskan untuk mewujudkan rencana proyek-proyek tersebut pemerintah fokus kepada pencarian investor yang berkeinginan menanamkan modalnya di bidang infrastruktur.
“Pemerintah pada dasarnya telah menetapkan mana-mana saja daftarnya, yang prioritas. Sehingga sangat mudah kan, tinggal mencari mana yang tertarik. Bisa BUMN, bisa swasta,” jelas Darmin lagi.
Sementara itu, saat menyinggung soal utang negara, Darmin menyatakan rasio utang Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih terbilang rendah, yakni di bawah 30 persen.
“Tetapi tentu kita tidak bisa hanya menyatakan (utang negara) masih rendah. Karena memang pertumbuhannya relatif cepat, dan itu disebabkan karena kita mendorong untuk pembangunan infrastruktur,” ungkap Darmin.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat menyinggung soal utang pemerintah Indonesia pada bulan lalu. Menurut Sri Mulyani, satu penduduk negara Indonesia menanggung utang negara sebesar 997 dolar Amerika (setara dengan Rp13 juta).
Meski begitu, senada dengan pernyataan Darmin hari ini, Sri Mulyani mengklaim jumlah utang Indonesia masih dalam tahap wajar apabila dibandingkan dengan utang Amerika Serikat maupun Jepang.
“Kalau Anda jadi orang Amerika Serikat, di sana setiap kepala menanggung utang 62.000 dolar Amerika. Sedangkan kalau di Jepang, sebesar 85.000 dolar Amerika per kepala,” ujar Sri Mulyani saat menyampaikan kuliah umum di Kampus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), Tangerang Selatan pada 17 April 2017.
Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan per April 2017, utang pemerintah Indonesia jumlahnya mencapai Rp3.667,41 triliun. Dari besaran angka tersebut, sekitar 80 persen atau sebanyak Rp2,932,69 triliun utang negara merupakan Surat Berharga Negara (SBN), sedangkan sisanya berbentuk pinjaman sebesar Rp734,71 triliun.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Alexander Haryanto