Menuju konten utama

Menjaga Bumi dari Sampah dengan Bisnis Ekologis

Sampah plastik sudah jadi masalah manusia modern. Namun, kini sudah ada yang berupaya mengatasi masalah plastik ini sambil menjadikannya sumber pendapatan.

Menjaga Bumi dari Sampah dengan Bisnis Ekologis
Peneliti lingkungan menghitung tingkat polusi di tumpukan sampah. FOTO/iStock.

tirto.id - Risna Anggaresa (25), salah satu karyawan rumah makan vegetarian di Yogyakarta menunjukkan satu kantong berwarna hijau kebiru-biruan berlabel ‘ I am not plastic.’ Sambil membungkus makanan dari pelanggan, ia berujar, “Pakai kresek singkong Rp1.500 rupiah ya, Mbak. Mahal secara ekonomi, tetapi penghematan secara ekologi.”

“Sales, ya?” perempuan yang diajaknya bicara menimpali sambil tertawa.

“Bukan, Mbak. Saya eco-warrior,” Risna menjawab dengan semangat.

Risna mengatakan ia akan sangat mendukung apa pun yang berkenaan dengan pengurangan penggunaan plastik. Ia selalu menganjurkan setiap pelanggannya membawa wadah sendiri apabila ingin memesan bawa-pulang untuk mengurangi sampah. “Tapi, kami juga menyediakan kotak dari karton dan kantong dari ketela untuk pengganti kantong plastik,” katanya kepada wartawan Tirto.

Alasan yang sama juga disampaikan Kevin Kumala, CEO Avani Eco, perusahaan rintisan berbasis sains. Avani Eco menyediakan produk bioplastik yang terbuat dari pati singkong, bukan polystyrene seperti kantong plastik kebanyakan. Produk yang sudah dipasarkan di antaranya adalah sedotan bioplastik, gelas minum bioplastik, wadah makanan bioplastik, sampai kantong berlabel ‘ I am not plastic.’

“Itu inovasi paling membanggakan dari orang indonesia. Sejak pertama beli 2 biji bioplastik, sampe sekarang masih aku pakai, rekor penggunaan kresek terlamaku,” ujar Risna

Bisnis Sanitasi

Sejak 1970, dunia merayakan Hari Bumi setiap tanggal 22 April dalam rangka menunjukkan dukungan terhadap perlindungan lingkungan. Di Indonesia sendiri, kita sering diberi penerangan ihwal perilaku sehat untuk lingkungan sehat. Banyak kampanye dan upaya preventif dilakukan tidak hanya dimotori oleh pemerintah, tetapi juga pihak swasta dan masyarakat. Satu di antaranya adalah upaya pemenuhan sanitasi total yang dijalankan oleh para ‘pebisnis sanitasi.’

Menurut data yang dihimpun oleh Bisnis Sanitasi, 45 persen penduduk Indonesia tidak memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi. Masalah akan banyak muncul ketika kita memasrahkan satu perkara ini melulu ke pemerintah. Usaha pemerintah terbentur pada minimnya dana yang tersedia, sehingga diperlukan waktu yang lebih lama jika kita bergantung kepada pemerintah.

Avani yang berpusat di Denpasar ini menjelaskan bahwa mereka ingin membuat perubahan dan memberi solusi untuk memerangi wabah global pencemaran plastik dengan memanfaatkan teknologi.

Setelah beberapa tahun menjalani penelitian dan pengembangan, Avani akhirnya menemukan teknologi terobosan yang memungkinkan mereka mengganti produk plastik bekas pakai yang membutuhkan waktu ribuan tahun untuk didekomposisi dengan sumber daya terbarukan yang terbuat dari tumbuhan.

Bioplastik sendiri bukan merupakan hal baru. Sejak 1990, Eropa mengembangkan produk ini dengan bahan baku jagung dan serat bunga matahari. Menurut Kevin, produk Eropa tersebut mempunyai nilai produksi dari bahan baku yang relatif mahal. Ia kemudian mendapat solusi dan memakai bahan baku singkong. Lebih ekonomis dibanding jagung, telah lulus toxicity test, dan aman jika produk hasilnya dikonsumsi hewan laut. Singkong juga merupakan bahan yang baik untuk produk biodegradable tersebut.

Menariknya lagi, bioplastik produksi Avani tersebut mampu terlarut dalam air panas, dan di dalam air dingin ia akan menjadi lunak, kemudian berubah menjadi karbondioksida, air, dan biomassa secara alami.

Kolaborasi Masyarakat hadapi Sampah Plastik

Indonesia Solid Waste Association (InSWA) menyatakan bahwa sampah plastik di Indonesia mencapai 5,4 juta ton per tahun. Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jakarta melaporkan bahwa tumpukan sampah di wilayah DKI Jakarta mencapai lebih dari 6.000 ton per hari dan 13% dari jumlah tersebut berupa sampah plastik.

Risna Anggaresa yang telah 10 tahunan tinggal di daerah aliran sungai kali gajah wong menyampaikan keresahannya. Ia bercerita pernah iseng memungut sampah yang hanyut terapung. “Aku bisa bilang 90 persen dari sampah itu plastik,” ujarnya. Menurut Risna, banyak sampah yang hanyut, tapi tidak sedikit yang menyangkut di pinggiran sungai. Efeknya adalah penyumbatan aliran dan mengakibatkan banjir.

“Ekosistem sungai jadi enggak seasyik zaman kecilku dulu. Aku semakin jarang menemukan ikan kecil-kecil. Plastik punya efek domino dan luas. Kecil tapi massif, dan sialnya bisa didapatkan dengan mudah dan murah,” kata Risna.

Menjawab persoalan tersebut, Videshiiya—bagian dari Architecture Sans Frontieres (ASF) Yogyakarta, bersama dengan Wikikopi dan Komunitas Wanita Andalan menyelenggarakan proyek pembuatan ecobrick. Ecobrick merupakan seni pengolahan sampah plastik dengan cara memasukkan plastik-plastik bekas ke dalam botol plastik, yang hasilnya bisa dimanfaatkan sebagai pengganti bahan material.

“Kami ingin membuat gedung, yang mana lantai satunya adalah tempat penimbangan sampah, dan lantai duanya untuk ruangan PAUD. Ecobrick kami aplikasikan sebagai dinding pembatasnya,” kata Russelin Edhyati Pangaribuan, arsitek di Vedeshiiya, kepada wartawan Tirto. Target proyek tersebut, imbuhnya, adalah untuk memberdayakan warga agar mandiri dalam menghasilkan ruang dan kehidupan yang berkualitas.

“Ini adalah upaya gotong royong dalam menghasilkan sesuatu tanpa harus bergantung pada pemerintah. Selama ini ruang tidak tertata karena warga takut akan imej arsitek yang mahal. Proyek ini adalah kolaborasi antara warga, arsitek, dan komunitas lain yang sevisi misi,” jelas Russelin.

Proyek ini tengah berlangsung di daerah Timoho, di pinggir rel kereta api Gajah Wong, Yogyakarta. Mereka melibatkan warga masyarakat, termasuk para pemulung di sekitar daerah tersebut. Sampah sebagai bahan bakunya disuplai pemulung. Pembuatan ecobrick sendiri melibatkan warga, mulai dari bapak-bapak angkringan sampai ibu-ibu sekitar. Russelin juga menyebutkan bahwa sumber dana proyek tersebut berasal dari Komunitas Wanita Andalan dan keuntungan dari bank sampah yang mereka kelola.

Infografik Bioplastik dan Ecobrick

Bisnis Sampah Plastik

Ribuan ragam sampah, mulai dari plastik, kertas, kaca, botol, dapat kita daur ulang. Dengan sedikit memanfaatkan keunggulan teknologi, peluang menjadi pengusaha daur ulang plastik akan sangat menjanjikan.

Kita bisa ambil contoh dari satu macam sampah plastik yang sering kita buang: gelas plastik bekas kemasan air mineral. Berdasarkan pertimbangan perhitungan yang ditulis Sanitasi, tumpukan gelas plastik tersebut oleh para pemulung hanya laku sekitar Rp3.000 rupiah per kilogram.

Namun di tangan orang yang memiliki mesin pencacah, gelas-gelas plastik tersebut bisa dijual Rp5.000 per kilogram setelah dicacah. Di tangan orang yang memiliki alat peleleh, cacahan plastik tersebut dilelehkan dan dibuat menjadi pelet atau biji plastik dan dijual ke pabrik-pabrik plastik dengan harga jual yang lebih tinggi.

Serangkaian proses tersebut menunjukkan bahwa teknologi dapat meningkatkan nilai ekonomi daur ulang sampai dengan 100 persen.

John Peter, seorang pengusaha sanitasi di Bandung mengungkapkan bahwa di situlah posisi peluang bisnis sanitasi, bukan di mata rantai pengumpulannya, tetapi di mata rantai pemrosesannya.

Regulasi

Selain itu, bisnis sanitasi juga menawarkan banyak hal, termasuk dukungan politis dan peraturan regulasinya. Seperti yang kita rasakan, jika sudah menyangkut urusan kesehatan masyarakat, dukungan pasti akan datang dari banyak pihak, mulai dari jajaran pusat sampai dengan petinggi daerah. Adanya Millenium Development Goals juga memacu semua pihak untuk bekerja lebih keras dan saling mendukung satu sama lain.

Keterlibatan swasta dan masyarakat juga dijamin dalam undang-undang. Peraturan daerah juga sudah mengharuskan masyarakat untuk mengelola sampahnya dengan baik. Peraturan Presiden No. 67 tahun 2005 juga menjamin adanya pembagian risiko keuangan antara pemerintah dan pihak swasta.

Pemerintah akan mendukung pihak swasta dan masyarakat yang akan membuka bisnis sanitasi. Sejumlah usaha di sektor sanitasi juga berhak mendapatkan keringanan pajak. Termasuk di antaranya industri pembuatan kemasan dari kertas, plastik, dan bubur kertas.

Baca juga artikel terkait SAMPAH PLASTIK atau tulisan lainnya dari Yulaika Ramadhani

tirto.id - Mild report
Reporter: Yulaika Ramadhani
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Maulida Sri Handayani