Menuju konten utama

Menjadikan Musisi Sebagai Senjata Kampanye

Sulit membayangkan kampanye politik tanpa sokongan pertunjukan musik. Pada Pilpres 2014, ada Konser Salam Dua Jari yang dianggap berpengaruh pada elektabilitas Jokowi. Bagaimana dengan Pilkada Jakarta sekarang?

Menjadikan Musisi Sebagai Senjata Kampanye
Penampilan Slank di Konser Gue 2 di lapangan Ex Driving Range, Senayan, Jakarta, Sabtu (4/2). Tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Akhir Juni 2014. Pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla berolahraga jantung. Mereka baru saja menerima laporan hasil survei dari Lembaga Survei Indonesia. Selisih suara dengan pasangan Prabowo-Hatta Rajasa menipis jadi 0,5 persen saja. Entah siapa yang membisiki, tim pemenangan Jokowi-JK kemudian bergerak untuk membuat konser besar guna meraup tambahan dukungan.

Pertunjukan bertajuk Konser Salam Dua Jari ini akhirnya jadi digelar pada 5 Juli 2014. Tak tanggung-tanggung, pengisi utamanya adalah Slank. Seperti yang kita tahu, Slank adalah band rock terbesar di Indonesia dengan jutaan penggemar yang tersebar di seluruh Indonesia. Menurut pengelola Kompleks Gelora Bung Karno, konser ini dihadiri oleh 140 ribu orang.

Langkah ini dianggap berhasil. Meski ada faktor lain seperti Fahri Hamzah yang terpeleset menyebut hari santri sebagai ide sinting, konser ini dianggap membantu menaikkan elektabilitas Jokowi. Selisih angka keterpilihan Jokowi-JK kembali melebar jadi 3,6 persen. Jokowi-JK mendapat 47 persen suara, sedangkan Prabowo-Hatta 44 persen. Pada hari pemilihan, Jokowi-JK mendapatkan 70,6 juta suara (53 persen) sedangkan lawannya meraih 62,2 juta suara (46) persen.

Memang kemenangan Jokowi berasal dari banyak faktor. Tapi nyaris tak ada pundit politik yang menyangkal bahwa konser Salam Dua Jari itu sangat berpengaruh dalam mendongkrak elektabilitas, dan meraup pemilih mengambang dari kalangan anak muda.

Sejak Orde Baru

Sejatinya, menggamit musisi untuk kampanye politik di Indonesia bukan fenomena yang baru terjadi satu dua dekade belakangan. Fenomena ini sudah ada sejak tahun 1970-an. Jejak awalnya mungkin bisa ditengok pada Organisasi Artis Safari. Ini adalah kongsi yang dibentuk pada 1971 oleh pelawak Eddy Sud, bersama Bing Slamet, dan Bucuk Soeharto, Ketua Departemen Seni dan Budaya DPP Golongan Karya. Organisasi ini kerap berkampanye untuk Golkar. Kebetulan istri Eddy Sud, Itje Trisnawati, adalah seorang biduan dangdut.

Menurut Jennifer Lindsay yang menulis makalah berjudul "Performing in the 2004 Elections," kampanye Golkar pada 1971 melibatkan 324 artis yang tergabung dalam Tim Kesenian Safari Golkar 1971. Mereka terdiri dari 13 band termasuk Koes Plus, 60 orang biduan termasuk Titiek Puspa, serta musisi seperti Rofiqoh Dhargo Wahab yang membawa kelompok rebana-nya. Menurut Lindsay, ada 14 pesawat yang mengangkut para seniman ini ke seluruh Indonesia antara periode Mei dan Juni.

Karena kampanyenya dianggap sukses, metode ini terus diulang di tiap kampanye Golkar. Pada 1977, cara ini ditiru oleh Partai Persatuan Pembangunan yang menggandeng pedangdut populer, Rhoma Irama, untuk kampanyenya. Ini adalah perlawanan yang berani, bisa meraup banyak suara, sekaligus berbahaya karena kekuasaan Orde Baru yang tiran. Tapi langkah PPP ini tentu amat baik secara perhitungan politik. Apalagi sebabnya kalau bukan popularitas Rhoma.

Menurut William H Frederick yang menulis "Rhoma Irama and the Dangdut Style: Aspects of Contempory Indonesia Popular Culture" pada 1985, Rhoma telah membuat revolusi dalam musik dangdut di Indonesia. Salah satunya, misalkan, memasukkan unsur rock dalam dangdut. Maka Rhoma bisa menarik penggemar dangdut, rock, maupun dua-duanya. Selain itu, Rhoma juga populer sebagai bintang film.

"Sejak rapat-rapat raksasa di masa Demokrasi Terpimpin, acara panggung yang paling banyak dibanjiri massa adalah panggung Rhoma," tulis Frederick, seperti dikutip Kompas pada 1997.

Kehadiran Rhoma dalam kampanye PPP memang berdampak besar. Pada 1977, PPP meraih 99 kursi. Naik 2,17 persen. Bahkan di DKI Jakarta dan Aceh, partai berlambang Ka'bah ini berhasil mengalahkan Golkar. Tapi tentu saja penguasa tidak tinggal diam. Rhoma yang dianggap berani membangkang, diboikot oleh TVRI, satu-satunya saluran televisi kala itu. Dia diboikot selama 11 tahun oleh pemerintah. Penampilan pertama Rhoma setelah boikot terjadi pada acara Kamera Ria pada Mei 1988. Pada 1992, Rhoma pindah ke Golkar, yang disebutnya karena "lillahi-taala." Namun penggemarnya menganggap ini adalah bentuk pengkhianatan. Pada 1993, Rhoma duduk di kursi empuk MPR mewakili Utusan Golongan, yang diisi oleh perwakilan dari berbagai profesi, termasuk seniman.

Setelah Rhoma, dangdut terus dipakai sebagai alat kampanye politik. Andre Weintraub dalam Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia mencatat bahwa dangdut semakin populer di panggung politik sejak 1990-an, terutama berkat TVRI. Weintraub menyebutnya "semakin terfokus dan terkonsentrasi."

Fokus dan konsentrasi dangdut pada politik ini kemudian mewujud pada, misalkan, saat Basofi Sudirman yang pada 1992 menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta dan Ketua DPD Gokar membuat rekaman "Tidak Semua Laki-Laki". Lalu Siti Hardiyanti Rukmana membuat program dangdut di saluran televisi miliknya, Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Atau pada saat kampanye Golkar Mei 1992, Habibie (Menteri Negara Riset dan Teknologi) dan Moerdiono (Menteri Sekretaris Negara) berjoget dangdut sembari mengimbau massa untuk mencoblos Golkar. Selain itu ada pula slogan-slogan semisal "Dengan dangdut kita sukseskan pembangunan" dan "dangdut musik kita, musik rakyat kita".

Infografik Artis dan Kampanye

Masih Akan Terus Dipakai

Kampanye dengan melibatkan musisi ini terus berlanjut, bahkan setelah Orde Baru tumbang. Pada 2004, pemilu pertama usai Soeharto lengser, kampanye politik melalui musik malah makin gencar. Calon Presiden seperti Wiranto dan Susilo Bambang Yudhoyono bahkan tampil sebagai bintang tamu di acara Akademi Fantasi Indosiar.

Di era media sosial, kehadiran konser dalam kampanye politik, mempunyai arti yang baru: cara menunjukkan jumlah pendukung. Kini kampanye via konser berfungsi tak sekadar meraih suara pemilih mengambang, tapi juga menjadi senjata untuk perang syaraf. Kampanye yang dihadiri banyak orang seperti menunjukkan: ini pendukung gue, banyak kan? Mana pendukung lu? Sebaliknya, kampanye yang dihadiri sedikit orang akan diolah menjadi bahan ejekan. Atau diatur supaya tampak sepi, lalu dijadikan bahan perang komentar di media sosial.

Yang pasti, kampanye dengan musik akan semakin populer. Musik masih dianggap sebagai kekuatan menarik massa yang paling mudah. Sekarang saja sudah bisa kita lihat bagaimana musisi dipakai untuk menggalang massa di Pilkada DKI Jakarta 2017. Baru-baru ini, diadakan konser Gue 2 di Senayan, Jakarta Pusat. Konser ini membawa serta beberapa musisi dan seniman. Mulai dari Ello, Tompi, Once, Sandhy Sandoro, Iwa K, Dira Sugandi, dan Slank.

Menarik melihat bagaimana Slank kembali turun ke kampanye politik. Pada 2014, Slank dan konser Salam 2 Jari terbukti bisa mendongkrak perolehan suara Jokowi-JK, yang berujung pada kemenangan mereka. Akankah peristiwa serupa terulang di Pilkada DKI Jakarta? Mari ditunggu.

Baca juga artikel terkait PILGUB DKI JAKARTA 2017 atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Musik
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani