Menuju konten utama

Menjadi yang Terbaik di Udara

Setiap tahun, Skytrax rutin mengeluarkan penghargaan untuk maskapai-maskapai terbaik. Jika tahun lalu Garuda Indonesia berada dalam peringkat 8 maskapai terbaik dunia, kali ini mereka harus terlempar. Meski demikian, Garuda Indonesia masih berhasil mempertahankan 5 bintang dan menyabet penghargaan lain.

Menjadi yang Terbaik di Udara
Miss International 2015 Edymar Martinez Blanco (kanan) didampingi Puteri Indonesia Kezia Roslin Cikita Warouw (kiri) mengunjungi Garuda Training Center di Jakarta. [Antara Foto/Lucky R]

tirto.id - Charles Lindbergh, penerbang terkenal Amerika Serikat yang pernah menempuh jarak 5.800 kilometer dari New York ke Perancis dengan pesawat satu mesin, suatu saat pernah berkelakar.

"Kalau boleh memilih, aku lebih memilih terbang dengan burung ketimbang menaiki pesawat."

Lucu, tentu saja. Apalagi kalimat itu datang dari penerbang legendaris yang pernah terbang 33,5 jam non-stop dengan pesawat bermesin mengkhawatirkan. Tapi kalimat Lindbergh ada benarnya. Menaiki pesawat adalah upaya berdamai dengan ketidakpastian.

Ketika berada di atas pesawat, sesaat sebelum lepas landas, semua penumpang pasti merasa jantung diremas sarung tangan berduri. Ketika sudah mengapung di atas ketinggian belasan ribu kaki dan lampu tanda kenakan sabuk pengaman sudah dimatikan, semua masih bisa terjadi.

Juli 2014, pesawat Malaysia Airlines MH17 jatuh ditembak di wilayah Ukraina. Semua penumpang tewas. Maret 2015, pesawat Germanwings yang membawa 150 orang, kebanyakan adalah murid sekolah, menabrak Pegunungan Alpen saat kopilot mengunci kokpit dan dengan sengaja menabrakkan pesawat ke tebing. Semua mesin pesawat itu bagus. Kondisi cuaca cerah. Namun, tragedi tetap datang, dan tak ada yang bisa menduganya.

Dalam bayangan penumpang yang sedang mengapung di atas ketinggian 15 ribu kaki, keselamatan adalah yang utama. Pelayanan yang cepat, kursi yang empuk, atau pramugari ramah adalah bonus semata. Kalau dapat kursi bertungau, pramugari judes yang seperti baru kena talak, atau makanan yang rasanya menggelikan, anggap saja itu lelucon hidup yang cukup digrundeli dalam hati. Ketika pesawat mendarat tanpa celaka, kesimpulan bisa diambil: pesawat yang mereka tumpangi adalah pesawat terbaik karena berhasil mendarat dengan selamat.

Di industri penerbangan, keselamatan memang paling penting. Tapi ada banyak hal lain yang tak kalah penting. Bagi entitas maskapai yang servisnya ada di udara, ternyata sebagian besar faktor yang menentukan kualitas maskapai ada di darat. Setidaknya hal itu yang dinilai oleh Skytrax, sebuah perusahaan konsultan asal Inggris yang setiap tahun selalu menerbitkan penghargaan maskapai dan bandara terbaik.

Penghargaan Skytrax amat bergengsi bagi dunia penerbangan. Banyak yang menjulukinya sebagai "Oscar-nya industri penerbangan". Tahun ini ada 280 maskapai yang dinilai oleh 19,2 juta penumpang dari 104 negara. Ada 41 indikator yang menentukan kualitas suatu maskapai.

Di sini pendapat bahwa kenyamanan itu nyaris sama pentingnya dengan keselamatan menemui pembenaran. Indikator kualitas ala Skytrax antara lain pelayanan check-in, kenyamanan kursi, kebersihan kabin, makanan, minuman, hingga pelayanan pramugari. Dari sana, didapatlah nama-nama maskapai terbaik berdasarkan kategori masing-masing.

Secara global, ada 13 kategori dalam penghargaan ini. Mulai dari maskapai murah terbaik, hingga maskapai dengan hiburan in-flight terbaik. Yang paling prestisius adalah 100 maskapai terbaik. Sayangnya, maskapai andalan Indonesia, Garuda Indonesia, harus terlempar dari 10 besar dalam kategori 100 Maskapai Terbaik Dunia. Tahun lalu, maskapai berlambang burung legenda itu berada dalam nomor 8. Tahun ini, Garuda harus puas berada di peringkat 11.

Daftar 100 maskapai terbaik ini memang ketat dan nyaris selalu berubah urutannya setiap tahun. Maskapai Lufthansa misalkan. Maskapai asal Jerman ini tahun lalu hanya ada di peringkat 12. Sekarang berhasil menyodok ke peringkat 10. Begitu pula Emirates, maskapai yang bermarkas di Dubai ini hanya ada di peringkat 5 tahun lalu, tapi kini jadi pemuncak.

Meski terlempar dari 10 besar, Garuda tetap boleh menepuk dada. Mereka menyabet penghargaan penting, Staff Kabin Terbaik, tiga tahun berturut-turut. Selain itu, Garuda Indonesia masih masuk dalam maskapai bintang 5. Hanya ada 8 maskapai yang masuk dalam kategori ini. Ada beberapa indikator untuk menentukan maskapai bintang 5. Antara lain airport service, airline lounge, first class lounge, business class lounge, aircraft seats, makanan dan minuman, hingga hiburan in-flight. Nama lain yang menghuni kelas elite ini adalah All Nippon Airways, Asiana Airlines, Cathay Pacific, EVA Air, Hainan Airlines, Qatar Airways, dan Singapore Airlines.

Industri penerbangan adalah sektor penting sekaligus bernilai raksasa dengan pertumbuhan yang cepat. Menurut International Air Transport Association, pendapatan dari sektor penerbangan meningkat dua kali lipat dalam sepuluh tahun terakhir. Dari 369 miliar dolar pada 2014, jadi 746 miliar dolar pada 2014. Tapi industri juga termasuk amat ketat, dengan persaingan antar maskapai hingga fluktuasi harga bahan bakar.

Mungkin orang bertanya apa pentingnya penghargaan seperti Skytrax bagi industri penerbangan. Jawabannya adalah reputasi.

Reputasi tak jatuh dari langit. Ia dilahirkan dari kerja keras dan konsistensi. Maskapai dengan reputasi yang baik pasti akan dicari orang. Lebih-lebih di industri penerbangan yang jelas mengandalkan reputasi. Tak ada orang yang dengan sengaja menaiki pesawat dengan reputasi busuk. Maskapai dengan reputasi yang baik bisa memberikan rasa aman dan nyaman pada penumpang.

Jika semua maskapai seharusnya memberikan rasa aman, tidak demikian dengan rasa nyaman. Tak semua pesawat bisa menghadirkan hal itu. Karena itu banyak maskapai besar berlomba menghadirkan kenyamanan pada penumpang, terutama untuk mereka yang duduk di barisan depan, dengan kursi yang lega dan selalu dipersilakan turun terlebih dulu.

Harga sebuah kenyamanan memang jadi sokongan penting bagi industri penerbangan. Menurut penghitungan Ascend, perusahaan konsultasi penerbangan yang bermarkas di Inggris, pendapatan dari kelas bisnis bisa mencapai 40 hingga 50 persen dari total pendapatan maskapai.

Untuk Garuda Indonesia sendiri, harga antara kelas ekonomi dan bisnis memang merentang jauh. Untuk penerbangan Jakarta-Denpasar pada tanggal 24 Desember 2016, misalkan. Tiket kelas ekonomi dibanderol Rp1,1 juta. Sedangkan kelas bisnis harga paling murah mencapai Rp2,5 juta dan paling mahal mencapai Rp4 juta. Menurut teori umum di dunia penerbangan, harga tiket bisnis biasanya mencapai 5 hingga 10 kali dari harga kelas ekonomi.

"Pesawat kelas pertama itu adalah status," kata Brett Snyder, yang pernah menjabat sebagai presiden Cranky Concierge, sebuah website travel. Karena status itu, orang-orang kaya atau para pebisnis tak akan segan mengeluarkan belasan juta untuk kenyamanan ala kelas bisnis. Lagi-lagi, mereka juga mencari maskapai dengan reputasi terbaik.

Maka benar adanya: reputasi dan kenyamanan memang mahal harganya.

Baca juga artikel terkait GARUDA atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Bisnis
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti