tirto.id - Permasalahan pengelolaan informasi dan data pribadi kembali muncul ke permukaan. Setelah kasus penjualan data 270 juta data warga di dunia maya, kali ini sejumlah pegiat kebebasan berekspresi dan hukum mempersoalkan regulasi Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) yang mewajibkan seluruh platform swasta (atau disebut 'PSE privat') untuk memberikan data pribadi kepada pemerintah.
Regulasi yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik Lingkup Privat. Peraturan ini disahkan pada 24 November 2020 dan akan berlaku efektif 24 Mei 2021.
Permenkominfo 5/2020 juga mewajibkan PSE privat--termasuk platform media sosial--untuk wajb mendaftar kepada pemerintah. Mereka harus melaporkan mulai dari model bisnis hingga data pribadi yang diproses. Platform juga diminta untuk memberikan akses sistem elektronik jika diminta kementerian/lembaga dan harus diberikan selama memenuhi syarat.
PSE privat juga dituntut untuk membantu penegak hukum untuk penanganan perkara dan data yang diminta wajib diberikan paling lambat 5 hari waktu kalender sejak permintaan diajukan.
Dalam Kertas Posisi, SAFEnet, perkumpulan yang mengadvokasi kebebasan digital, mengatakan peraturan ini berpotensi menjadi "pelanggaran hak-hak dasar atau hak-hak asasi manusia yang dilegalkan."
Peraturan ini menurut mereka berpotensi bertentangan dengan Pasal 12 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Pasal 17 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik karena membuat data pribadi begitu mudah diakses oleh otoritas, padahal selama ini saja tak ada pengawasan yang independen dalam memperoleh akses serta data tersebut kerap disalahgunakan.
"Praktis, pengaturan ini membuka ruang pelanggaran hak-hak asasi manusia, khususnya hak privasi," tulis mereka.
Peraturan ini juga memungkinkan dilakukanya pemutusan akses yang itu bermakna berpotensi terjadinya pembatasan hak pengguna. Terdapat 65 kata 'pemutusan akses' dalam peraturan itu. Standar pembatasannya pun dianggap karet.
Mereka juga mempermasalahkan pasal 9 ayat (3) dan (4) yang menyatakan PSE privat wajib tidak memuat informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilarang. SAFEnet menyebut frase 'dilarang' dalam pasal itu tafsirannya sangat luas. "Misalnya, apa yang dimaksudkan dengan 'meresahkan masyarakat', bagaimana ukuran atau standarnya, siapa yang memiliki wewenang dalam menentukannya, dan bagaimana bila publik merasa bahwa itu bukan bagian dari hal yang 'meresahkan masyarakat'," tulis mereka.
Kemudian, substansi peraturan ini juga dianggap "melampaui batasan yang diberikan dalam UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan." Secara legal, "materi muatan permenkominfo semestinya sebatas dalam rangka 'penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan'," sementara "substansi Permenkominfo 5/2020 mengandung materi muatan yang mencakup pengaturan hak-hak digital, termasuk pembatasannya."
Damar Juniarto, Direktur Eksekutif SAFEnet, mengatakan mereka "telah bersurat secara resmi kepada Menkominfo Johnny G. Plate untuk menyampaikan pandangan organisasi yang pada intinya melihat ada ancaman baru dari Permenkominfo 5/2020. Kami berharap Menkominfo berkenan mempertimbangkan rekomendasi kami."
Alih-alih merealisasikan peraturan ini, SAFEnet meminta agar pemerintah menggodok dengan benar Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) karena belum jelas lingkup tanggung jawabnya. Mereka mendorong agar UU PDP menjadi acuan dalam pengelolaan informasi. Selain itu juga melibatkan publik dalam pembahasan kebijakan maupun peraturan terkait.
"Pemerintah perlu pula memastikan perlindungan hak privasi atau pribadi, termasuk dalam lingkup PSE privat," kata Damar.
Selain SAFEnet, Human Right Watch (HRW) ikut mengritik peraturan ini. Menurut mereka ini adalah upaya menyensor pendapat pubik. "Ini mengandung risiko kepada privasi, kebebasan berekspresi, dan akses informasi bagi para pengguna internet," kata Asia Legal Advisor HRW Linda Lakhdhir.
Ia juga membebani platform maupun layanan digital di Indonesia, termasuk Google, Facebook, Twitter, dan TikTok, karena jika menolak mereka akan diblokir penuh.
Peneliti dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar menjelaskan bahwa peraturan ini tidak jelas mekanisme hingga pengawasannya.
"Ini yang kemudian [potensial] terjadi overblocking, permintaan dari agensi pemerintahan tertentu untuk membatasi konten-konten tertentu atau permintaan dari orang per orang tertentu untuk membatasi konten tertentu dan seterusnya," kata Wahyudi kepada reporter Tirto, Jumat (21/5/2021).
Wahyudi mengatakan bahwa data pribadi dan pembatasan hak seperti takedown hanya bisa dilakukan lewat dua cara, yakni lewat regulasi setingkat undang-undang atau putusan pengadilan. Permenkominfo jelas menabrak itu.
Ia juga khawatir pihak yang mendapatkan akses seperti pemerintah, lembaga, maupun penegak hukum melakukan abuse of power dengan mengambil materi yang tidak sesuai dengan surat permohonan kepada platform.
Selain itu, Permenkominfo 5/2020 juga menimbulkan situasi state-centered karena membuat pemerintah menjadi regulator, pengawas, sekaligus pemberi sanksi. Hal ini menurutnya jauh dari nilai demokrasi.
"Untuk negara-negara demokratis, mengatur teknologi internet tidak disarankan mengambil model yang sifatnya state-centered yang berpusat pada negara atau direct regulation, di mana negara langsung mengambilalih atau menggunakan otoritasnya tetapi lebih didorong model-model yang sifatnya co-regulation," kata Wahyudi. "Co-regulation ini adalah bagaimana seluruh stakeholder terlibat sehingga kemudian pengaturan yang diciptakan, aturan yang diciptakan, risikonya juga minim," tambahnya.
Sama seperti yang lain, Wahyudi mendorong agar Permenkominfo 5/2020 ditunda dan dikonsultasi ulang. "Yang jangka panjang, ya, segera revisi Undang-Undang ITE satu sisi dan yang lain revisi Undang-Undang Telekomunikasi dengan tujuan model pembangunan di Indonesia seperti apa, penguatan sistem demokrasi, termasuk perlindungan HAM," kata Wahyudi.
Menteri Jhonny mengatakan kepada reporter Tirto bahwa peraturan ini "telah melalui proses yang panjang" sebelum diterbitkan, tidak kurang dari setahun, baik untuk uji publik, sosialisasi, dan telah mendapat berbagai masukan dari berbagai pihak.
Menurutnya tak ada yang keliru dari peraturan ini karena ia "demi kepentingan nasional dan mengutamakan kepentingan rakyat dan masyarakat indonesia semata bukan demi kepentingan bangsa-bangsa lain atau kelompok kelompok atau organisasi masyarakat lain."
"Kealpaan beberapa lembaga atau pendapat perorangan dalam proses uji publik dan sosialisasi janganlah dengan serta merta menuduh bahwa permenkominfo tidak melalui proses proses tersebut. Itu tidak fair," pungkasnya.
Editor: Rio Apinino