tirto.id - Kelangkaan stok obat Antiretroviral (ARV) kembali terjadi di sejumlah fasilitas kesehatan di beberapa kabupaten/kota. Kementerian Kesehatan dituntut menemukan solusi permanen atas masalah yang berdampak pada 107 ribu orang dengan HIV/AIDS (ODHA) ini.
"Ini, kan, bukan kejadian pertama. Dalam periode setahun ini sudah yang ketiga kali yang saya hitung," kata Direktur Eksekutif Rumah Cemara, Adit Taslim kepada reporter Tirto, Senin (9/3/2020).
Kelangkaan ARV bukan hal sepele bagi pengidap HIV/AIDS. ARV diperlukan untuk memperlambat perkembangan virus sehingga kekebalan tubuh tetap terjaga, sementara obat penyembuh belum juga ditemukan.
Obat itu harus diminum setiap hari seumur hidup. Jika lalai, virus berpotensi menjadi kebal dengan obat tersebut sehingga orang dengan HIV/AIDS harus mengganti obat ke ARV jenis lain atau meningkatkan jenis obatnya ke lini dua, dan seterusnya.
Sialnya, kata Adit, obat ARV lini dua dan lini tiga terbilang langka dan harganya pun lebih mahal. "Lini tiga ini setahu saya tidak ada di Indonesia. Ada beberapa orang yang sudah minum lini tiga, itu dia harus beli dari Bangkok," kata Adit.
Adit mengaku sudah 16 tahun mengonsumsi obat ARV lini satu, dan selama itu ia telah berganti tiga jenis obat.
Kelangkaan seperti ini sudah biasa terjadi sehingga ia tidak terlalu syok. Yang dia pikirkan saat ini adalah kepanikan yang melanda pengidap HIV/AIDS yang masih tergolong baru dalam mengakses obat-obatan.
Beberapa hari lalu Adit mendapat pesan WhatsApp dari seorang ODHA dari Kota Padang. Orang itu mengaku panik sebab layanan kesehatan tempatnya biasa memperoleh obat ARV sudah kehabisan stok.
Selain itu, banyak juga ODHA yang menanyakan hal yang sama melalui direct message ke akun Instagram Rumah Cemara, kata Adit.
Ada dua hal yang dikhawatirkan Adit. Pertama, mereka akan mencari obat-obatan itu melalui toko online. "Tapi kita enggak tahu itu obat palsu atau seperti apa."
Kedua, ia khawatir ODHA akan kehilangan motivasi untuk berobat di tengah ketidakpastian stok obat, padahal menumbuhkan semangat bagi ODHA untuk berobat dan bertahan hidup bukanlah perkara mudah. "Tentu saja sulit, namanya harus minum obat seumur hidup," kata dia.
Berdasarkan catatan 70 LSM yang fokus di masalah HIV/AIDS, kekosongan ARV terjadi di 14 kabupaten/kota di Indonesia, yaitu di Depok, Jakarta Selatan, Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Deli Serdang, Malang, Kota Bogor, Kota Bekasi, Tanjung Pinang, Kupang, Yogyakarta, Surabaya, Sorong, dan Padang.
Memang, kekosongan itu hanya terjadi di sejumlah fasilitas kesehatan di kota tersebut. Masalahnya, pengidap HIV/AIDS tidak bisa seenaknya memperoleh obat dari fasilitas kesehatan lain meskipun di kota yang sama.
Pangkal Masalah
Masalah pengadaan ARV jadi penyakit berkepanjangan. Pada awal 2018, terjadi gagal lelang untuk ARV Fixed Dose Combination (FDC) jenis Tenofovir, Lamivudin, dan Efavirens (TLE). Disinyalir, dua perusahaan distributor yakni PT Kimia Farma dan PT Indofarma tidak sepakat dengan harga yang ditentukan Kementerian Kesehatan.
Tahun berikutnya, Kemkes yang masih dipimpin Nila Moeloek mengeluarkan kebijakan bahwa pengadaan obat harus dilakukan lewat e-katalog sektoral yang ditangani langsung oleh Kemkes, tidak lagi melalui e-katalog dari LKPP.
Sebagai catatan, sebelumnya pengadaan ARV dilakukan lewat lelang biasa. Akibat upaya pembaruan sistem ini, lagi-lagi lelang obat tak dilakukan.
Akan tetapi, kebijakan ini dibatalkan ketika Terawan Agus Putranto menduduki kursi Menkes pada akhir 2019. Mantan direktur RSPAD Gatot Subroto itu berkehendak agar pengadaan obat-obatan dilakukan oleh LKPP. Sialnya, ARV dalam bentuk FDC yang jadi favorit pengidap HIV/AIDS belum tersedia di e-katalog LKPP.
"Akibatnya ya sudah, karena 2018 gagal lelang, 2019 tidak ada pembelian reguler karena pembenahan. Sekarang kita terima akibatnya," kata Direktur Eksekutif Koalisi AIDS Indonesia Aditya Wardhana saat dihubungi pada Senin (9/3/2020).
Sejak masalah itu terjadi, Kemkes mengandalkan bantuan dari lembaga donor Global Fund untuk pengadaan obat. Awal tahun ini, Kemkes juga melakukan upaya darurat untuk membeli ARV yang diperkirakan mencukupi sampai Mei 2020 mendatang.
Upaya ini bukan tanpa kendala. Aditya mengatakan, obat-obatan itu akan datang secara bertahap sehingga Kemkes harus memutar otak mencari cara mengedarkan pasokan itu ke seluruh Indonesia.
Kepala Bidang Humas Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Andy Martanto membenarkan lembaganya menyerahkan kewenangan e-katalog untuk urusan kesehatan ke Kemkes alias katalog sektoral. Kemkes dianggap paling memahami spesifikasi obat-obatan dan alat kesehatan yang diperlukan.
Namun, ketika Menteri Terawan membatalkan itu, kata dia, pihaknya kini harus bolak balik berkoordinasi dengan Kemkes untuk pengisian e-katalog.
"Letika ada perubahan yang tadinya katalog sektoral harusnya ditangani Kementerian Kesehatan kembali lagi ke LKPP, proses ini akhirnya jadi menghambat pengadaan obat," kata Andy saat dihubungi reporter Tirto, Senin (9/3/2020).
Terkait ARV, kata dia, LKPP telah memasukkan obat ini sebagai obat prioritas.
Saat ini LKPP masih melakukan tender dan sudah memasuki masa sanggah. Proses ini masih cukup panjang. Jika masa sanggah sudah selesai, maka LKPP akan melakukan penetapan penyedia dan review hasil tender. Bila dirasa tidak ada aturan yang dilanggar, baru dilakukan kontrak katalog dan akan tayang di katalog.
Meski demikian, Andy tidak bisa memprediksi kapan obat-obatan itu akan tayang di e-katalog.
"Ini kan masa sanggah, kalau ada sanggah kan berarti kami harus menyiapkan jawaban. Kalau sanggahan diterima berarti kan batal dan kembali ke awal," kata dia.
Untungnya Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes Engko Sosialine Magdalene mengatakan e-purchasing dan pendistribusian tahap awal sudah dilaksanakan pada Februari 2020. Distribusi tahap berikutnya mulai kemarin.
"Jadi per Senin sudah didistribusikan ke provinsi," kata Engko saat dikonfirmasi reporter Tirto, Senin malam (9/3/2020).
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz