Menuju konten utama

Mengukur Dampak Vonis Andi Narogong untuk Setya Novanto

Kuasa hukum Andi Narogong mengatakan kliennya akan mengungkap aliran dana korupsi e-KTP ke Setya Novanto.

Mengukur Dampak Vonis Andi Narogong untuk Setya Novanto
Terdakwa korupsi KTP elektronik Andi Agustinus alias Andi Narogong mendengarkan penuntut umum dalam sidang pledoi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (14/11/2017). ANTARA FOTO/Rosa Panggabean.

tirto.id - Nama Setya Novanto kembali disebut dalam sidang vonis terdakwa kasus korupsi e-KTP, Andi Agustinus alias Andi Narogong di Pengadilan Tipikor, Kamis (21/12/2017). Politikus Partai Golkar ini disebut menerima aliran dana dari proyek e-KTP yang merugikan negara hingga Rp2,3 triliun.

Dalam sidang vonis disebutkan, berdasarkan sejumlah fakta hukum yang ada dalam persidangan Narogong, majelis hakim menyimpulkan ada bukti petunjuk keterlibatan Novanto dalam korupsi yang menyeret sejumlah nama politikus di DPR ini.

“Dari fakta-fakta hukum di atas, maka diperoleh bukti petunjuk yang meyakinkan bahwa proyek e-KTP ini, Setya Novanto telah memperoleh uang bersumber dari pencairan dana proyek e-KTP,” kata Hakim Emilia Djaja Subagja saat membacakan putusan vonis untuk Andi Narogong, di PN Jakarta Pusat.

Fakta hukum yang dimaksud hakim adalah rangkaian aliran dana yang diterima Novanto. Hakim melihat keterlibatan Novanto terlihat sejak masa proses penganggaran proyek e-KTP di DPR RI. Hakim menilai pertemuan antara Narogong, 3 PNS Kemendagri kala itu, yakni: Irman, Sugiharto, dan Diah Anggraini bersama Novanto di Hotel Grand Melia sebagai sebuah fakta hukum berkaitan pembahasan anggaran proyek tersebut.

Kemudian, hakim juga memperhatikan pertemuan antara Irman, Narogong, dan Novanto di ruang kerjanya di DPR. Kala itu, Novanto mengaku tengah berkoordinasi tentang pelaksanaan proyek e-KTP. Novanto bahkan sempat menginformasikan kepada Irman bahwa perkembangan proyek e-KTP akan dikabari oleh Narogong.

Hakim pun menimbang terkait proses pembahasan anggaran pengadaan e-KTP antara Novanto dan Johanes Marliem selaku pengusaha penyedia alat AFIS L1. Dalam pembahasan itu, ketiganya sepakat memasang harga 0,5 USD untuk setiap keping KTP elektronik. Padahal, harga AFIS senilai 0,3 USD.

Dari selisih tersebut, 10 persen keuntungan diserahkan kepada PT Quadra Solution. “Terdakwa [Narogong] dan Johanes Marliem juga menjelaskan kepada Setya Novanto bahwa selisih harga diskon tersebut juga dipergunakan untuk diberikan kepada Setya Novanto sebagai commitment fee sebesar 5 persen dari nilai kontrak,” kata Emilia.

Majelis Hakim juga menjadikan fakta persidangan tentang pertemuan antara Paulus Tannos, Johannes Marliem, Wisnu Edy Widjaya, dan Andi Narogong yang membahas tentang mekanisme pemberian fee. Dalam pertemuan tersebut, disepakati bahwa keuntungan bersih dari masing-masing fee diperoleh sebesar 10 persen dari total nilai proyek dipotong fee untuk sejumlah pejabat pemerintahan.

Pemberian pun dilakukan oleh masing-masing perusahaan. PT Quadra Solution disetujui menyerahkan fee sebesar 5 persen dari total nilai proyek Quadra untuk Novanto. Sementara itu, fee untuk Irman dan pegawai Kemendagri diambil sebanyak 5 persen dari nilai total proyek yang dipegang oleh Perum PNRI.

“PT Sandipala Artha Putra bertanggung jawab memberikan fee kepada Asmin Aulia, saudara kandung dari Gamawan Fauzi sebesar 5 persen dari nilai jumlah pekerjaan yang diperoleh,” kata hakim Emilia.

Selain itu, hakim juga mencermati pertemuan antara Marliem, Paulus Tannos, Narogong dan Novanto di rumah mantan Ketua Fraksi Golkar ini. Dalam pertemuan tersebut, mereka membahas tentang kesulitan konsorsium PNRI yang tidak mendapat modal setelah menang tender proyek e-KTP. Saat itu, Novanto terlibat dengan menyarankan kepada para pengusaha pemenang proyek e-KTP untuk berbicara dengan pengusaha Made Oka Masagung.

Dalam pertemuan tersebut, kata Hakim Emilia, disepakati bahwa fee yang akan diberikan kepada Novanto sejumlah $7 juta yang akan disalurkan lewat PT Quadra Solution secara bertahap. Untuk menyalurkan fee tersebut disepakati akan dibuatkan invoice dari Johanes Marliem kepada PT Quadra Solution.

Hal ini dibuktikan dengan adanya invoice dari Marliem kepada PT Quadra Solution. Anang selaku Dirut PT Quadra mengirimkan uang secara bertahap kepada Johanes Marliem lewat rekening perusahaan Biomorf Mauritius dan Biomorf Lone Indonesia. Uang tersebut dikirim ke perusahaan milik Made Oka Masagung di Singapura, yakni Delta Energy dan Home Investment Capital lewat Irvanto, keponakan Novanto.

Bukti adanya transfer diperkuat dengan keberadaan bank statement [catatan yang dilakukan bank atas setoran pihak nasabah dan pengambilannya] untuk perusahaan Home Investment, serta pengakuan Mede Oka. Saat itu, ia mengaku ada transfer sebesar $1.800.000 yang bersumber dari Biomorf Mauritius.

Ada pula uang masuk dari anak perusahaan milik Anang kepada perusahaan Made Oka di Singapura sebanyak $2.000.000 dengan catatan pembelian saham perusahaan yang dilakukan Narogong kepada Made Oka.

“Pada kenyataannya, tidak ada jual beli saham antara Made Oka Masagung kepada Anang Sugiana Sudharjo atau fiktif,” kata Hakim Emilia.

Hakim juga mencermati adanya penerimaan uang sebesar 383.040 dollar Singapura dari Muda Ikhsan Harahap dan rekening PT Delta Energy. Uang tersebut bersumber dari Made Oka Masagung atas permintaan Irvanto dan ditarik secara bertahap oleh Ikhsan. Setiap kali penarikan, uang tersebut diserahkan ke kediaman Irvanto di daerah Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Selain itu, ditemukan pula aliran dana kepada Irvanto Hendra Pambudi Cahyo selaku Dirut PT Murakabi Sejahtera. Irvanto yang juga keponakan Novanto itu memperkuat keterlibatan politikus Golkar ini dalam pengadaan proyek e-KTP, apalagi diperkuat dengan bukti kepemilikan saham PT Murakabi Sejahtera.

Sebagian besar saham PT Murakabi Sejahtera merupakan milik PT Mondialindo yang saham perusahaan milik istri Novanto, Deisti Astriani Tagor serta dua anak Novanto, yakni Reza Herwindo dan Defina Michella. Berdasarkan sejumlah fakta hukum tersebut, majelis hakim meyakini Novanto menerima uang dari pencairan dana proyek e-KTP sebesar $1.800.000, $2.000.000, serta 383.040 dolar Singapura.

“Dari rangkaian fakta-fakta hukum di atas, terlihat jelas ada rangkaian perbuatan untuk menyamarkan atau mengaburkan pemberian uang dari konsorsium kepada Setya Novanto yang bertujuan menjauhkan pelaku dari tindak pidana korupsi,” kata Hakim Emilia.

Andi Narogong Siap Membuka Fakta Keterlibatan Novanto

Dalam kasus korupsi e-KTP ini, Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis 8 tahun penjara dan denda Rp1 miliar kepada Narogong. Pria yang berprofesi sebagai pengusaha ini dinyatakan bersalah karena terbukti terlibat dalam korupsi proyek e-KTP ini.

Dalam sidang tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor juga mengabulkan permohonan Justice Collaborator (JC) yang diajukan Andi Narogong. Majelis berpendapat, Narogong telah kooperatif dalam persidangan dan mengungkap nama-nama lain dalam kasus korupsi e-KTP.

Hakim menilai sikap Narogong sudah sesuai dengan aturan Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) Nomor 4 tahun 2011. Aturan itu menyebutkan, seseorang bisa dinyatakan sebagai Justice Collaborator apabila mengakui kejahatannya, bukan pelaku utama, bersedia membantu membongkar kasus, serta bersedia mengembalikan aset-aset hasil dari korupsi yang dilakukannya.

Samsul Huda, kuasa hukum Narogong mengatakan, kliennya akan tetap konsisten untuk mengungkap tentang adanya aliran dana korupsi e-KTP ke Novanto. “Kalau siap, pasti siap karena dia juga sudah menyatakan konsisten untuk bersikap kooperatif kalau soal bongkar-membongkar,” kata Huda usai pembacaan vonis, di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (21/12/2017).

Huda menyatakan pernyataan Narogong tidak akan ekstrem dalam persidangan Novanto. Namun demikian, ia memastikan fakta yang disampaikan kliennya pada 30 November 2017 saat pemeriksaan terdakwa, ditambah isi nota pembelaan sudah, cukup tegas membuktikan keterlibatan mantan ketua umum Golkar itu.

“Fakta-fakta itu cukup terang, cukup kuat dan Andi Narogong tinggal menyampaikan fakta yang dialami,” kata Huda menegaskan.

Respons Kuasa Hukum Novanto

Maqdir Ismail, salah satu kuasa hukum Setya Novanto angkat bicara mengenai fakta persidangan yang menyebut kliennya menerima uang. Maqdir berkata putusan Narogong justru membuktikan penerimaan duit yang didakwakan kepada Novanto telah salah.

“Artinya kan itu tidak sama dengan yang didakwakan kepada Pak Novanto,” kata Maqdir saat dihubungi Tirto, pada Kamis malam.

Maqdir menilai, jumlah uang yang diterima Novanto tidak mungkin mencapai $7,3 juta. Bahkan, ia bersikukuh bahwa dakwaan Novanto tetap salah, meskipun angka pemberian dalam fakta Andi Narogong menyatakan ada aliran dana dengan total sebesar $3.800.000 dan 383.040 dolar Singapura.

Selain itu, Maqdir mencontohkan sejumlah fakta persidangan yang perlu ditelaah lebih jauh. Sebagai contoh, pemberian uang dari Anang kepada Made Oka sebesar $1.800.000. Ia mengklaim Made Oka mengaku ada pembelian investasi kepada perusahaan Oka. Anang pun membenarkan adanya pembelian investasi itu.

“Dalam perkara itu, Andi Narogong tidak keberatan dengan keterangan itu. Kan jadi persoalannya sekarang dari mana itu didapatkan? Saya punya rekamannya, lho, keterangan itu,” kata Maqdir.

Maqdir menurutkan, yang mengherankan dalam putusan Narogong soal keterlibatan Novanto adalah ketidaksesuaian antara vonis Irman dan Sugiharto, serta vonis Narogong. Dalam vonis Irman dan Sugiharto, Novanto tidak disinggung menerima aliran dana. Akan tetapi, dalam vonis Andi Narogong, Novanto justru disebut sebagai orang yang menerima aliran dana. Padahal, majelis hakim yang memutus Irman dan Sugiharto serta Andi Narogong adalah orang yang sama.

Meskipun begitu, Maqdir tetap menghormati keputusan hakim. “Itu sepenuhnya kewenangan hakim [memutus perkara], tapi persoalan kita sekarang kenapa hakim yang sama memutus perkara yang didakwa bersama-sama dengan pertimbangan yang berbeda,” kata Maqdir mempertanyakan.

Maqdir menegaskan, putusan hakim dalam perkara Narogong tidak bisa digunakan sebagai alat untuk membuktikan keterlibatan Novanto. Ia menilai, pertimbangan perkara Narogong tidak bisa dijadikan acuan untuk menghukum kliennya itu. Maqdir yakin fakta persidangan bisa saja tidak sama.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz & Maulida Sri Handayani