Menuju konten utama

Menghindari Tragedi Cincin Api dengan Konstruksi Tahan Gempa

Solusi rumah tahan gempa terjangkau sudah ada, baik yang disediakan pemerintah maupun nenek moyang kita.

Menghindari Tragedi Cincin Api dengan Konstruksi Tahan Gempa
Warga melihat rumah yang rusak akibat terdampak gempa di Sukamulya, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Minggu (27/11/2022). ANTARA FOTO/Novrian Arbi/tom.

tirto.id - Gempa bumi berskala 5,6 magnitudo (M) di Kabupaten Cianjur pada Senin (21/11/2022) merenggut 272 nyawa, dan memicu kerugian triliunan rupiah. Saatnya melirik konstruksi hunian tahan gempa, yang ternyata juga telah diwariskan nenek moyang.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Jawa Barat melaporkan 272 orang meninggal dunia di Cianjur, sementara 40 orang dilaporkan masih hilang, dan setidaknya 2.043 orang dirawat karena luka-luka.

“Dari 272 ini, yang sudah dapat diidentifikasi by name by addressnya (berdasar nama dan alamat) ada 165 orang. Sementara yang masih kita cari terus siapa ini jenazahnya, identitasnya masih ada 107 jenazah,” ujar Kepala BNPB Suharyanto pada konferensi pers Kamis (24/11/2022).

Selain itu, estimasi kerugian ekonomi gempa Cianjur mencapai Rp1.061 triliun. BNPB memperkirakan lebih dari 22.000 rumah hunian rusak, belum lagi beberapa infrastruktur publik seperti pasar, jembatan, fasilitas sosial dan gedung pemerintahan.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dalam konferensi pers mengimbau masyarakat Cianjur tetap mewaspadai potensi gempa susulan beberapa hari ke depan. Melansir situs BMKG, gempa susulan di Cianjur tercatat pada kisaran 2,2-4,1 magnitudo.

SEPEKAN BENCANA GEMPA CIANJUR

Tim SAR gabungan membantu warga membenahi rumahnya yang rusak akibat terdampak gempa di Sukamulya, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Minggu (27/11/2022). ANTARA FOTO/Novrian Arbi/tom.

Musibah gempa ini sejatinya memunculkan beberapa pertanyaan di benak masyarakat awam. Pasalnya, gempa bumi Cianjur berskala sedang, tetapi mengakibatkan kerusakan yang luar biasa dan merenggut ratusan nyawa.

Padahal, beberapa hari sebelumnya BMKG mencatat terjadi gempa berskala 6,8M pada 18 November 2022 di Bengkulu pukul 20.37 WIB. Namun, tidak ada kerugian yang ditimbulkan karena titik gempa di tengah laut berkedalaman 10 kilometer (km).

Kantor PBB untuk Pengurangan Risiko Bencana (UNDRR) menyebutkan bahwa ada dua faktor penting yang menentukan intensitas goncangan tanah akibat gempa bumi, yakni skala (magnitudo) dan jaraknya ke permukaan tanah.

Jika pusat gempa di kedalaman tanah lebih dari 50 km, intensitas goncangannya berkurang karena gelombang seismik merambat setidaknya 50 km sebelum mencapai pemukiman manusia. Gempa demikian jarang menimbulkan korban jiwa yang besar.

Ambil contoh gempa Tasikmalaya yang berkekuatan 6,5 M pada tahun 2017 dengan kedalaman 90 km. Gempa ini tercatat hanya merenggut empat orang korban, meski merusak 4.826 bangunan rumah.

Berbeda dari itu, titik gempa Cianjur hanya berjarak beberapa kilometer dari permukaan tanah dengan tingkat guncangan yang tergolong parah. Meski berkekuatan 5,6 M atau lebih kecil dari gempa Tasikmalaya, dampak gempa Cianjur delapan kali lebih besar dari gempa Tasikmalaya.

Ada alasan lain mengapa gempa bumi dangkal di daratan bisa begitu dahsyat, khususnya di Jawa yang kebanyakan orang tidak menyadari bahayanya.

Memahami Karakter Berbahaya Gempa

UNDRR mencatat gempa bumi, termasuk tsunami, adalah jenis bencana alam paling mematikan, meski frekuensi kejadiannya terbilang lebih jarang dibandingkan dengan bencana alam lainnya seperti banjir dan badai.

Dalam laporannya yang berjudul "Human Cost of Disasters” dalam dua dekade terakhir (2000-2019) ada 7.348 musibah di seluruh dunia, dengan total populasi yang terdampak sebanyak 4 miliar orang, dengan 1,23 juta jiwa meninggal dunia.

Dari uraian tersebut, terlihat bahwa frekuensi musibah gempa di dunia hanya 8% (552 kejadian), tapi menyumbang 58% (721.318 jiwa) total kematian. Sementara itu, banjir yang frekuensinya terbanyak, mencapai 3.254 (44%) kejadian, tercatat “hanya” menewaskan 104.614 orang.

Pada tahun 2021, Emergency Event Database (EM-DAT) mencatat musibah gempa bumi menewaskan sekitar 2.742 orang dengan total kejadian sepanjang tahun lalu hanya 28 kali, sebagaimana dilansir laporan “2021 Disasters in numbers.”

Rentang jumlah korban gempa bumi juga sangat tidak merata. Di beberapa kejadian, gempa bisa memicu kematian di angka kurang dari 1.000 di seluruh dunia dalam setahun. Namun, pada satu kejadian, bencana yang sama terkadang menewaskan ribuan jiwa sekaligus.

Ambil contoh gempa bumi tahun 2015 di Nepal dan gempa bumi tahun 2018 di Palu, Indonesia yang masing-masing menewaskan 9.969 dan 4.340 kematian. Salah satu pembedanya, adalah kedalaman pusat gempa.

Populasi di Pulau Jawa meningkat empat kali lipat selama abad ke-20, dan selama ini hanya ada satu gempa dangkal pada tahun 1924 yang merenggut sekitar 800 nyawa. Empat lainnya menyebabkan antara 10 hingga 100 kematian, dilansir PreventionWeb.

Baru pada tahun 2006 peristiwa yang sangat besar terjadi, yakni gempa bumi Yogyakarta tahun 2006 dengan kekuatan 6,3 M yang menewaskan 5.749 orang. Gempa dangkal inilah yang sangat berbahaya, karena lebih bisa meruntuhkan bangunan yang lantas menimbun para penghuninya.

Rugi Ribuan Triliun Akibat Gempa

Bencana gempa bumi tidak hanya mematikan, tapi juga mengakibatkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit. Sepanjang 2021, kerugian ekonomi akibat gempa mencapai US$11,3 miliar atau setara Rp177,4 triliun (kurs Rp15.700/US$).

Nilai tersebut, dapat dikatakan tidak terlalu besar karena tahun lalu tidak tercatat peristiwa gempa luar biasa. Namun secara statistik, gempa bumi di seluruh dunia memicu kerugian ekonomi yang jauh lebih besar dari bencana alam lainnya.

Menurut Laporan UNDRR kerugian ekonomi tertinggi dalam sejarah bencana alam dunia dicetak oleh gempa bumi, yakni ketika gempa bumi dan tsunami melanda Jepang pada tahun 2011. Nilai kerugian yang ditimbulkan mencapai US$239 miliar atau setara Rp3.752,3 triliun.

Indonesia merupakan negara yang rawan gempa. Menurut BMKG, hal ini lantaran Ibu Pertiwi dilalui oleh jalur pertemuan tiga lempeng tektonik, yakni Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik.

Jalur pertemuan ketiga lempeng tersebut, yang membentuk garis di sepanjang Pasifik dan disebut 'cincin api', berlokasi di laut. Alhasil, jika terjadi gempa bumi berskala besar dengan kedalaman dangkal, bisa memicu tsunami.

Di daratan, efek mematikan gempa bumi hanya dapat diminimalisir dengan membuat bangunan yang “ramah gempa.” Pasalnya, kebanyakan korban jiwa dalam gempa bumi terjadi karena tersapu tsunami, atau tertimbun bangunan.

Sayangnya, masyarakat dan pemerintah Indonesia belum memberikan perhatian khusus pada pentingnya konstruksi bangunan tahan gempa. Situasi yang jauh berbeda terjadi di Jepang yang juga terkenal sebagai negara rawan gempa.

Negeri Matahari Terbit mengevaluasi Undang-Undang (UU) Standar Bangunan sebagai pelajaran dari gempa bumi besar Hanshin (1995). UU sekarang memberi penjelasan jauh lebih rinci terkait tingkat kinerja bangunan anti gempa, spesifikasi, dan bentuk pondasi.

Kekuatan tahan gempa sangat dituntut untuk semua bangunan di Negeri Sakura, dan developer tidak bakal mengantongi izin kecuali telah memenuhi persyaratan ketat standar ketahanan gempa yang ditetapkan oleh UU, sebagaimana dipaparkan realestate-tokyo.

Infografik Rumah Tahan Gempa

Infografik Rumah Tahan Gempa

Indonesia bagaimana?

Kita punya aturan standar bangunan tahan gempa dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 tahun 2005. Akan tetapi, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyebutkan penerapannya diserahkan pada pemerintah kabupaten/kota.

Jika pemerintah daerah mau, maka ketentuan itu jadi prasyarat penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Namun jika mereka tidak mau, ya tidak perlu repot memenuhi kaidah tahan gempa untuk pengajuan IMB di daerah mereka. Dengan kata lain, standar bangunan tahan gempa belum menjadi persyaratan wajib di Indonesia.

Meskipun demikian, terdapat solusi lain yang ditawarkan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir, yang sayangnya belum diketahui atau kurang menarik perhatian masyarakat luas, yakni Rumah Instan Sederhana dan Sehat (Risha).

Program yang sudah diperkenalkan sejak 2004 ini mejadi solusi berbasis teknologi mutakhir dari Kementerian PUPR yang didesain untuk menahan potensi gempa horizontal. Solusi ini diterapkan pertama kali di permukiman pascabencana tsunami Aceh dan Nias.

Merujuk modul Risha, struktur rumah ini dibangun dengan konsep modular dan bongkar pasang (knock down) yang memungkinkan dibangun secara instan dan diubah-ubah sesuai kebutuhan. Pasalnya, hunian ini tidak membutuhkan semen dan bata.

Tiap panelnya hanya memiliki bobot sekitar 50 kilogram (kg). Dikatakan bahwa pembangunan Risha Tipe-36 (6x6 meter persegi) hanya memerlukan waktu pengerjaan kurang lebih 9 jam.

Risha juga dapat dipasang siapa pun berbekal buku panduan manual. Paket bangunannya dapat dipesan secara online dengan harga per panel di kisaran Rp7 juta-Rp24 juta.

Selain solusi rumah modern seperti Risha, sejatinya beberapa rumah tradisional Indonesia juga memiliki struktur tahan gempa.

Setidaknya ada empat rumah adat yang terbukti tahan gempa, yakni rumah adat Omo Sebua & Omo Hada asal Nias Selatan, rumah adat Joglo asal Jawa, rumah Woloan asal Minahasa, dan rumah Baghi dari Sumatra Selatan.

Rumah adat tersebut memiliki karakteristik pondasi yang tak tertanam di tanah melainkan sambungan yang saling mengunci dengan pasak. Lalu, pondasinya berbahan kayu, rotan, atau bambu yang elastis sehingga memberikan ketahanan terhadap getaran.

Solusi rumah tahan gempa dengan biaya terjangkau sudah ada, baik dari pemerintah maupun nenek moyang kita.

Tugas selanjutnya adalah pengarusutamaan konsep rumah tahan gempa terhadap masyarakat dan perusahaan properti guna menghindari korban sia-sia ketika gempa serupa di Cianjur menerjang, kelak entah kapan.

Baca juga artikel terkait RUMAH TAHAN GEMPA atau tulisan lainnya dari Dwi Ayuningtyas

tirto.id - Mild report
Penulis: Dwi Ayuningtyas
Editor: Arif Gunawan Sulistiyono