tirto.id - Pada Kamis, 23 Oktober 2002 seharusnya menjadi hari yang menyenangkan bagi ratusan orang penggemar pertunjukan musik Nord-Ost yang diselenggarakan di teater Dubrovka. Sekitar 912 orang memadati arena teater yang terletak di Moskow, Rusia.
Namun, sekitar pukul 22.15 waktu setempat, tiba-tiba sekelompok orang bersenjata masuk ke gedung teater dan melepaskan tembakan ke atas saat pertunjukan musik berlangsung.
Ratusan penonton tertahan di dalam, disandera kelompok bersenjata yang jumlahnya puluhan dan membawa bahan peledak. Beberapa anak dibiarkan lari meloloskan diri.
Suasana di dalam teater seketika mencekam. Serangan datang secepat kilat. Pemerintah Rusia kelimpungan dan dipaksa berpikir cepat. Suara tembakan terus terdengar sejak kelompok bersenjata menguasai teater. Truk-truk polisi dan tentara serta setidaknya dua kendaraan lapis baja mengepung gedung teater dan memblokir jalanan di tengah hujan.
Kantor berita Rusia Interfax melaporkan bahwa kelompok bersenjata membiarkan para sandera menelepon dengan ponselnya masing-masing. Salah seorang sandera memohon kepada para polisi untuk tidak menyerbu lokasi karena takut kelompok bersenjata akan meledakkan diri dan membunuh semua orang di dalam teater.
Presiden Vladimir Putin memanggil para penasihat terdekatnya ke Kremlin untuk mencari solusi malam itu juga.
Kelompok bersenjata yang menyergap masuk ke teater Dubrovka adalah milisi separatis Chechnya. Salah seorang penonton yang disandera mengatakan kepada televisi NTV bahwa ia mendengar seorang anggota milisi berlari ke atas panggung dan berteriak, "Tidakkah Anda mengerti apa yang sedang terjadi? Kami orang-orang Chechnya," kata penonton perempuan itu menirukan apa yang ia dengar.
Beberapa warga asing non-Rusia dibebaskan. Konstantin Kabanov, salah satu pemain Nord-Ost mengatakan kepada NTV bahwa orang-orang Chechnya, Georgia, dan Abkhazia dipersilahkan meninggalkan teater oleh para kelompok bersenjata.
Jaringan televisi RTR yang dikelola pemerintah Rusia mengatakan, polisi telah menemukan sebuah bus putih berjendela gelap di luar aula teater. Tampaknya itu adalah kendaraan yang dibawa oleh rombongan kelompok bersenjata.
Pada hari kedua, 24 Oktober, dua anggota terkemuka dari komunitas Chechnya, Aslanbek Aslakhanov dan Ruslan Khasbulatov, masuk ke teater dan memulai negosiasi dengan kelompok bersenjata dari daerahnya itu.
Di luar arena, satuan elit polisi termasuk unit anti-teror Alpha sudah berada di lokasi. Dalam suasana musim salju yang menggigil, unit kepolisian lain mengorganisir evakuasi para warga yang rumahnya berada di sekitar teater. Hari kedua itu, beberapa tawanan warga negara asing dibebaskan.
Pada hari ketiga, 25 Oktober, beberapa negosiator tambahan dikirim ke lokasi. Para milisi kemudian setuju membebaskan 75 warga asing, 15 warga Rusia, termasuk delapan anak-anak usia 7-13 tahun.
Kepala Dinas Keamanan Federal Rusia, Nikolai Patrushev menawarkan jaminan keselamatan untuk milisi separatis Chechnya kelompok jika mereka melepaskan semua tawanan yang tersisa tanpa cidera apapun. Namun tawaran itu tak cukup menarik minat milisi Chechnya.
Suasana di dalam teater makin mencekam ketika banyak sandera dilaporkan dalam keadaan diikat di tempat duduk lengkap dengan bahan peledak yang dililitkan di tubuh mereka.
Keluarga para sandera melakukan protes anti-perang di luar teater, diduga atas desakan orang-orang Chechnya pula. Sanak keluarga dari tawanan asing yang sudah dirilis mengatakan bahwa milisi Chechnya ingin agar aksi mereka disiarkan seluas mungkin sehingga mendorong tekanan internasional kepada pemerintahan Putin untuk mengakhiri konflik di wilayah Chechnya.
"Kami tidak akan rugi. Kami sudah menempuh 2.000 kilometer (1.240 mil) untuk datang ke sini. Tak ada jalan pulang ... Kami datang untuk mati." ujar salah seorang milisi dikutip dari BBC Russian Service.
Sang penyandera mengatakan para pengorganisir serangan mengklaim sebagai anggota kelompok "Pejuang bunuh diri dari Chechnya" dan menyangkal berjejaring dengan al-Qaeda.
Negosiasi antara Rusia dan milisi Chechnya terus menemui jalan buntu. Sampai sekitar pukul 5.25 sore pada hari ketiga, kelompok bersenjata Chechnya mulai mengumumkan ultimatum terakhir. Mereka akan membunuh para sandera sebelum fajar tanggal 26 Oktober.
Keesokan harinya, pada hari keempat, 27 Oktober, pukul 5.15 pagi, para penyandera membunuh dua tawanan dan melukai dua lainnya. Rusia makin tertekan dan melancarkan upaya negosiasi yang mungkin jadi yang terakhir. Lagi-lagi kedua belah pihak tak menemui kata sepakat.
Tiba-tiba, gas yang dapat membuat orang lemas dan tertidur dipompa masuk ke gedung teater lewat pipa-pipa ventilasi. Pasukan khusus kemudian bergerak masuk menghabisi 40 orang kelompok bersenjata. Drama penyanderaan sekitar 57 jam akhirnya berakhir.
Namun, misi penyelamatan itu terbilang tak cukup sukses. Ratusan sandera yang dievakuasi keluar teater malah tewas. Sejak itu, misi penyelamatan ini berubah menjadi tragedi dan terus memunculkan banyak pertanyaan.
Misi Penyelamatan Berujung Maut
Milisi Chechnya yang menyerbu teater Dubrovka berjumlah 40 orang pria dan wanita yang dipimpin oleh pentolan separatis Chechnya, Movsar Barayev, keponakan panglima perang Chechnya, Arbi Barayev yang sudah lebih dahulu tewas setahun sebelumnya. Para personel milisi bertopeng itu membawa lebih dari 100kg bahan peledak, sekitar 100 granat tangan, tiga bom kelas berat, 18 senapan serbu AK-47 dan 20 pistol.
Saat pasukan khusus berhasil menyerbu masuk teater setelah menyemprotkan gas saraf, ratusan orang sandera termasuk milisi Chechnya tak sadarkan diri. Pasukan Rusia mendatangi milisi Chechnya dan menembakinya tepat di kepala. Namun masalah selanjutnya timbul ketika ratusan sandera mulai dievakuasi ke luar gedung. Banyak yang dalam keadaan tidak sadarkan diri atau muntah-muntah. Mereka disisihkan di trotoar pinggir jalan.
Koordinasi tim medis dan kepolisian untuk mensterilkan lokasi dianggap buruk. Ambulans baru datang ke TKP satu setengah jam kemudian. Para sandera diangkut oleh polisi, alih-alih petugas medis. Pihak berwenang juga tidak terbuka tentang jenis gas yang digunakan sehingga menghambat kerja dokter dalam menangani pasien.
Akhirnya, 130 orang sipil yang disandera tewas di tangan pasukan khusus, lewat gas yang membikin mereka tertidur dan tak pernah bangun lagi.
Presiden Vladimir Putin dan Kepala dokter kesehatan masyarakat Moskow Andrey Seltsovskiy menegaskan bahwa gas tersebut tidak dapat menyebabkan kematian. Belakangan diketahui bahwa senyawa gas yang dipakai adalah fentanyl yang ratusan kali lebih kuat dari morfin.
Chechnya adalah sebuah kawasan di Kaukasus Utara yang kini masih menjadi Republik dalam Federasi Rusia. Konflik antara Chechnya dengan Rusia sudah berlangsung selama ratusan tahun. Kendati Rusia terus berganti rupa, konflik dengan nasionalis Chechnya yang ingin merdeka tetap abadi. Hubungan keduanya mengalami pasang surut.
Bukan kali ini saja drama penyanderaan yang melibatkan separatis Chechnya di Rusia berujung pada jatuhnya korban jiwa di pihak sipil. Sebelumnya, pada 1995, separatis Chechnya yang dipimpin Shamil Basayev menyerbu sebuah rumah sakit di Budennovsk. Kala itu, 166 sandera tewas saat unit anti-teror Rusia menyerbu masuk. Basayev dan kelompoknya berhasil melarikan diri.
Tiga tahun setelah tragedi penyerbuan teater Dubrovska, beberapa orangtua korban terus mendesak Presiden Putin untuk mengadakan penyelidikan terbaru. Mereka ingin tahu sebenarnya gas apa yang sampai membunuh ratusan orang termasuk anak-anak mereka dan siapa yang harus bertanggungjawab atas skenario serangan para pasukan khusus.
Peristiwa serangan teror di teater Dubrovka menggoyahkan klaim Putin pada April 2002 bahwa Perang Chechnya Kedua (1999-2000) telah berakhir. Dilansir dari Time, kekerasan di Chechnya ternyata terus berlangsung dan korban dari kedua belah pihak bergelimpangan. Aksi-aksi pemberontakan masih berlangsung sampai 2009.
Fakta bahwa kelompok bersenjata leluasa masuk Moskow dengan membawa berbagai amunisi dan bahan peledak tanpa terdeteksi juga membuat khalayak skeptis akan tingkat pengamanan Rusia. Bahkan muncul desas-desus bahwa milisi Chechnya telah menyuap kepolisian—sebuah tuduhan serius yang tak ketemu buktinya.
Pengadilan Hak Asasi Manusia di Strasbourg, Perancis, pada Desember 2011 menuntut Rusia membayar kompensasi sekitar satu juta euro kepada keluarga korban. Pengadilan menilai pihak berwenang Rusia tidak mempersiapkan operasi penyelamatan dengan baik.
Editor: Windu Jusuf