tirto.id - Di antara ratusan ribu orang yang mengikuti parade anti kekerasan senjata api di New York, 25 Maret 2018, ada Paul McCartney berbaur di tengah peserta demonstrasi. McCartney mengenakan jaket hitam, kacamata hitam, dengan kaus hitam bertuliskan "We can end gun violence".
Di antara ramainya orang dengan tujuan sama, ingatan McCartney mungkin tertuju pada 8 Desember 1980 malam. Saat itu John Lennon, sahabat sekaligus rival terbesar McCartney, baru pulang dari studio dan berjalan menuju The Dakota, tempat tinggalnya.
Saat Lennon berjalan ke arah apartemen, Mark David Chapman menghampirinya dari belakang dan menembak lima kali ke arah Lennon. Peluru pertama luput dan mengenai jendela The Dakota. Dua peluru bersarang di punggung kiri Lennon, dan dua lainnya menembus bahu kiri.
Lennon terjerembab dan mengalami pendarahan. Ia sempat berjalan terhuyung ke arah sekuriti dan berkata, "Aku tertembak, aku tertembak." Ia kemudian jatuh ke lantai.
Pemain gitar sekaligus vokalis utama The Beatles, band yang kerap disebut sebagai band terbesar sepanjang sejarah ini, dibawa ke St. Luke's-Roosevelt Hospital Center. Ketika beberapa menit sebelum jam 11 malam Lennon sampai, nadinya sudah tak berdenyut dan ia sudah tak bernafas. Ia diumumkan meninggal pada 11.15.
Lennon, pria yang menulis salah satu lagu pop terpenting tentang kehidupan damai tanpa kekerasan dan agama, tewas di ujung peluru. Maka tak ada yang bisa menyangkal bahwa McCartney berhak, bahkan wajib terpanggil, untuk mendukung parade anti kekerasan senjata api ini.
"Salah satu sahabatku terbunuh karena senjata api di sekitar sini, jadi parade anti kekerasan senjata api ini penting untukku," kata McCartney.
Musisi Mati di Ujung Peluru
Amerika Serikat adalah negara dengan tingkat kepemilikan senjata api yang tinggi. Dalam survei yang dilakukan oleh Pew Research pada 2017, sekitar 40 persen orang AS mengaku memiliki senjata api atau tinggal di rumah dengan kepemilikan senjata api.
Di AS pada 2016, diperkirakan lebih dari 11.000 orang yang tewas karena pembunuhan yang melibatkan senjata api. Sejak 1982, diperkirakan ada 90 penembakan massal yang terjadi di AS.
Selain izin yang dianggap amat mudah, harga senjata api di AS juga amat murah. Untuk pistol, rata-rata harganya sekitar 200 dolar. Sedangkan untuk senapan serbu seperti yang dipakai oleh Stephen Paddock saat melakukan penembakan massal di Las Vegas, harganya sekitar 1.500 dolar.
Maka tak heran, ada banyak penembakan yang terjadi di AS. Musisi turut menjadi korban. Beberapa malah mengalami penembakan yang amat brutal ketika manggung.
Hal ini terjadi pada Dimebag Darrell, gitaris band metal Pantera dan Damageplan. Saat sedang manggung bersama Damageplan di Ohio pada 8 Desember 2004, mantan marinir bernama Nathan Gale menembak Darrell lima kali di kepala --ada yang bilang tiga peluru bersarang di kepalanya. Total, Gale menembak 15 kali, menewaskan tiga orang dan melukai tujuh orang.
Gale tewas di tangan polisi yang datang tak lama setelah penembakan. Di saku Gale, ditemukan sisa 35 peluru lagi. Dalam wawancara bersama USA Today, ibu Gale bilang bahwa anaknya terobsesi dengan Pantera. Gale menganggap Pantera mencuri lirik buatannya.
Yang jadi masalah adalah, ibu dan mantan atasan Gale di marini berkata bahwa Gale menderita skizofrenia paranoia sebelum akhirnya berhenti dari dinas militer. Meski punya catatan penyakit kejiwaan, Gale bisa mendapatkan senjata api dengan mudah.
Senjata api juga merenggut talenta-talenta terbaik dari jagat hip-hop dan rap. Tupac Shakur dan Notorious B.I.G adalah dua nama yang ditembak hingga tewas.
Daniel Sanchez dari Digital Music News pernah mencoba mendata siapa saja musisi yang meninggal karena senjata api, baik karena pembunuhan maupun bunuh diri. Sanchez coba menyusun korban tewas karena senjata api dari 1950 hingga 2016. Dari data temuannya, 79 orang musisi tewas karena senjata api.
Johnny Ace, dianggap sebagai musisi pertama yang mati karena luka tembak tak sengaja. Pada dekade 1960-an, dunia dikejutkan oleh tewasnya penyanyi soul masyhur, Sam Cooke. Ia ditembak oleh manajer motel bernama Bertha Franklin.
Dekade 1990 tercatat sebagai era terbanyak musisi yang tewas karena senjata api. Selain Kurt Cobain yang bunuh diri, Tupac Shakur dan Notorious B.I.G yang ditembak, ada pula penyanyi Wendy O. Williams, gitaris Doug Hopkins dari band Gin Blossoms, hingga Don Myrick dari band Eart, Wind, & Fire yang ditembak oleh polisi.
Kasus terakhir adalah Keith Emerson, pemain keyboard untuk band Emerson, Lake &Palmer yang bunuh diri dengan menembak kepalanya pada 11 Maret 2016.
Sanchez memahami bahwa pendataannya tidak akan bisa mencakup semua musisi yang meninggal karena senjata api. Sebab diperkirakan ada lebih banyak musisi kurang populer yang kematian karena senjata api tak diketahui publik.
"Sedih memang, industri musik tak asing dengan kekerasan senjata api, dan kita semua kehilangan lebih banyak musisi seiring waktu berlalu," tulis Sanchez.
Apa yang dikatakan oleh Sanchez memang benar. Dengan izin memiliki senjata api yang longgar, dan kuatnya beking agar industri senjata api tetap berjaya, tak ada yang bisa menjamin tak akan ada korban penembakan lagi.
Menyedihkannya, konser dan festival musik kerap menjadi sasaran terorisme dan penembakan massal. Saat ini, dua penembakan massal yang paling banyak menelan korban di Amerika Serikat adalah kasus penembakan di festival musik country Las Vegas (2017, korban tewas 58 orang) dan di klub malam Orlando (2016, korban tewas 49 orang).
Maka bergeraknya McCartney dan ratusan ribu orang dalam parade anti kekerasan senjata api adalah sebuah penegasan posisi mereka dan jutaan orang lain: kami tak akan tinggal diam kali ini, kami tak mau lagi jadi korban penembakan!
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti