tirto.id - Tak lama sejak terdengar kabar Chris Cornell meninggal dunia, tim autopsi bergerak cepat. Beberapa jam setelah vokalis Soundgarden itu ditemukan meninggal dunia di kamar mandi kamar hotelnya, RS Wayne County mengeluarkan rilis penyebab meninggalnya Cornell: bunuh diri. Namun hasil autopsi lengkapnya belum selesai.
Cornell menambah panjang deretan musisi yang meninggal dunia karena bunuh diri. Koleganya dari Seattle, Kurt Cobain, juga bunuh diri pada 1994. Kurt, nukleus dari Nirvana, menembak kepalanya sendiri pada 5 April, di rumahnya.
Baik Cobain maupun Cornell sama-sama menderita depresi sebelum memutuskan bunuh diri. Dalam kasus Cobain, penyakit bronkitis dan laryngitis membuatnya semakin yakin untuk bunuh diri. Pada Maret 1994, Cobain mencoba bunuh diri untuk pertama kalinya setelah menenggak kombo sampanye dan rohypnol. Ia selamat, namun percobaannya tak berhenti. Untuk kasus Cobain, ada sejarah kasus bunuh diri di keluarganya.
Beverly Cobain, saudara sepupu Kurt, mengatakan bahwa ada dua orang keluarga Cobain yang meninggal karena bunuh diri sebelum Kurt. Menurut perawat yang menulis When Nothing Matters Anymore: A Survival Guide for Depressed Teens ini, dua orang paman mereka meninggal karena bunuh diri. Juga dengan senjata api.
Ada beberapa studi yang menyatakan bahwa depresi bisa menurunkan kecenderungan itu pada keturunannya. Tingkat bunuh diri yang terjadi pada keluarga dekat bisa menyebabkan kecenderungan bunuh diri 4 hingga 6 kali pada kerabatnya, ujar Dr. David Brent, psikiatris di University of Pittsburgh Medical Center.
Sedangkan Cornell beberapa kali mengalami masalah depresi, juga ketergantungan terhadap alkohol. Pada 2015, Cornell sempat menceritakan tentang album solo pertamanya, Euphoria Morning (1999), juga kekacauan hidup yang menimpanya.
"Album itu amat gelap secara lirik, dan cukup depresif. Aku melewati masa sukar dalam hidupku. Bandku bubar, pernikahanku berantakan, aku minum alkohol terlalu banyak, dan punya masalah terkait depresi," ujarnya pada Rolling Stone, 2015 silam.
Musisi dan Bunuh Diri
Pada 2015, Dianna Theadora Kenny, profesor di jurusan Psychology and Music, Universitas Sydney, menerbitkan hasil penelitiannya tentang kematian dalam dunia musik. Untuk penelitian yang terdiri dari tiga seri ini, Dianna mengambil data dari 12.665 musisi populer dari segala jenis genre yang meninggal dalam rentang 1950 hingga Juni 2014. Sekitar 90 persennya adalah lelaki. Data umur dan penyebab kematian dihimpun dari 200 sumber, mulai dari buku, situs genre musik tertentu, hingga sumber ensiklopedi digital seperti Wikipedia.
Selain kecelakaan, sakit jantung, atau kanker, bunuh diri juga termasuk penyebab lumayan besar kematian para musisi. Dalam rentang 2001-2010, ada 4,6 persen musisi yang meninggal bunuh diri.
Hal ini senada dengan temuan the Center for Suicide Research. Menurut Steve Stack, sang direktur lembaga tersebut, tingkat bunuh diri musisi itu tiga kali lebih besar ketimbang orang biasa. Salah satu penyebabnya adalah kreativitas yang kemudian melahirkan depresi. Tentu ini tidak terjadi pada semua orang kreatif.
"Jelas ada hubungan antara kreativitas dan sakit mental," ujar Dr. Christine Moutier, Chief Medical Officer untuk lembaga American Foundation for Suicide Prevention. Menurutnya, sekitar 90 persen orang yang melakukan bunuh diri memang punya masalah kejiwaan.
Menurut Christine, banyak artis atau musisi yang meninggal bunuh diri punya karakter nyaris sama, yakni dekat dengan perfeksionisme. Jika ini ditambah dengan gangguan mental seperti manic depression dan bipolar, hidup para seniman bisa jadi amat rapuh.
Depresi ini yang kemudian membuat musisi seperti Nick Drake memutuskan bunuh diri. Sebagai musisi, sekarang pengaruhnya amat besar. Namun dulu, Drake dianggap sebagai musisi yang kurang berhasil. Sepanjang kariernya, ia hanya merekam 31 lagu yang terangkum dalam 3 album. Tak ada satupun dari album itu yang terjual lebih dari 10.000 keping.
Sama seperti yang diungkapkan oleh Christine, musisi seperti Nick Drake juga punya kecenderungan perfeksionis. Dalam penggarapan album pertama, Five Leaves Left, Drake marah karena tatahan album bagian dalam salah.
Pada album keduanya, penampilan Nick makin terasa aneh. Dalam penampilan di Hull, musisi Inggris ini merasa penonton tidak memahami musiknya. Konser sepi. Ia tak mengucapkan sepatah kata pun sepanjang konser. Tidak juga menyapa penonton.
"Penonton ingin musik yang punya chorus. Musik Nick tidak begitu, penonton tak bisa memahaminya. Rasanya menyakitkan kalau dikenang," ujar penyanyi Michael Chapman yang hadir di sana saat itu.
Nick makin menunjukkan gejala punya penyakit jiwa. Ia memutuskan kembali ke rumah orang tuanya. Kadang-kadang ia suka menghilang selama beberapa hari. Dosennya di Cambridge, John Venning, pernah melihatnya di stasiun dan merasa bahwa Nick butuh pertolongan. Tapi tak kunjung tiba. Hingga akhirnya Nick memutuskan menenggak obat anti depresi amitriptyline dalam jumlah berlebih. Membuatnya overdosis. Menurut koroner yang memeriksa jenazahnya, keracunan amitriptyline Nick dilakukan "...oleh diri sendiri karena menderita depresi."
Depresi ini juga menimpa Keith Emerson, pendiri grup rock progresif legendaris Emerson, Lake & Palmer (ELP). Pada 1993, ia dipaksa untuk rehat selama setahun karena menderita penyakit syaraf dan kondisi kejiwaan yang kurang stabil. Menurut Emerson, hal itu dikarenakan tragedi yang datang beruntun: ia bercerai, rumahnya di Sussex terbakar habis, dan mengalami kesulitan keuangan.
Menurut kekasihnya, Mari Kawaguchi, Emerson mengalami "depresi, kekalutan, dan kecemasan". Itu karena penyakit syaraf membuatnya susah menggerakkan tangan kanannya, dan membuatnya susah bermain keyboard lagi. Padahal dalam waktu dekat ia akan tur. Ia khawatir tampil buruk dan takut para fans akan kecewa.
"Dia tak mau mengecewakan fansnya. Dia seorang perfeksionis dan tidak bisa bermain sempurna membuatnya kecewa dan depresi," ujar Mari.
Pada 11 Maret 2016, Emerson menembak kepalanya sendiri. Menurut koroner yang memeriksanya, Emerson juga menderita depresi karena alkohol.
Ada banyak kasus lain musisi yang memilih meninggal bunuh diri. Selain karena depresi, ada pula yang melakukannya karena sudah tak punya keinginan hidup lagi dan memilih untuk mati dengan kesadaran sendiri.
Ian Curtis, misalkan. Menurut beberapa kerabat dan kawan dekat vokalis Joy Division itu, Ian tak punya keinginan untuk menjalani hidup di umur 20-an. Maka ia gantung diri pada 18 Mei 1980, tepat hari ini 42 tahun lalu.
Begitu pula yang terjadi pada Wendy O. William. Vokalis band punk Plasmatics ini menembak dirinya sendiri. Rod Swenson, kekasihnya, mengatakan bahwa Wendy sudah memikirkan soal bunuh diri selama 4 tahun. Menurutnya, Wendy sangat sedih menjelang kematiannya. Di surat wasiatnya, Wendy mengatakan ia ingin bunuh diri karena ia berhak.
"Menurutku, untuk bunuh diri, seseorang harus berpikir dalam dan dalam waktu lama. Namun aku amat percaya bahwa bunuh diri adalah hak dasar orang yang tinggal di dunia bebas," tulisnya.
Selain nama-nama di atas, musisi lain yang bunuh diri adalah Michael Hutchence, Donny Hathaway, Brad Delp, dan Tommy Page.
Orang-orang yang bunuh diri jelas menorehkan luka pada keluarga, kerabat, atau bahkan penggemar. Menurut Christine, dukungan keluarga dan kerabat sangatlah penting untuk mencegah orang depresi untuk bunuh diri. Banyak kasus bunuh diri terjadi, karena pelaku tidak punya tempat untuk ngobrol atau berkeluh kesah.
"Menurutku, dukungan keluarga kepada para seniman dan orang kreatif itu amat penting."
========================
Jika Anda merasakan tendensi untuk melakukan bunuh diri, atau melihat teman atau kerabat yang memperlihatkan tendensi tersebut, amat disarankan untuk menghubungi dan berdiskusi dengan pihak terkait, seperti psikolog atau psikiater maupun klinik kesehatan jiwa. Salah satu yang bisa dihubungi adalah Into the Light yang dapat memberikan rujukan ke profesional terdekat (bukan psikoterapi/ layanan psikofarmaka) di [email protected].
Artikel ini terbit pertama kali pada 21 Mei 2017. Redaksi melakukan penyuntingan ulang dan menayangkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Zen RS & Irfan Teguh Pribadi