tirto.id - Separation Anxiety Disorder (SAD) merupakan gangguan kecemasan yang dialami anak berupa perasaan sedih ketika berpisah atau ditinggal orang tuanya, meskipun hanya sebentar. Kondisi ini terutama terjadi saat masih bayi atau di bawah usia lima tahun.
Perasaan cemas yang dialami bayi menjadi tanda bahwa mereka mengenali dunia di sekitarnya. Secara tidak langsung mereka mulai mengenali rasa tenang dan aman hanya pada orang-orang tertentu, seperti orang tua, kakek/ nenek, dan sebagainya.
Justru akan menjadi tanda tanya jika bayi tetap tenang saja saat orang tuanya pergi dan mereka cenderung senang dipeluk oleh orang asing. Mengutip dari laman NHS UK, SAD adalah tanda ketika bayi mulai menyadari betapa bergantungnya mereka pada orang-orang yang merawatnya. Kesadaran yang dirasakan bayi akan menguatkan hubungan antara mereka dan orang di sekitarnya yang sering berinteraksi dan merawatnya.
Kendati demikian, SAD perlu disikapi dengan bijak karena akan berdampak buruk terhadap perkembangan anak jika terus-terusan terjadi hingga usia tertentu. Melansir dari laman Siloam Hospitals, anak-anak dengan kondisi SAD cenderung masih menangis hingga meraung-raung setiap kali harus berpisah dengan orang tua.
Tidak hanya memangis, mereka juga merasa sedih, takut, gelisah, dan cemas berlebihan. Bahkan pada kondisi terburuk, SAD bisa mengganggu aktivitasnya sehari-hari, termasuk ketika di sekolah. Buntut panjangnya adalah SAD dapat memicu munculnya panic attack atau serangan panik.
Selain itu, SAD dapat memicu sakit fisik seperti sakit perut dan sakit kepala. Lebih parahnya lagi, beberapa anak pada tingkatan SAD tertentu berpotensi mengalami stres karena tidak mampu beraktivitas normal atau bermain dengan teman-temannya.
Sebenarnya SAD terjadi pada usia balita, tetapi SAD tetap berpotensi terjadi secara berlanjut hingga usia remaja dan dewasa. Menurut laman Kids Health, berapa lama SAD berlangsung cukup bervariasi, tergantung pada anak dan bagaimana respons orang tua. Pada beberapa kasus, SAD dapat tejadi sejak bayi hingga Sekolah Dasar.
SAD yang dialami anak yang lebih besar dapat menjadi tanda gangguan kecemasan yang lebih dalam. Anak yang merasa tidak tenang jika tidak dibersamai orang tua bisa saja sedang mengalami perundungan atau pelecehan. Oleh karena itu, orang tua harus mengenali SAD lebih dini supaya dapat menerapkan solusi yang tepat.
Gejala Separation Anxiety Disorder
Saat meninggalkan anak dalam kondisi menangis, orang tua mungkin menganggapnya biasa, tetapi kondisi tersebut tidak bisa dibiarkan begitu saja. Terlebih lagi jika muncul gejala serius pada anak. Mengutip dari laman Siloam Hospitals, beberapa gejala SAD yang harus diwaspadai adalah:
- Menangis sampai meraung-raung walaupun hanya berpisah sebentar dengan orang tua;
- Merasakan ketakutan dan khawatir berlebihan ketika salah satu atau kedua orang tua sedang pergi ke luar rumah;
- Mengalami tantrum dan marah setiap kali ditinggal orang tua, misalnya untuk bekerja;
- Tidak mau ditinggal sendiri saat sekolah dan harus ditemani terus oleh orang tua;
- Selalu berusaha mengirim pesan atau menelepon ketika orang tua pergi;
- Tidur tidak nyenyak dan sering mimpi buruk terkait terjadinya hal buruk kepada keluarga;
- Muncul gejala fisik seperti pusing, sakit kepala, hingga sakit perut;
- Enggan bermain dengan teman-temannya karena ingin selalu di rumah bersama orang tua.
SAD yang dialami anak tentunya akan membuat Anda merasakan berbagai macam emosi. Menurut laman Kids Health, SAD bisa dipandang sebagai hal yang positif karena menunjukkan bahwa anak sudah memiliki keterikatan dengan orang tua.
Namun, kondisi SAD yang terus berlangsung akan membuat orang tua tidak leluasa ketika meninggalkan anak (bekerja atau urusan penting lain). Lama-lama orang tua akan merasa kewalahan dengan banyaknya perhatian yang harus diberikan pada anak.
Perlu diingat bahwa sejatinya ketidakmauan anak untuk ditinggal orang tua menandai adanya keterikatan yang sehat telah berkembang di antara anak dan orang tua. Saat ditinggal pergi, anak-anak secara tidak langsung akan belajar tentang bagaimana cara mengatasi kondisi tesebut dan belajar tentang kemandirian.
Penulis: Nurul Azizah
Editor: Dipna Videlia Putsanra