tirto.id - “Kolase tidak kemudian berbicara hal-hal yang besar, tapi dia ke hal-hal yang personal. Di situlah kolase punya nilai-nilai subversif dan perlawanan,” ujar Pujo Nogroho dalam sambutan pembuka pameran “Piece by Piece: Reflection of Self-Love” pada 28 Mei 2023 di Rumah Pohan, Kota Lama Semarang.
Sekitar lima meter di depan Pujo satu balok dinding putih diisi karya kolase hitam-putih. Kolase itu berisikan visual bocah bertudung yang ditimpa bunga dan peluru. Di samping bocah itu ada tulisan cukup besar “Hiduplah, belum waktunya kau mati.”
Ada puluhan karya kolase lain di ruangan itu, baik kolase dua dimensi dan instalasi tiga dimensi. Semua karya itu adalah hasil jamming dan workshop kolase yang dilakukan Kolasemauku, kolektif seniman kolase dari Semarang, dengan empat komunitas lain: kolektif gig organizer Gemuruh, komunitas mahasiswa jurusan Desain Komunikasi Visual Universitas Dian Nuswantoro, komunitas seni asal Kabupaten Batang, dan para siswa SMPN 39 Semarang. Total ada 80-an seniman yang memamerkan karya kolase mereka hingga 4 Juni 2023.
Ramainya karya dan peserta pameran ini menimbulkan pertanyaan; apakah teknik kolase memang sangat populer bagi publik?
Dari Kubisme hingga Sampul Album Band Punk
Kolase berawal dari satu sore pada September 1912. Saat itu Georges Braque sedang berjalan-jalan di Avignon, Perancis. Braque sedang menemani Pablo Picasso, kompatriotnya di gerakan Kubisme, yang hendak naik kereta ke Paris. Di tengah perjalanan, mata Braque terpaku pada gulungan kertas dinding kayu di sebuah toko. Saat itu, imajinasi Braque membara.
“Mungkin dia tidak sepintar Picasso, tapi Braque tidak bodoh,” tulis kritikus seni John Richardson di Washington Post.
Braque membeli dan membawa kertas dinding itu ke studionya. Kertas dinding itu dipotong menjadi tiga bagian kecil, lalu ditempel pada sebuah lukisan arang yang dinamai Fruit Dish and Glass. Braque menyebut tekniknya sebagai papier collé, cikal bakal kolase.
Setelah melihat papier collé dari Braque, Picasso ikut terbakar. Dalam waktu relatif singkat, ia menggunakan metode yang sama untuk membuat hampir 100 papier collé. Salah satu karya kolase Picasso adalah Guitar and Wine Glass yang menggabungkan potongan koran Le Journal, kertas bergambar gelas wine, dan robekan lembar partitur.
Teknik yang dikembangkan Braque dan Picasso ini menjadi babak baru dari Kubisme dan diadopsi oleh banyak seniman di seantero Eropa, seperti Juan Gris dari Spanyol, para seniman Futuris Italia, dan Kazimir Malevich di Rusia.
“Kolase adalah titik balik utama Kubisme, dan karena itu menjadi titik balik utama seluruh seni modern abad ini,” tulis kritikus Clement Greenberg dalam esainya yang terbit di Art and Culture edisi 1958.
Kolase sejatinya adalah teknik, bukan aliran seni. Seniman dengan tendensi aliran seni dan ideologi apapun bisa menggunakan teknik ini untuk memproduksi karyanya. Di tangan para seniman Dadais hal ini dibuktikan.
Perang Dunia Pertama menjadi titik penting Dadaisme. Berhadapan dengan kemapanan struktur sosial dan praktik politik yang menghasilkan Perang Dunia Pertama, para seniman Dada menolak rasionalisme yang saat itu menguasai Eropa. Penolakan itu mereka manifestasikan lewat cara memproduksi karya seni. Dadais merengkuh ketaksengajaan, insiden, dan improvisasi.
Kekhasan kolase Dada, menurut Cramer dan Grant, adalah penggunaan barang-barang prafabrik dan siap pakai, seringkali juga “mencuri” lembaran media cetak dan iklan. Cara ini melunturkan ketangkasan artistik dan mengaburkan batasan budaya tinggi dan budaya rendah.
Karya-karya kolase Hannah Höch, Max Ernst, dan Raoul Hausmann adalah beberapa contoh paripurna dari implementasi gagasan Dadaisme.
Di luar galeri seni, kolase dipakai oleh subkultur punk. Karya kolase Jaime Reid di sampul single “God Save the Queen” milik Sex Pistols adalah salah satu yang cukup legendaris. Dalam sampul tersebut Reid menggunakan teknik berkolase dari Dadaisme untuk merepresentasikan estetika antikemapanan.
Selain Jaime Reid, Gee Vaucher adalah salah satu seniman kolase yang terkenal dari subkultur punk. Kebanyakan ilustrasi dari Crass, band dan kolektif anarcho-punk legendaris asal Inggris, adalah karya Vaucher.
Tempat Singgah Seniman Visual Indonesia
Posisi kolase sebagai teknik produksi karya seni dan terkait dengan beberapa gerakan besar seni rupa Barat membuka berbagai kemungkinan cara ia masuk ke Indonesia. Mulai dari pengenalan lewat buku-buku bacaan mahasiswa seni, residensi seniman, bahkan eksplorasi personal.
Antariksa, peneliti KUNCI: Cultural Studies Center, menuliskan bahwa pada masa pendudukan Jepang banyak seniman asal Jepang didatangkan ke Indonesia untuk mendukung agenda propaganda. Takashi Kono adalah salah satu desainer grafis yang diboyong ke Indonesia dan menjadi pengarah desain beberapa media di Indonesia. Kono, dalam catatan Antariksa, yang mengenalkan teknik montase dan kolase ke para seniman Indonesia.
Namun, tidak ditemukan catatan atas penggunaan kolase oleh para seniman Indonesia setelahnya.
Salah satu gerakan besar di sejarah seni rupa Indonesia yang terkait dengan kolase adalah Gerakan Seni Rupa Baru (GSBR) yang aktif sepanjang 1975-1979. Gerakan ini adalah respons para seniman muda asal Bandung dan Yogyakarta atas status quo seni rupa Indonesia saat itu.
Pada 23-28 Agustus 1976, 10 seniman GSBR menyelenggarakan Pameran Konsep Seni Rupa Baru Indonesia di Balai Budaya Jakarta. Sepuluh seniman tersebut berdiskusi selama tiga hari (23-25 Agustus) perihal sejarah, estetika, sosial dan politik di Indonesia. Hasil dari diskusi tersebut digambar ulang dalam beragam bentuk, salah satunya adalah kolase.
Tan Markaban, perupa senior asal Semarang, mengaku berkolase sejak dekade 1990. Perkenalan pertama Markaban dengan kolase melalui buku yang mencatat teknik kolase dari Pablo Picasso. Karya kolasenya itu pernah ia pamerkan di Semarang medio 1997.
Markaban menurutkan bahwa di dekade 1990 beberapa seniman segenerasinya memang ada yang menggunakan teknik kolase, tetapi tidak banyak dan bukan menjadi teknik produksi karya seni yang ditekuni.
“Karya-karya dari seniman-seniman itu yang tercatat ya sedikit sekali kalau kolase. Sampai saya ndak bisa sebut siapa seniman kolase,” ucap ayah dari penulis filsafat Martin Suryajaya ini.
Markaban sendiri mengaku tidak berfokus pada teknik kolase. Ia berpindah dari satu teknik ke teknik lain. Kolase bagi Markaban hanyalah salah satu sarana untuk mengekspresikan diri, selayaknya melukis.
Hendra “Blangkon” Priyadhani, seniman grafis asal Yogyakarta yang juga berkolase, menuturkan hal yang kurang lebih sama. Menurutnya, kolase pasti pernah disinggahi seniman visual Indonesia dalam perjalanan artistiknya.
“Tapi tidak pernah eksplisit mengkhususkan gitu sih. Sampai sekarang aku juga, ‘kok nggak banyak?’ gitu lho,” tutur Hendra.
Sama seperti di Eropa, kolase mendapat ruang baru di Indonesia lewat subkultur punk. Beberapa band punk lokal menggunakan teknik kolase untuk membuat ilustrasi sampul rilisan mereka. Band seperti Keparat di album Keparat (1999) dan Satellite di album Demo Live 99 (1999) adalah dua contoh rilisan punk awal yang menggunakan teknik kolase. Selain sebagai teknik membuat ilustrasi sampul rilisan, kolase juga sering digunakan sebagai teknik untuk tata cetak zine, poster gig, dan kebutuhan visual lainnya.
Beberapa seniman kolase Indonesia pun lahir dari subkultur punk, seperti Billy Anjing, gitaris Kontrasosial, dan Ika Vantiani, seniman dan zinemaker asal Jakarta.
Pada 2016 berdiri kolektif kolase berbasis media sosial di Indonesia bernama @collage.id. Kolektif ini menghimpun para seniman kolase lokal dari berbagai pulau di Indonesia. Puncaknya pada 2018, tahun tercetusnya Hari Kolase Dunia, para seniman di kolektif ini mulai membentuk kolektif di kota masing-masing untuk merayakan Hari Kolase Sedunia.
“Pada 2018 itu di Bali ada Ejakolase, terus di Bandung ada Klub Kolase Bandung, di Semarang Kolasemauku, kalau di Palembang itu Klab Pencuri Gambar,” tutur Debby Selviana, seniman kolase sekaligus panitia pameran Piece By Piece.
Kolase, Pembebasan dari Merusak
Pameran Piece By Piece tidak memiliki kurator. Karya-karya hasil jamming dan lokakarya dengan beragam komunitas itu tidak dipoles atau dipilah meskipun beberapa pembuatnya bukan orang yang berkecimpung di dunia seni rupa sama sekali.
Praktik ini memang disengaja. Kolasemauku memilih tidak melakukan kurasi karena mereka percaya setiap karya kolase adalah ekspresi personal masing-masing pengkaryanya, entah mereka orang seni atau bukan, entah mereka dewasa atau masih bocah SMP.
“Karena itu tentang diri sendiri, personal banget,” ungkap Debby. “Kami pengen dari potongan demi potongan itu kita bisa mengungkapkan sesuatu,” tambahnya.
Kondisi ini yang disoroti oleh Pujo. Dalam tulisan pengantarnya Pujo menuliskan kondisi sosial (dan media sosial) kiwari yang dipenuhi komentar-komentar untuk menggiring setiap orang tunduk pada satu standar sosial tertentu. Interaksi antarindividu, menurut Pujo, telah malih rupa menjadi kompetisi capaian-capaian yang kurang esensial.
Kondisi pendisiplinan ini membuat individu surplus capaian, tetapi defisit diri. Ekspresi mencintai diri sendiri akhirnya menjadi asing dan sulit diartikulasikan. Secara tidak langsung menandakan bahwa si individu ini tidak lagi sensitif dan mengenal dirinya sendiri.
Bagi Pujo, kehadiran ekspresi rasa cinta pada diri sendiri dalam karya-karya kolase di pameran Piece By Piece menjadi subversif. Terlebih pengekspresian ini tidak pernah diajarkan di sekolah, yang bagi Pujo adalah platform penyeragaman.
“Itu kemudian yang menjadi subversif karena temen-temen berani untuk ngomong aku itu gini, aku itu gitu,” ucap Pujo. “Sama sebenernya mereka sedang membebaskan dirinya dari norma yang membuat kita sama.”
Untuk urusan ekspresi diri Pujo mengatakan kolase memiliki perbedaan dari teknik produksi seni lain, seperti lukis atau grafis. Proses merusak adalah akarnya. Untuk membuat kolase, para pengkarya mesti merusak sebuah produk visual terlebih dahulu sebelum menggabungkan beragam potongan gambar menjadi satu karya kolase.
Menurut Pujo, proses ini melibatkan beragam emosi seperti kemarahan saat merusak gambar dan kebingungan saat berusaha menyusun berbagai potongan menjadi karya akhir. Dari rangkaian emosi dan proses penciptaan ini, Pujo merasa para pengkarya sedang melakukan self-release.
“Jadi ada dua proses gitu. Kamu rilis stresmu, emosimu, di saat yang sama kamu membuat sesuatu yang membuat mood-mu jadi baik lagi. Selain memang karena mudah dilakukan, bahannya mudah didapat,” tambah Pujo.
Penulis: Gregorius Manurung
Editor: Nuran Wibisono